SR:02

86 14 1
                                    

Sapaan sang mentari pagi kini hadir menyinari bumi. Sosok dalam balutan selimut beberapa menit yang lalu pun sudah rapi dengan seragam putih abu-abu yang melekat apik pada tubuh mungil itu.

Berkaca pada pantulan cermin sebentar sembari merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Setelah selesai dengan tetek bengeknya, kakinya  melangkah menuruni tangga. Meja makan panjang itu kini sudah terisi oleh anggota keluarganya.

Senyuman secerah mentari pagi merkah membentuk kurva indah. Hingga sapaan ceria menjadi pembuka bagi dirinya.

"Selamat pagi, semua." Sapaan ceria penuh semangat itu nyatanya hanya dibalas keheningan semata. Namun senyuman itu jelas tak pernah sirna walaupun tak ada timbal balik sapaan untuknya. Baginya itu sudah hal biasa yang terjadi kepadanya.

Asta tak berniat bergabung dengan keluarganya untuk sarapan pagi. Karena ucapan sang papa selalu ia ingat kapan pun itu.

"Jangan harap kamu bisa satu meja dengan saya atau putra saya yang lain. Nafsu makan mereka akan hancur seketika saat kamu gabung!"

Kata itu terucap pada Asta kecil berusia tiga tahun yang masih memproses ucapan sang papa.

Dan setiap kali dirinya mendudukkan diri dimeja makan bersama mereka, yang Asta terima hanya cacian penuh hinaan juga cambukan dari sang papa.

Kilasan masa lalu itu selalu hadir dalam memori yang ia coba kubur. Namun tak akan pernah bisa hilang barang sekejap saja.

Walaupun senyuman masih merkah indah dalam wajah. Namun tatapan kecewa juga sedih terlihat begitu nyata.

Asta tak tau kapan akan bertahan dalam keluarga yang tak menganggap keberadaannya. Dirinya hanya sapuan angin lalu dalam netra mereka. Dirinya ada ditengah-tengah mereka, namun mereka tutup mata dan enggan menganggap keberadaannya.

Nyatanya dirinya hanya fatamorgana bagi keluarganya.

"Asta berangkat dulu kalau gitu. Asta pamit ya, Papa, Abang semua."

Asta membawa langkahnya keluar dari bangunan yang disebut rumah itu. Rumahnya megah namun kosong didalamnya.

Sejatinya apa definisi rumah baginya? Nyatanya Asta juga tak tau apalah arti rumah baginya.

Karena kenyataan, Asta sedari lahir benar-benar tidak punya rumah tempat nya untuk berpulang.

ᝰ.ᐟ

SMA HIRATAMA— Sekolah bergengsi milik sang papa kini menyambutnya. Sekolah terakreditasi unggul itu selalu menjadi pilihan pertama bagi siswa-siswi yang akan mengemban masa putih abu-abunya disini.

Dan Asta beruntung bisa bersekolah disini dengan jalur beasiswanya. Mana mau papanya membiayai dirinya, selama hidupnya Asta hanya diberi uang untuk keperluan rumahnya jika Bibi sedang tidak ada. Karena rata-rata pembantu di rumah nya, hanya berkerja setengah hari saja.

Dan untuk menyambung hidupnya, Asta pun mengambil pekerjaan paruh waktu sehabis sekolah. Upahnya sebagai pelayan di cafe yang tak seberapa namun Asta begitu bersyukur sebab ia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan gaji tersebut.

Gajinya pun tak serta-merta Asta habiskan untuk pendidikan nya. Karena Asta mendapatkan beasiswa, jadi untuk urusan sekolah bisa dicover dengan uang beasiswa tersebut.

SEBASTA RAESPATI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang