SR:03

77 16 1
                                    

Rintik air hujan dengan gema guntur saling bersahutan kian terdengar. Awan-awan hitam pun bergulung kumpul menghiasi akasa.

Setitik air yang jatuh kian banyak membahasi jalanan. Orang-orang berlalu lalang menepi guna berteduh dari guyuran sang tuan hujan.

Kendati demikian dirinya memilih
meneruskan langkahnya. Tak perduli bila seragam putihnya sudah basah kuyup. Sapuan angin menusuk kulitnya, bibirnya pun bergemeletuk kedinginan. Kepalanya mengadah ke atas langit hitam.

Rumah dengan nuansa modern klasik terlihat mata. Asta mengembuskan nafas beratnya. Tangannya dengan gemetar mendorong pintu besar berwarna putih itu.

Netra birunya menangkap sosok keluarga nya yang kini tengah duduk santai sembari melakukan aktivitasnya masing-masing disofa.

Asta lantas melenggang pergi begitu saja. Tidak perduli lagi dengan tatapan bingung dari wajah mereka.

Sesampainya dikamar, Asta memasuki kamar mandinya dan segera membersihkan diri. Pantulan wajah pucat terpampang nyata pada pantulan cermin.

Tekadnya sudah bulat, dirinya tak akan mengemis apa itu perhatian keluarganya. Ucapan abangnya tadi membuka lebar pikirannya, bahwasanya memang benar bahwa keluarganya tak mengharapkan kehadirannya.

Jadi semua usahanya sia-sia bukan? Dan Asta tertawa miris akan nasibnya.

Dunia jahat. Jahat sekali padanya!

Setelah beberapa menit merenung dikamar mandi. Asta sudah siap dengan baju lengan panjangnya dengan motif beruang. Itu adalah hadiah ulangtahun dari kakaknya.

Dan Asta selalu merindukan kakaknya yang sekarang tengah sibuk dengan tumpukan berkas-berkasnya.

Suasana sore nampak seperti malam hari karena hujan yang tak kunjung mereda. Asta memilih turun untuk membuat secangkir kopi hangat untuk menemani belajarnya.

"Mau apa lo? Masak? Nggak usah, kita udah pesen tadi." Kalimat Agra dengan nada sewotnya itu menghentikan langkah kakinya.

Asta lantas berbalik badan dan menatap mereka semua. Tak ada lagi tatapan hangat yang dirinya layangkan. Kini, tatapan netra biru lautan itu mengisyaratkan tatapan lelah yang kentara.

"Asta nggak perduli juga, mau kalian udah makan atau belum atau bahkan kalian pesen makan online juga Asta nggak akan perduli." Balasan terkesan acuh tak acuh itu, sontak saja membuat mereka menampilkan ekspresi wajah terkejut yang disembunyikan.

"Bagus, udah sadar diri lo? Atau malah udah nyerah?" Ucapan Agra yang terkesan meremehkannya itu membuat Asta tersenyum tipis.

"Ya, Asta udah nyerah. Ini yang kalian mau kan dari dulu? Kalau anak pembunuh yang sayangnya terlahir dengan darah Raespati ini, berhenti mencari perhatian dari kalian semua. Hidup kalian akan jauh lebih tenang setelah ini. Dan ucapan Bang Agra tadi tepat sasaran, abang menang dan Asta kalah..."

Semuanya terdiam mendengarkan. Perasaan aneh yang mereka sendiri tidak tau apa artinya datang singgah saat ucapan dengan tekad itu terucap.

"....Asta mati-matian berjuang buat tetap hidup dan kalian mati-matian berjuang agar Asta mati. Kalian hebat sekali kasih banyak luka yang tak terhingga sakitnya ke Asta. Anak pembunuh yang Mama pertaruhkan nyawanya agar bisa lihat dunia ini Kalian siksa begitu hebatnya! Kalian semua jahat! manusia berhati iblis. Mana ada anak yang membunuh ibunya disaat ibunya sendiri berjuang agar anaknya tetap hidup-" Asta menjeda ucapannya. Suaranya bergetar hebat.

Ini kali pertama dirinya menyerukan perasaannya. Semakin lama ditahan semakin membuatnya gila. 

Tangannya bergetar menunjuk mereka satu persatu. Dadanya naik turun menahan gejolak emosi juga perasaan sedih yang sudah lama tersimpan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SEBASTA RAESPATI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang