4. Her Family!

10 1 0
                                    

Sesuai rencana. Hari ini aku dan Anis datang ke yayasan  tempat dulu Mas Giras tinggal dan tumbuh besar. 

 Aku masih menyangkal ucapan Anis. Bagaimanapun aku mempercayai mas Giras 100 persen. Meski mas Giras tak banyak cerita soal orang tuanya, tapi ia seringkali bercerita tentang masa kecilnya yang ia habiskan di panti asuhan.

Namun, tujuan utamaku datang kesini karena ingin meminta pertolongan teman-teman Mas Giras untuk mencari tahu kabar mas Giras yang tiba-tiba sulit dihubungi. Karena tak ada lagi yang bisa kumintai pertolongan. Setahun hidup dengan mas Giras tak membuatku banyak tahu tentang relasi kerja dan teman-temannya.

Hubungan kami hanya sebatas kami berdua. Mas Giras tak terlalu dekat dengan keluargaku. Begitupun aku yang tak pernah mengenal orang-orang yang ada lingkungan mas Giras baik sebelum atau sesudah kita menikah.

Saat kami tiba di Panti asuhan, pengurus Yayasan mengarahkanku untuk menunggu di lobby. Menunggu untuk menemui Mbak Faraz sebagai anak panti senior dan kompeten yang sekarang di amanahkan mengelola panti ini, menggantikan ibu panti yang lama. 

"Ada perlu apa datang kesini, Vian?"

Itu pertanyaan yang keluar dari mulut mbak Faraz saat  datang di ruangan ini melihatku dan Anis. Ia mengambil duduk tepat di hadapanku.

Nada suaranya terdengar ketus, apa kedatanganku mengganggu?

"Maaf mbak saya ganggu waktunya" basa-basi aku yang dihadiahi tatapan tajam mbak Faraz "saya kesini mau menanyakan soal mas Giras"

Faraz mengernyit bingung. "Soal apa?"

"Sudah hampir sebulan mas Giras tugas kerja ke luar kota, janji awalnya dia cuma pergi buat seminggu. Tapi sampai sekarang dia belum pulang dan sekarang handphone nya susah dihubungi. Saya khawatir banget mbak. Barangkali mbak Faraz dan mas Aji bisa bantu saya untuk hubungi relasi kerjanya cari kabar soal mas Giras"

Mbak Faraz melipatkan kedua tangannya, perempuan cantik itu memandangku dan Anis bergantian.

"Kamu jauh-jauh datang kesini cuma untuk itu Viandra?"
entah perasaanku saja, atau memang ada nada meremehkan di kalimat itu.

"Sorry mbak, saya gak tahu lagi harus meminta bantuan siapa. Teman mas Giras yang saya tahu cuma mbak Faraz dan mas Aji aja."

Kulihat mbak Faraz lmenghela napas, tangannya masih bertahan dilipat di dada. Sepertinya benar, kedatanganku mengganggunya.

"Vian. Semenjak Giras menikah dengan kamu dia gak pernah datang lagi kesini. Giras seperti gak mau berteman sama saya lagi.  Saya pikir kamu membatasi Giras buat gak peduli lagi dengan anak-anak panti dan melarang dia berhubungan lagi dengan saya dan Aji."

"Jadi. Saat kamu datang untuk menanyakan itu. Saya gak bisa bantu apa-apa. Saya sudah lama tidak berhubungan dengan Giras. Kamu penyebab Giras memutus hubungan dengan saya dan Aji" 

Memutus hubungan?

Jawaban mbak Faraz begitu menohok. Aku gak pernah tahu kalau Mas Giras sudah tak pernah lagi komunikasi dengan mereka. Aku juga gak tahu kalau mas Giras gak pernah lagi datang ke Panti, karena setahuku Mas Giras gak pernah absen untuk donasi ke Panti ini. Aku tahu betul itu.

"Maaf mbak Faraz saya gak bermaksud begitu. Saya gak pernah larang mas Giras ketemu mbak dan mas Aji. Saya juga sering ingatkan dia buat menyisihkan rezekinya untuk adik-adik yang di panti ini. Kenapa mbak Faraz jadi menyalahkan saya"

"Memang begitu kenyataannya, Vian!. Giras jauh dari saya semenjak mengenal kamu. Kalau saya aja yang berteman belasan tahun bisa dilupakan begitu aja sama Giras. Apalagi kamu yang cuma hadir beberapa saat di hidup Giras. Mungkin dia udah bosan sama kamu makanya dia pergi gitu aja" 

Jawaban yang keluar dari mulut mbak Faraz sungguh tak bisa kuterima. Kami memang tidak mengenal baik. Namun kedatanganku kesini untuk meminta pertolongannya, mengapa ia jadi menyalahkan ku atas sikap mas Giras kepadanya. Aku gak tahu apa-apa soal mas Giras selain hubungannya denganku. Temannya, pekerjaannya, aku gak tahu apa-apa.

"Maaf mbak, kenapa jadi salahin teman saya ya. Kita datang kesini buat cari tahu kabar Mas Giras." Anis yang duduk di sebelahku tiba-tiba membuka suara "Kalau mbak masih menganggap mas Giras teman mbak, harusnya mbak khawatir juga dong dan bantu cari,  mbak pasti tahu dong teman kerjanya atau keluarganya ada yang mbak kenali gitu?" Mungkin sedari tadi Anis gatal untuk berbicara. Sekalinya berbunyi ia mengeluarkan kalimat panjang yang berhasil membuat Mba Faraz terdiam. Bibirnya terkatup selama beberapa saat. 

"Dia punya keluarga kan?" tanya Anis 

"Anis…" aku memperingatinya. Anis menatapku seolah aku harus diam saja.

Meski sekilas namun dapat kutangkap perubahan di wajah mbak Faraz.

"Maksudku, tidak semua anak panti tidak mempunyai keluarga bukan, bisa jadi setelah besar dia mencari keluarganya lalu bertemu, atau ada kerabatnya yang datang menemuinya, atau bisa jadi ada yang adopsi" Anis menatap aku dan Mbak Faraz bergantian. "Mas Giras punyak keluarga kan mbak?" Anis mengulangi pertanyaannya.

Mbak Faraz menghela napas, berdehem sebelum kalimatnya mengejutkanku.

"Jadi Giras masih belum jujur sama kamu Vian?"

Pertanyaan mbak Faraz membuat tanda tanya di pikiranku. Jujur tentang apa?

"Ck! Kamu masih percaya kalau Giras berasal dari panti asuhan?"

Hah? Maksudnya?

"Kamu dibohongi Vian"

"Panti asuhan ini milik keluarganya!"

TBC

Lantas Untuk Apa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang