10.1 Tertarik?

2 1 0
                                    

Walaupun kaki Lily masih kuat berjalan, tapi Kaze maupun Linda ngotot untuk membantunya hingga sampai di parkiran, tempat mobil serta Ryan berada. Iblis itu sedang santainya bermain gadget di dalam mobil di kursi depan.

"Gua gak yakin Ryan beneran antar lo balik." Tanpa tertahankan mulut Linda berucap ketus melirik Ryan melalui jendela, lelaki itu masih asik bermain gim di ponselnya.

"Tenang aja. Ryan baik, kok." Hampir saja Lily tersedak mengatakan itu. Tapi ada benarnya juga, perlakuan Ryan kepadanya hanya memerintah tanpa melakukan kekerasan bagaikan orang yang mem-bully-nya tadi. Tapi rasanya, pujian untuk Ryan terlalu bagus dari perlakuannya yang menyandang titel iblis.

"Lo hati-hati, ya. Di kost masih ada makanan selain kop—"

"Masih ada, Ze ...," sambar Lily penuh penekanan. Matanya memberi arti bila Linda tak boleh mengetahui tentang dirinya yang minum kopi. Untunglah Kaze cepat peka, sementara Linda masih sibuk mencibir tak jelas kepada iblis tak berkemanusiaan itu.

Ryan seakan tak mendengar kicauan tiga bersahabat itu yang sedang mencaci-makinya lewat sindiran. Mata serta pikirannya sedang berlabuh pada permainan yang menantangnya untuk serius dimenangkan.

Pada akhirnya, Lily duduk di kursi belakang mobil milik Ryan. Menunggu lelaki itu menyelesaikan permainan ternyata bukan pilihan terbaik karena badannya yang lelah harus buru-buru istirahat dengan nyaman di kos. "Ryan? Jadi antar gue?"

Ryan terkaget atas kehadiran Lily secara tiba-tiba. Ia menoleh ke belakang. "Lo udah di situ aja? Gak sopan!"

Lily mengerjap kebingungan. "Jadi gue harus ngetuk-ngetuk pintu dulu?"

"Ya iya lah!" Seenak jidatnya, Ryan mencetuskan jawaban.

Lily mengangguk, meringis-ringis ia keluar kembali. Bila begini caranya ia memilih menolak saja kala Ryan berkeinginan mengantarnya. Kembali benaknya membuang suku kata ‘sedikit baik’ untuk Ryan, dan jangan harap Lily akan memuji lelaki itu manusia baik-baik lagi. Di luar, dirinya mengatur napasnya, entah kenapa Lily harus melakukan itu, lepas itu mengetuk pintu depan mobil yang seberangnya diduduki Ryan seorang.

"Halo? Apa Tuan berkenan mengantarkan saya ke lokasi yang saya inginkan?" Lily sengaja berkata formal sambil membungkuk sebagai citra penghormatan. Dan posisi itu membuat punggung belakangnya remuk, tak kuasa mengaduh dan kembali berdiri tegap. "Apa boleh, Tuan?"

Ryan merasa terhibur. Buktinya lelaki itu tersenyum samar dan mengangguk. "Ada syaratnya."

"Lho? Kok pakai syarat?" Lily mengernyit tak terima. "Kalau gini gue naik bus aja, deh. Makasih tawarannya."

"Masuk!" Ryan melotot tajam. Sekali lagi, gadis itu mengikuti perintahnya dengan segera duduk di kursi penumpang. “Duduk di depan! Lo pikir gue sopir?!”

Lily keluar kembali, membuka pintu depan dan duduk di samping Ryan yang belum mengendarai. Sedang menatap Lily dengan tatapan mengawasi.

Lily yang ditatap begitu jadi risi. “Apa lagi?”

“Lo belum bilang makasih.”

Lily tersenyum simpul, meski merasa keki. “Terima kasih atas tumpangannya.”

Ryan mengangguk pelan dengan serius. Namun tak lama lelaki itu terkekeh geli, sikap patuh yang terlihat polos itu membuatnya tertarik.

Tunggu.

Tertarik, ya? Ryan jadi memasang wajah datar, tetapi kentara sekali telinganya memanas.

Tertarik? Dengan perempuan sok pintar itu?

Tidak sama sekali.

***

"Kok berhenti? Kosan gue kan masih jauh?" Lily sekali lagi mencurigai Ryan yang memarkirkan mobil di sisi jalan. Yang ditakutkannya adalah menurunkannya di sini, tapi memang tidak apa-apa, hanya saja tubuhnya yang lemah tak memungkinkan untuk turun dan berjalan menuju halte.

"Turun ...." Sesantai itu Ryan membuka suara kepada Lily yang jelas-jelas tak kuat untuk berdiri. "Kenapa? Gak terima?" Alisnya terangkat memberi aura kelicikan terselubung ketika wajah Lily menaruh penolakan.

"O-oke," Lily mengangguk tak yakin kemudian mulai membuka pintu, "thanks tumpangannya."

Meluaslah penglihatannya sampai tertuju pada toko kedai kopi yang menyempil di antara toko lainnya. Matanya spontan berbinar. "Btw, makasih udah antar gue ke—"

Perkataan Lily memupus karena Ryan ikut keluar dan menghampirinya. Lelaki itu memang penuh tanda tanya besar, juga penuh kejutan yang selalu menakutkan. Memang maklum Lily patut waspada sekarang.

"Memang gue parkir di sini buat apa? Otak lo sebego itu atau emang bener-bener bego dari lahir?" Ryan menyahut datar seraya menggandeng lengan Lily, membawanya cepat-cepat selayaknya menyeret barang menuju toko serba tersedia.

Sesekali Lily meringis karena seretan Ryan yang cukup menyakiti tubuhnya yang bengkak. "Aw! Aw! Jangan cepet-cepet, badan gue nyeri semua ini!" teriaknya tak tertahankan. "Berhenti atau lepas tangan gue!"

"Lo lebih bagus ditarik daripada sempoyongan kek nenek-nenek," ketus Ryan menghentikan aksi menyeretnya, berganti menjadi menarik tangan Lily pelan agar terus mengekorinya.

Lily berdesis nyeri. “Jangan dipegang jari gue, Yan. Linu banget.”

Perkataan itu membuat Ryan berhenti menarik. Ia angkat tangan Lily yang barusan dipegangnya. “Linu gimana?” tanyanya bingung sambil sedikit menekan jari Lily yang terlihat tidak kenapa-kenapa.

Namun, perempuan itu mengaduh. Tangan yang digenggaman Ryan tersebut reflek ditarik.

“Gapapa sebenernya. Cuma agak linu,” Lily berusaha menggerakkan tangan kiri yang linu itu, kelima jarinya nampak tidak bertenaga akibat tadi diinjak oleh kaki bersepatu. “Jadi kita mau ke mana?”

Ryan terdiam sebentar sembari matanya fokus kepada kacamata Lily yang sudah retak parah. “Ke toko yang jual kacamata.”

"Beli kacamata? Buat apa?"

Ryan berdecak. "Buat mata katarak lo!"

Lily terlonjak, "Bu-buat gue? Gue bisa beli nanti, kok.”

Ryan tersenyum kesal. Lanjut berjalan menuju toko kacamata. "Pilihan lo cuma dua. Ikuti kata gue atau Kaze yang bakal kena imbas."

"Oke! Oke!" Mendengar nama sahabatnya Lily berseru seraya kembali mengekori, kali ini dirinya yang menarik lengan Ryan menggunakan tangan kanannya. Berjalan memasuki pertokoan besar.

Ryan menatap tangannya yang ditarik oleh perempuan yang melangkah di depannya seperti terkesan buru-buru. Tak tertahankan, ia mengulum senyum geli.

Mereka berdua sampai di rak kacamata minus. Lily ambil salah satu kacamata dan mengacung tegak ke arah Ryan. "Gue beli ini, ayo pulang."

Tanpa menunggu , Ryan melepas kacamata retak yang digunakan Lily, lalu cepat-cepat memotret wajah Lily tanpa benda berkaca itu seakan-akan terlalu mewah untuk hanya dilihat sekilas. Ryan memeriksa hasil potretannya di ponsel dan tergambar jelas wajah Lily yang datar melongo seperti anak kecil yang dibabakbeluri preman. Terkagum-kagum tanpa disadari dan sembari menelisik ciri wajah Lily yang memang tidak begitu asing diingatannya.

Mata bulat setengah menyipit, jidat lumayan lebar menyesuaikan rambut lurus panjangnya, dan tak melupakan wajahnya yang kebingungan akan tingkah Ryan. Pengamatan lelaki itu dimasuki ke dalam memori untuk diingat bahwa wajah Lily seperti pernah menemaninya, tapi entah kapan.

"Ngomong-ngomong buat apa lo foto muka gue?"

"Buat dijadiin stiker WA."

***

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang