Para rombongan timnas telah tiba di tanah air. Satu persatu pemain turun dari pesawat dan berjalan melewati para fansnya yang kebanyakan para wanita selalu setia menunggu sejak beberapa jam hanya untuk menyambut pahlawan tanah air yang sudah mengharumkan nama bangsa.
Di antara para cewek itu ada Annisa. Dia berada di kerumunan sambil membawa sebuket bunga sebagai tanda selamat.
Hingga saat sosok Justin lewat, Annisa buru-buru mendesak kerumunan. "Kak Justin!" seru Annisa.
Meski suara imut itu berasal dari banyaknya lautan manusia, tapi Justin masih mampu mengenali suara Annisa.
Tangan Annisa terulur ke depan. Dengan cekatan Justin menariknya sampai Annisa berhasil lolos dari kerumunan itu. Beberapa cewek-cewek labil tampak protes saat Justin, sang idola malah menggandeng seorang wanita.
"Ngapain kamu ikut-ikutan jadi cewek alay, sih?" ucap Justin seraya merangkul bahu Annisa.
Annisa cemberut tapi tak ayal membalas dengan melingkarkan tangannya di pinggang Justin.
"Dasar kakak. Disambut bukannya terima kasih malah dikatain anak alay, nih buat kakak!" sungut Annisa sembari memberikan buket bunga yang sudah susah payah ia beli sebelum sampai ke bandara.
Justin mencium bunga tersebut kemudian mencium kepala Annisa. "Ehmm... wanginya sama. Kamu gak mandi pake kembang, kan?"
Annisa tidak menjawab, malah mencubit pinggang Justin sampai-sampai lelaki itu memekik kesakitan.
Saat sedang berjalan, Annisa menoleh ke belakang. Dia seperti sedang mencari seseorang. Justin sebenarnya tahu apa yang Annisa cari tapi dia diam saja.
Dia tahu Annisa sedang berperang dengan egonya sendiri. Namun hingga mereka keluar dari bandara Annisa terus saja bungkam.
"Kamu ikut rombongan kakak, ya?" Annisa menggeleng. "Enggak usah, kak. Tadi emang niatnya mau nyambut aja di bandara. Kamu pulang naik taksi aja."
Justin mencebik. Lelaki itu mengambil ponselnya lalu memesan taksi online. Tanpa banyak protes Annisa ikut dengan Justin ke markas untuk mengambil mobilnya. Selanjutnya mereka pulang.
Sepanjang perjalanan Annisa hanya membuka tutup menu di ponselnya. Beberapa kali mulutnya sudah terbuka seperti ingin bicara namun berakhir tanpa suara.
"Kenapa? Kamu dari tadi mau nanyain Randy, kan? Tapi gengsi." Annisa yang mati-matian menahan pertanyaan itu seperti terkena head shot.
Wajahnya berubah panik, lalu otaknya berpikir untuk mengelak hal itu. "Ih, siapa bilang? Enggak kok. Aku lagi mikirin pelajaran kemarin itu tentang apa, ya?"
Justin malah tertawa terbahak-bahak melihat Annisa salah tingkah. "Hahaha, Annisa--Annisa... kenapa gak jujur aja, sih! Kamu makin keliatan imut deh kalo lagi salting kek gitu."
Annisa mendesah. Sumpah wajahnya malah memerah, kenapa di saat seperti ini justru anggota tubuhnya seolah ikut menjelaskan jika dari tadi dia memang ingin tahu dimana Randy.
"Ishh...kakak, nih!" Akhirnya adegan berakhir dengan kepala Justin menjadi sasaran geprekan botol kosong yang entah sejak kapan sudah ada di dashboard mobilnya.
Sudah kepalang basah, bukannya Justin menjelaskan soal keberadaan Randy, lagi-lagi Justin tidak bergeming, membuat Annisa meremas-remas tangannya sendiri begitu gemas ingin mengacak-acak rambut Justin.
"Kak!"
"Hmm?!"
Exhale Inhale dua kali. Sepertinya dia harus menurunkan egonya kali ini. Annisa kembali menatap Justin dengan tatapan tajam.