❄❄❄❄
Sejak hari itu, secara otomatis aku selalu menunggu notifikasi pesan dari nomor yang biasanya tidak pernah alfa muncul di pop up gawaiku. Namun, sudah hampir hari ketiga, aku sengaja mengunggah cerita di media sosial lebih intens dari sebelumnya. Setiap beberapa menit, aku melihat apakah ada namanya berderet di antara pemilik kontak yang kusimpan. Nyatanya dia hanya beberapa kali melihat, kadang ada cerita yang dilompati seperti saat aku menggulir begitu saja agar tidak ada notifikasi pemberitahuan cerita.
Berulang kali membuka room chat yang tidak mendapat respon, rasanya sangat asing dan aku tidak suka dengan keadaan ini. Bukan berharap lebih, hanya saja aku benci kehilangan keakraban yang kusukai. Mengetik dan menghapus kembali, aku memang tidak berniat mengirimkan apapun hanya berusaha memancing. Bisa saja, kontakku di gawainya menunjukkan gerakan 'mengetik' tapi tak kunjung ada pesan masuk. Lima menit kemudian, aku meletakkan benda persegi itu di dalam tas dan mencoba mencari kesibukan lain.
Suasana kampus di hari pertama jadwal pengurusan KRS tidak ramai, tentu sudah bisa dipastikan mahasiswa akan berbondong saat beberapa hari terakhir. Meski ada beberapa juga yang ingin segera mengurus agar belakangnya tidak kepikiran atau ribet, mayoritas lebih suka tenggat deadline dengan berbagai alasan masing-masing.
"Del, udah selesai?"
Suara yang cukup akrab di telingaku, aku hampir lupa jika saja dia tidak menatap dengan senyum. Perempuan ini pernah kutemui saat Pengenalan Kondisi Kampus dan Mahasiswa, dia beberapa kali menyebutkan namanya setiap bertanya. Namun, sayangnya aku hanya bisa membalas dengan senyum, sampai ia mengulurkan tangan karena mungkin paham kita belum pernah berkenalan.
"Alinea Gherita. Sebut aja Gege, kita satu organisasi loh. Aku di Basic bareng sama Diani."
"Aaa berarti lebih senior, salam kenal dariku. Adelita."
"Iya, lebih senior tapi kamu yang lebih aktif."
"Sama kok, aku juga baru belajar di dalam karena masih anggota remeh."
"Keren loh, nggak semua orang bisa pergi ke acara penting."
Berbincang dengannya membuat waktu berlalu begitu saja, aku tidak tau dia akan seseru ini dan banyak hal yang bisa diperoleh darinya. Perempuan ini pintar, dia juga mental dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Kurang apa lagi? Kadang sering merasa tidak percaya diri saat bertemu dengan yang seperti ini, tapi kembali lagi sabda kak Devi tidak pernah hilang dari kepala.
"Buat apa hebat kalau tidak mau berbuat? Lebih baik biasa saja tapi banyak ide dan realisasinya."
Lingkup organisasi itu di kampusku cukup besar, sebab tidak ada himpunan serupa yang menjadi tolak ukurnya. Beberapa kali kak Calvin juga mengingatkan, survive bukan hanya harus dilakukan oleh senior terdahulu tapi juga anggota di bawahnya. Lawan kita sekarang bukan kelompok yang serupa, melainkan orang dalam sendiri yang menggerogoti tanpa mampu membedakan mana tugas dan kepentingannya.
"Ngelamun?"
Dua bungkus cokelat merk terkenal disodorkan ke arahku, satunya matcha dan satu stroberi. Urusan KRS ku belum selesai, sejak tadi aku mengincar antrean bendahara yang seperti tak ada harapan lagi. Laki-laki itu melambaikan cokelat yang masih ia pegang, aku mengambil alih dan ia duduk di kursi sampingku.
"Gimana? Kuliah dan Organisasi nggak mengganggu, 'kan?"
"Kak Zio?" ujarku menerima cokelat darinya dan tersenyum. "Tumben, nih. Dalam rangka apa?"
"Nggak, cuma berusaha aja siapa tahu beneran ikhtiar dan takdir itu bekerja dengan baik."
"Hm?" Aku mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang dia katakan karena terlalu ambigu.
Kak Zio hanya menepuk ujung jilbabku, tak lama dia melihat notifikasi dari gawai dan pamit beranjak lebih dulu. Mengecek beberapa lembar KRS, aku mendengar suara yang tidak asing memanggil dari kejauhan. Enggan bereaksi, kepalaku baru menoleh ketika dua orang sudah berdiri di samping kursi yang kududuki.
"Del, lagi sibuk nggak?"
Tanya salah satunya, aku menggeleng dan meminta dua orang ini duduk sebelum menyampaikan tujuannya. Gadis dengan jilbab panjang, garis wajah yang manis juga beberapa kali melihat keaktifannya tidak kunjung membuatku ingat.
"Mau ngebahas soal yang aku chat semalem."
Ah, iya. Aku ingat dia, batinku.
"Kenapa, Sin?"
Berharap bukan sebutan yang salah dari bibirku, kalau tidak lupa namanya Sindi. Benar, Sindi dengan susunan huruf yang wajar, tidak pakai C apalagi H.
"Mau ketemu sama anaknya? Siapa tahu kalian bisa ngobrol juga tentang rencana dia. Ini 'kan sebenarnya project dia."
"Oh, boleh. Emang sekarang orangnya di mana?"
"Di sebelah paling, tunggu aku coba hubungin dulu."
Semalam gadis ini menawarkan sesuatu yang tampaknya menarik, aku suka dunia literasi terlebih menulis. Meski fiksi, beberapa kadang menganggap sama saja antar fiksi dan nonfiksi. Dari singkat pembahasan semalam, ada teman dekat atau bisa dibilang tetangga yang sudah dia kenal lama menawarkan project bertiga. Mungkin awalnya aku ragu, karena setelah mendengar cerita dari Sindi ternyata mereka sudah memiliki pengalaman sebelumnya. Sedangkan di posisi ini, aku mungkin akan menjadi satu-satunya orang yang awam dengan project yang mereka maksud.
Tidak lama, seseorang tampak berjalan mendekat dan tentu saja Sindi yang lebih dulu menyapanya. Seorang Adelita berada dalam situasi gawat, aku tidak bisa mengenal orang baru begitu saja dan berharap ini tidak awkward.
"Nih temenku, namanya Adel. Kenalan gih, ceritain juga maksud dari project yang kamu tawarin tempo hari."
Sindi membuka pintu, dia sudah seperti Master of Ceremony yang memahami keadaan. Lelaki itu lebih dulu melempar senyum, kuharap mataku tidak membuat kesalahan. Kak Calvin dan kak Galih berulang kali mengingatkan cara menatapku yang menakutkan, mereka sering merasa terintimidasi di awal sebelum mengenal dan menjadikanku adik dekatnya seperti sekarang.
"Jadi gini ... kemarin sempat sih ada tawaran lomba gitu. Aku udah sempet ngomong detailnya dikit ke Sindi, cuma emang dalam bentuk kelompok dan butuh 3 orang."
Lelaki itu menjelaskan, caranya sangat sederhana dan aku bisa menangkap nilainya lebih di atasku. Biasanya laki-laki seperti ini sedikit berbahaya, aku tidak suka merasa terancam dan tiba-tiba tidak percaya diri.
Gawat, belum apa-apa aku udah insecure, batinku.
Bagaimana tidak, lelaki ini berulang kali menegaskan bahwa ia dan Sindi sudah pernah mengikuti hal serupa dan merasa tertantang. Tersenyum membayangkan jika mungkin nantinya jadi, aku hanya akan menjadi beban mereka berdua. Sindi sudah tidak perlu ditanya, salah satu teman kelas yang mematahkan sisi aroganku di masa sekolah dengan cara yang elegan. Lalu lelaki ini, dari caranya mengenalkan tawaran saja membuat alarm dalam diri spontan aktif. Terlebih sisi lainnya tampak tidak suka dengan pihak yang lebih lemah darinya, dia hanya memerlukan orang-orang kuat di sekitarnya.
"Sebelumnya makasih udah ngajak aku," ujarku setelah semua pembahasan dari satu pihak bisa tertangkap. "Jujur mungkin aku nggak tahu ini seperti apa, tapi sekiranya kalau emang ntar dibutuhin sih InsyaAllah aku mau aja bantu."
Di bawah payung-payung yang berdiri samping Sekretariat Himpunan, Sindi dan lelaki itu kompak tersenyum. Aku bisa melihat ada binar harapan dari mereka, tanpa tahu aku sendiri hanya berani mengigit bibir dan memutar cara agar nantinya bisa menolak jika memang itu di luar kapasitasku.
Seusainya, Sindi mengajak teman di sebelahnya mengobrol dan kami bertiga sampai lupa jika ada sau gadis lain yang tadi datang dengannya. Berempat mungkin belum menemukan rel yang cocok, hingga di beberapa momen hanya Sindi dan lelaki itu yang nyambung dengan pembahasan mereka.
"Sebenernya kebalik, sih. Kamu IPA, harusnya di kampus sebelah kok malah di sini, Ndi?"
"Itu juga yang bikin heran, malah masuknya di Prodi Ekonomi lagi. Harusnya kamu yang masuk sini, hee."
Obrolan mereka akrab dan menyenangkan, tiba-tiba gawaiku bergetar dan sebuah notifikasi muncul.
Syahib
| Lita
| rindu 😩°° ... °°

KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa [On Going]
Novela JuvenilBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...