4.1 David

30 3 0
                                        

Di pantai yang luas, terdapat seluet perempuan berkacamata. Dia menari-nari di hamparan pasir, terkadang melompat dan menandakan-nandak kegirangan. Tak memedulikan pakaian pendek ber-rok selutut itu terangin-anginkan oleh tingkah idiotnya dan embusan angin. Dia merasa bebas dan puas.

"Jenika!"

Gadis berkacamata—Lily Jenika Putri—itu membalikkan badannya, mengubur niatan berjoget gila seperti tadi. Dalam hati dia berdecak sebal, siapa cowok itu?

Cowok tadi maju, bahkan terlihat terburu-buru untuk menghampiri. Setelah mendekat, tanpa malu dia mencium kening gadis mungil itu, penuh perasaan.

Lily terperanjat mundur seusai lelaki itu melepas kecupan singkat tadi, dia memasang wajah tanpa dosa. "Siapa lo? Dasar brengsek!!!" Wajah Lily menandakan ketidaksetujuan atas perlakuan lelaki itu.

"Aku David, Jenika bawel!" David memberitahu seraya menyunggingkan senyumnya. Sangat manis.

"Bohong!" Lily menyanggah.

"Buat apa aku bohong, Jenika."

Hening.

Lily mengerjap beberapa kali untuk menyurutkan genangan air mata yang hampir tumpah, beberapa kali ia tahan untuk bersikap biasa saja tapi sangat susah. Betapa dirinya tahu rasa rindu yang sudah lamanya membekas, dari SD. Dan sekarang dipertemukan lagi di umur enam belas tahun ini. "Lo David? Tolong jujur ...," suaranya bergetar.

David hanya mengangguk. "Tapi aku akan pergi sekarang, sebentar lagi kamu akan merindukanku lagi. Boleh?"

Lily tak kuasa menangis sambil terisak sekarang. Tak ada yang menahannya untuk memeluk lelaki tinggi itu, ia tak mau membayang-bayangkan dia lagi. Terlanjur mencintai, tak bisa memiliki, susah untuk memahami hati ini, padahal tinggal melupakannya tapi rasanya sangat susah. Lily memeluknya cukup erat sebagai ganti lelaki itu menghilang bertahun-tahun, ia tak rela merasa kehilangan lagi.

"Satu saat, kamu pasti menemukanku lagi. Jangan cengeng, biasanya juga kamu kuat."

"Nggak. Kamu harus di sini."

"Jenika ...," David memelas.

"Kalau nggak! Ya nggak! Aku kepengin kamu menemaniku sekarang. Jangan pergi lagi. Aku mohon, David."

"Maaf ...."

"Aku benci kata itu!" Lily tambah erat memeluknya, tak memberi celah David untuk melarikan diri. "Pokoknya kamu harus di sini!"

"Gak bisa ... belum waktunya. Sudah, ya?"

"David ...."

"Aku mohon ...."

"DAVID!!!"

Lily membuka matanya yang membasah. Terkaget sendiri ketika melihat yang dipeluknya hanyalah bantal guling. Dan tempat yang saat ini dihinggapinya adalah kamarnya, bukan pantai. Ternyata ia bermimpi.

Lily menyeka air matanya, perlahan memakai kacamata dan meluaslah pandangannya. Di sisi-sisi dinding terdapat tiga robot kembar sebesar telapak tangan, ber-merk Zukee. Itu hasil rangkaiannya.

Namun, mata itu rasanya mulai mengosong. Memikirkan sosok cowok kecil bernama David yang menghiasinya ketika SD, dari kelas satu sampai lulus. Perlahan, buih-buih peristiwa berjatuhan, menelan kenyataan menjadi kenangan. Dan ia merasa yakin untuk membuka memori di ingatannya.

Lily kembali mengingat di saat bocah SD itu tanpa angin mengacungkan diri menjadi sosok pahlawan untuk membantu dirinya yang menjadi korban rayuan sebab ia paling cantik dan pintar di kelas, bahkan dirinya tak meminta.

Lily menjadi tersenyum ketika mengingat bocah itu mesem-mesem memujinya ‘cantik’ di saat dirinya masih belum memakai kacamata minus dan masih duduk di bangku kelas 4. Selalu berucap nyeleneh yang ampuh membuatnya tertawa dan ... jatuh suka. Dia tampan dan baik, mana mungkin rasa suka ini tak muncul, pikirnya waktu itu, dan sekarang sedikit menyesal. Pertama, masih kecil sudah mengenal cinta. Kedua, menyesal karena cinta itu tersia-siakan atas kepergian yang terlanjur terencana. Dan ternyata ia masih tak terima.

"Jenika, aku ingin kamu senyum. Jangan cemberut gitu." Kala itu David mencubitnya, Lily ingat betul itu sangatlah sakit.

"Iya, iya, nih," tersenyum dipaksakan. Lily sekarang terkikik-kikik sendiri di kamar.

"Omong-omong kamu mau masuk ke SMP mana? Kita harus rencanain dari semester sekarang, kita ’kan udah kelas enam."

"Gak tau, yang penting dekat dengan rumahku. Bandung."

"Oh, gitu."

Mulut Lily mengantup. Kali ini ia menggeleng, berusaha mungkin untuk tidak mengingat masa terpahit. Masa tak terelakan. Masa tergoblok baginya. Di mana dirinya tak menemukan David di hari kelulusan Sekolah Dasar, ia sempat menghilangkan diri di samping papanya yang kelimpungan mencari di wilayah sekolah sampai-sampai ketika pulang dirinya ditampar, padahal waktu itu ia sedang berlari menuju rumah David, barangkali dia sakit.

"Buat apa kemari?" Seorang pria yang membuka pintu, bukan David.

Lily tidak pernah kenal orangtua David, ia hanya berteman di sekolah atau selebihnya di taman dekat rumahnya betapa dirinya yakin papa pasti menekankan dirinya dalam belajar terus-menerus. "Aku mau cari David. Ada gak?"

"Dia sudah pergi." Bapak tadi dengan wajah datarnya menutup pintu kembali. Menghiraukan bocah kecil sepertinya menjauh dari rumah dengan tanda tanya besar.

Waktu itu, Lily merasa yakin bila ‘pergi’ yang dimaksud bapak itu bukan pergi meninggalkan bumi. Hanya pergi meninggalkannya dengan waktu sementara atau mungkin selamanya. David yang sekarang pasti sudah melupakannya, kenangannya, sejarah manisnya, mungkin saja David yang sekarang sudah lupa kisah SD-nya. Mungkin saja kematian itu belum terjadi.

Namun, Lily serasa miris. David membuatnya rapuh sampai sekarang. Penyebabnya, ia terlalu berharap. Berharap dapat melihat sosok David langsung di depan matanya sekarang. Berharap cinta ini tersambungkan oleh David yang sama. Tapi yang ada, pengharapan itu menggaploknya dengan sanggahan: Tidak mungkin!

Meskipun masih hidup, David tidak mungkin mengingat bocah ingusan sepertinya. Sebagaimana dirinya tahu bahwa David belum mengenal rasanya ditinggalkan, perasaan seperti remaja di umur yang masih tengil begitu.

Meskipun David mengingat Lily yang dulu selalu dipanggil "Jenika", tapi ingatan itu bukan mengenang bagaikan hati yang retak sepertinya. Mungkin saja, David yang sekarang lebih condong mengingat diri sendiri daripada orang terdekatnya. Mungkin saja, kan? Lily lagi-lagi harus teryakinkan.

Perlahan memorinya terkuburkan dengan waktu sekarang yang menunjukkan pukul tiga pagi, hari Sabtu, libur sekolah. Dan yang harus ia kerjakan di dunia nyata saat ini adalah pulang ke Bandung, bertemu keluarganya.

***

Lily Kacamata - [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang