“Aku mencintaimu. Kalau Neng setuju bulan depan kita nikah.”Laki-laki bertubuh tinggi itu bicara dengan serius, terlihat dari raut wajahnya. Orang yang senantiasa bersabar menunggu jawabanku hingga dua tahun lamanya.
Dia sudah mapan, punya pekerjaan tetap dan siap menikah lagi. Lagi? Ya, dia memang duda beranak dua. Sedangkan aku masih gadis, usiaku 22 sedangkan dia 36. Cukup jauh bukan.
Itulah sebabnya hubunganku dengannya tidak direstui oleh Mama. Ayah sih merestui asal dengan syarat bisa membahagiakan aku. Entahlah Mama, dia tak setuju jika aku nantinya harus mengurus anak dari Aa Dimas.
Dimas Pratam adalah laki-laki yang aku cintai sampai aku terlena dalam cintanya. Bingung harus di bawa ke mana hubungan ini. Sampai sekarang aku tidak pernah menolak untuk dinikahinya tapi juga tidak memutuskannya.
“Gimana, Neng mau?”
Aku mengangguk. “Tapi aku belum yakin, maaf Aa.” Dia diam tak menjawab lagi, melihat raut wajahnya aku yakin ia kecewa, karena jawabanku selalu begitu.
“AULIA MASUK!”
Tuh kan panggilan dari Nyonya besar sudah menggema. Aku tidak bisa berbuat apa pun lagi sekarang alhasil aku harus masuk rumah.
“Aa aku masuk dulu, maaf,” ucapku lirih hendak pergi tapi laki-laki itu tidak melepaskan tanganku.
“Mungkin nanti Aa bisa menyerah, mundur perlahan.” Genggaman tangannya dilepaskan kemudian ia pergi.
Aku tertegun. Menatap kepergiannya dengan air mata hampir jatuh. Tak bisa bayangkan jika dia mundur perlahan lalu menghilang.
Jangan Aa!
Aku mohon!
***
Satu bulan berlalu, tetapi hubungan dengan kekasihku masih datar, bahkan dia tidak datang ke rumahku lagi. Apa dia benar menyerah dan memilih pergi, mungkin iya. Aku sih, memang aku yang salah kenapa tidak memberi kepastian.
Satu bulan ini hatiku kacau, sikapku juga mulai berubah lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar. Sebenarnya aku kecewa pada Mama, kenapa dia tidak mengerti dengan perasaanku.
Hari ini sepulang dari kampus badanku mendadak meriang, demam tinggi mungkin karena pulang hujan-hujanan. Malamnya Mama datang ke kamar membawa obat, dia menyuruhku meminumnya setelah makan malam.
Aku hanya menoleh sekilas kemudian menutup mata bersiap tidur tanpa minum obat. Malas rasanya biarlah mati sekalian, aku menyerah pada kehidupan seperti Aa Dimas menyerah berjuang untukku.
“Makan obat dulu sebelum tidur, Aul!”
Mama bicara dengan tangan menepuk pipiku. Tapi, aku tidak peduli bahkan tetap menutup mata enggan membukanya.
“Kamu ini memang susah di kasih tahu!”
Aku bangun dari tidur. “Kalau memang aku susah di kasih tahu, udah dari dulu aku nikah sama Aa Dimas! Aku gak butuh obat, malah sengaja aku hujan-hujanan biar sakit terus mati pelan-pelan.”
Wanita itu diam tak berkata apa pun kemudian pergi dan menghilang dari balik pintu. Apa aku berlebihan? Atau keterlaluan. Aku rasa iya.
Pelan-pelan aku berbaring lagi, kepala ini rasanya sakit sekali lebih baik aku tidur dan nanti besok pagi baru minta maaf.
Berjam-jam aku tidur, pukul sepuluh siang aku baru bangun. Ternyata lama juga sampai tidak sadar bahkan mungkin aku kini masih bermimpi.
“Bangun Neng udah jam sepuluh, gak pegel emangnya tidur mulu.”
Hemm. Aku tersenyum melihat wajah Aa dalam mimpi, dia datang ke kamar. Indah dan genteng menawan, aku menyukainya.
“Kenapa senyum-senyum gitu, mikirin apa sih Neng?”
Aku mengedipkan mata berkali-kali. Kok ini mimpi terasa nyata, dia mengusap-usap kepalaku dengan wajah tersenyum manis. Lalu detik berikutnya aku menangis terharu, ternyata bukan mimpi. Ini beneran Aa ada di sini di kamarku.
Kupegang tangannya erat lalu aku simpan di pipi. “Aa ke mana aja? Kenapa Aa jahat mau tinggalin aku. Terus kenapa Aa ada di sini? Nanti Mama bisa marah kalau tahu Aa dekat aku.”
Aku melepas tangannya, kemudian lirik sana-sini memastikan Mama tidak ada di kamar.
Dia bukannya panik malah tersenyum lalu memegang kedua pipiku. “Tenang aja, Mama gak akan marah. Malahan dia yang suruh Aa ke sini.”
Aku agak terkejut sedikit tidak percaya. Mana mungkin Mama bisa luluh begitu saja, padahal selama ini aku berjuang membuatnya luluh tak pernah berhasil. Kenapa tiba-tiba, aneh.
“Yakin A?”
“Iya. Awalnya Aa juga gak percaya, tapi Mama mu membuat Aa yakin. Udah lah gak usah terlalu dipikirin. Semoga aja menjadi awal baik buat hubungan kita.”
Aku mengangguk. Lantas bangun dan memeluknya erat, dia tidak menolak malah semakin merapatkan pelukan. “Cepat sembuh, ya. Kalau udah sembuh kita langsung nikah.”
Hah, aku mendongkak menatap wajahnya. “Secepat itu, Aa?”
“Iya, tunggu apa lagi? Emangnya pelukan sebelum nikah gini gak dosa apa?”
Eh. Segera kulepaskan pelukannya kemudian menunduk. Aku tahu itu dosa, tapi ketika tiba saatnya semua sesuai keinginanku kenapa aku malah takut gini. Takut di apa-apain nantinya.
“Kenapa?” tanyanya meraih daguku supaya menatapnya.
“Neng mau gak nikah sama Aa?”
“Mau.”
Dia tersenyum manis kemudian mengusap lembut kepalaku. Lalu menyuruhku makan dengan makanan yang di bawanya. Sambil menyuapiku dia bercerita kalau semalam Mamaku telepon, Mama jelaskan kalau aku sakit terus suruh ke sini.
“Sebenarnya dari jam delapan pagi Aa udah di sini, nungguin kamu bangun tapi gak bangun-bangun, ya udah sambil tunggu Aa bicara sama orang tuamu tentang pernikahan kita. Mereka setuju bulan depan kita nikah,” ujarnya panjang. Aku hanya mengangguk saja.
“Aa nggak kerja hari ini?”
“Enggak. Sengaja ambil cuti buat ke sini. Semalam Aa panik waktu tahu Neng sakit sampai tidur Aa gak tenang.”
Aku tersenyum. “Emang Aa secinta itu sama aku?”
“Iyalah, kalau enggak kenapa Aa rela nungguin Neng sampai dua tahun.”
Lagi-lagi aku tersenyum mendengar kalimatnya. Dia selalu bisa membuat aku terlena dalam cintanya.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlena Dalam Cintamu
Narrativa generaleKetika aku berumur 17 tahun, aku jatuh cinta pada sosok lelaki tampan, manis dan gaya rambutnya yang selalu rapi terlihat dewasa. Aku kira dia pasti hanya beda dua tahun saja umunya denganku, nyatanya tidak. “Kayaknya dia udah nikah, tapi gak tau s...