9.1 Bullying

3 1 0
                                    

Lily menengadah ke atas langit di luar yang mendung, sebentar lagi gerimis dan sudah ada tanda hujan deras. Padahal hari masih siang untuk menangisi bumi. Dan karena itu, murid-murid ikut mengeluh di jam istirahat kedua yang sebentar lagi jam pulang sekolah, sudah berpikir macam-macam bagaimana nantinya rintik hujan belum surut—membasahi baju seragam.

Bagaimanapun juga siswa SMA sudah berpikir dewasa dan tak mungkin hujan-hujanan bagaikan bocah.

Tapi itu hanya menyangkut masalah hujan, beda cerita dengan kelakuan.

"Woey!"

Lily melirik siapa yang berteriak di belakang, rupanya ada laki-laki yang meneriakinya. "Hendra?" sapa Lily memastikan.

Tak ada sapaan ramah, Hendra justru menggebrak meja kantin yang ditempati Lily, sendirian. Tak bisa istirahat bersama karena Kaze dan Linda memiliki kesibukan sendiri. Dan gebrakan cukup keras itu menyunyikan kantin yang ribut, mata mereka tertuju pada Lily dan Hendra. Menatap kebingungan.

Lily mengenali lelaki itu. Tahu rutinitas Hendra ketika menemuinya. Orang yang sering mengganggunya, selalu menyorotinya sebagai cewek culun satu sekolah. Kehadiran Hendra dengan mimik penuh emosi itu sudah jelas membuatnya menerka ada yang tidak beres, ditambah lagi ketika mendapati sebelah pipi Hendra bengkak seperti sudah menerima pukulan kencang.

Lily terkesiap begitu melirik ke belakang tubuh Hendra. Baru menyadari Hendra membawa puluhan pasukan menyusul di belakang. Diantaranya ada Nura dan ciwi-ciwi pembawa kayu, atau ada pula yang membawa bola. Walau kebanyakannya cewek daripada cowok, Lily wajib waspada. Ia sempat melirik murid yang menikmati sarapan kantin. Memang tak banyak orang yang mem-bully-nya, tapi tidak sedikit orang acuh tak acuh kepadanya. Buktinya sekarang ia meminta pertolongan lewat kontak mata, mereka justru berpaling tak peduli. Begitulah anak SMA di sini, bila tidak ikut-ikutan berarti acuh tak acuh, tidak ada satu pun yang tergerak membantunya.

"Ada apa, ya?" Lily kali ini berdiri menghadap mereka semua. Apa mungkin akibat mereka berwajah penuh amarah adalah tahu buku tugas mereka tercemplung di selokan? Tapi Lily sudah mengganti buku yang terkena noda dengan buku baru, dan dirinya menulis ulang catatan mereka. Namun, sekarang Lily merasa aura pendendaman mereka hanya padanya. "Gue minta maaf kalo gue ada salah ...."

"Gak usah banyak bacot!" Salah satu cewek menukas dengan lengkingan tajam. Matanya kontras melotot. "Udah berani lapor-lapor ya lo!!!"

"Lapor? Gue gak lapor guru—"

"Lo lapor ke Ryan!" Ucapan Lily dipotong kembali. "Gara-gara lo kita kena tampar! Lo emang harus dapet balasannya!" teriak salah satu cewek seraya menghampiri dan menampar Lily cukup kencang.

Lily meringis sedikit, meresapi nyeri yang khas, tatapi ia berusaha tersenyum simpul. "Ryan nampar kalian?" tanyanya sembari mengamati pipi mereka satu-satu. Benar. Sebelah pipi mereka yang perempuan berwarna merah muda meski samar, bahkan ada sedikit bekas telapak tangan yang membentuk itu terlihat. Sementara beberapa laki-laki hampir sama dengan pipi sebelah Hendra, bengkak seperti habis digeluti preman. Tapi Lily menduga anak buah Ryan ’lah yang melakukan. Ryan tak mungkin melayangkan tangannya hanya untuk memberi pelajaran mereka semua, apalagi kepada perempuan.

Namun, satu pertanyaan heran membatin di benaknya. Kenapa Ryan melakukan itu semua?

Mereka memberi umpatan kasar kepada Lily yang masih melamun. Tidak diberi kesempatan untuk bernapas, tangan dan kaki mereka mulai digunakan untuk menganiaya Lily. Bola yang mereka genggam dilempar keras tepat ke wajah Lily secara bertubi-tubi sampai korbannya menunduk melindungi menggunakan kedua tangannya. Kayu-kayu yang dipegang mereka diayunkan keras kepada tubuh Lily yang terduduk melindungi wajah, perut dan semuanya. Tubuh Lily terutama punggung dan tulang kering yang terkena kuat bergetar karena merasakan sakit yang luar biasa.

Mereka tak terganggu meski Lily berteriak kesakitan sambil memohon, mereka justru tertawa dan bergiliran membalas dendam kepadanya. Kepala Lily memusing kala ditendang, dipukul, dan dilempar bola. Kala satu tangan menopang tubuhnya yang menunduk di lantai, kelima jarinya diinjak menggunakan kaki bersepatu. Tulang gerak tangannya mati rasa.

"Mantaaap!!" Nura tertawa-tawa bahagia sambil menendang perut Lily sampai tersungkur ke bangku besi.

Baru pengawalan mereka balas dendam, Lily sudah terbatuk. Menggenggam perutnya yang tiba-tiba keram. Entah kenapa ada yang perlu Lily keluarkan, tapi pengap di pernapasan. Beberapa saat Lily terbatuk-batuk, akhirnya ia berhasil muntah. Mengeluarkan linangan darah yang membuat para penindas berteriak histeris.

Suasana kantin berubah kacau. Yang tadi hanya menonton ngeri, pada lari hendak ke kelas. Semuanya serempak berteriak histeris kala Lily muntah-muntah darah dengan wajah pucatnya. Beberapa dari puluhan yang mengekori Hendra menjadi panik, sebagian memilih pergi meninggalkan kantin.

Lily masih terduduk, menundukkan kepala. Wajahnya tertutupi helai rambut yang ikat talinya sudah lepas entah di mana. Tangannya yang tadi diinjak bergetar berusaha menopang tubuhnya yang akan rubuh, sementara tangan kanannya menutup mulut berlinang darah yang membuat lantai kantin bernoda.

Sakit..

Mama, mereka jahat..

Setetes air mata keluar begitu saja.

“Lo nangis?” Nura bertanya pelan tatkala melihat terdapat setetes air bening jatuh di lantai di antara kubangan darah.

"Gue min-minta maaf ...," suara Lily dibuat setegar mungkin, tetapi suaranya masih terdengar bergetar. Menahan sakit dan tangis.

Hening. Tak lama mereka tertawa bersama di antara suara sepi dan senyapnya kantin. Tempat yang awalnya berisi siswa lenyap oleh pem-bully-an yang tak kenal tempat. Mbak-mbak kantin hanya bisa menangis tidak berhasil melaporkan kepada petugas keamanan karena murid laki-laki siap siaga menahan mereka untuk tidak ikut campur. Acara mem-bully Lily seakan dibuat matang-matang. Tak ada yang tau selain mereka di sana.

"Cewek culun begini harusnya dibacok pake linggis!!!"

Salah satu cewek mengangkat lengan kiri Lily, diikuti oleh satu cowok yang mengangkat lengan kanan Lily. Mendirikan Lily yang lemah. "Silakan, masih banyak waktu. Tenang aja," sahut cowok itu sambil tersenyum sinis.

"OKE!" Salah satu cewek memukul kedua pipi Lily berkali-kali. Merasakan bahagia setiap pemukulannya tidak pernah meleset. Darah-darah di mulut Lily keluar, terbang oleh pukulan kencang. "Iiih! Jijik!" teriak cewek tadi karena tangannya terkena liur darah Lily.

Serangan demi serangan dilancarkan begitu mulus. Tak ada yang memberhentikan. Tak ada orang dipihak Lily yang mengetahui. Pukulan dan tendangan seolah menjadikan Lily samsak mereka.

Wajah Lily sudah bengkak disertai robekan. Hidung yang biasanya kuat atas serangan, kali ini terpaksa mengalirkan darah. Kedua tangan Lily akhirnya dihempas, dan Lily ambruk di lantai putih bernoda darahnya. Tubuhnya berasa sudah jatuh di atas ketinggian, tapi bukannya mati justru masih hidup dengan malangnya.

Lily meringis ketika rambutnya ditarik agar wajahnya mendongak kepada mereka. Satu manusia pertama yang ia lihat adalah Nura yang menarik rambutnya, dia tersenyum melihatnya yang lemah.

"Lucu banget hidup lo. Gue sebagai figuran di cerita lo bahkan tertarik ingin ikut andil."

Lily yang mendengarnya merasa merinding. Nura seperti menyebut dirinya adalah mainan boneka.

Salah satu cowok melempar kursi besi, mulus menghantam tubuh Lily. Sesudah itu, Lily reflek menekan pipi samping serta dadanya yang terkena besi kursi. Kali ini Lily mengerang tak kuat, tanpa sadar ia meringkuk meminta perlindungan.

"Ekhem! Lo kira lucu, bully orang?" Seseorang datang, tanpa pamrih menendang punggung cowok yang melempar kursi tadi sampai tersungkur. Belum kenyang, dia kembali menerjang kepalanya sampai cowok itu tak sadarkan diri. "Ze, bawa Lily. Biar gua yang urus para penyamun!!" Linda dengan gagah menghadap mereka plus memasang ekspresi diraungi kegelapan.

Kaze perlahan mengangkat tubuh Lily yang akan pingsan. Menghiraukan penolakan lemah Lily yang terbatuk-batuk, ia mulai pergi menuju ruang UKS.

"ANJING LO SEMUA, BANGSAT! LO BERANI USIK TEMEN GUE, HAA?!”

Samar-samar Lily mendengar suara Linda yang mengamuk dengan suara benda jatuh terbanting. 

Suara teriakan para pem-bully terdengar nyaring, bahkan ketika kaki Kaze sudah memasuki koridor, suara tulang saling gemeretak masih terdengar.

Semuanya tiba-tiba gentar. Selain sikap brutal Linda yang tidak mudah ditahan, selain badan tegap Linda—sang pemain basket putri—dengan kaki jenjangnya sanggup membuat tubuh orang terkapar tak berdaya, selain lengan putih Linda yang berhasil melenyapkan kesadaran seseorang. Selain semua kelebihan Linda itu, kehadiran sang raja iblis yang terlambat datang lebih menyeramkan. Membuat orang yang hendak kabur mematung di tempat.

Tatapan Ryan sedari tadi menggelap menatap mereka satu per satu. Ketika melihat laki-laki juga ada di sana dan lantai yang bernoda darah membuat ia mengecangkan rahangnya.

Di belakangnya, Rubay tersenyum geli ketika mengamati kegelisahan mereka, dan gemas sendiri kala Linda membalikkan tubuh Hendra hingga KO. "Saran gue hati-hati, kemarahan Ryan pasti gue bela dan gue bantu. Dan peruntuk cewek-cewek, siap-siap, ya?" Rubay mengatakan itu seraya maju dan mulai memberi pembelajaran kepada gadis-gadis yang berteriak ketakutan, ia takkan tanggung-tanggung melawan, entah itu cewek maupun cowok korbannya.

Ryan mulai menerkam para laki-laki bersama Linda yang sudah buas tak terkendali. Emosinya harus dilancarkan dengan bertengkar, tapi ini tidak bisa disebutkan pertengkaran, sebab hanya dirinya yang menyerang.

Sementara Rubay tiba-tiba berhenti, matanya tertuju pada Nura yang enaknya menyandarkan tubuh di dinding, Nura membuka mata ketika merasa diperhatikan kemudian tersenyum misterius kepada Rubay. Lelaki itu bukan takut, tetapi terkejut karena Nura sudah tahu lebih awal letak persembunyian kameranya yang di-setting sebelum terjadinya bullying. Padahal Rubay tahu betul sangat susah untuk diketahui. Sebelum berkoperasi ingin mem-bully, Nura bahkan sempat melambai-lambai ke arah kamera dengan tampang mengejek, gadis itu seakan tidak tahu ketakutan yang dicerna oleh para pem-bully lainnya.

Tiba-tiba ada kaki yang melompat dari meja, mendarat menuju perut Nura. Linda membuang napasnya, menatap intimidatif kepada Nura yang terkapar tak berdaya. Di saat Linda kembali menyerang penindas lainnya, Rubay masih berdiri memerhatikan Nura yang meringkuk memegangi perutnya. Perempuan berambut sebahu itu meringis yang terdengar seperti kekehan menghina.

***

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang