Bab 5

44 4 1
                                    

Seharusnya, waktu terkahir kali kami punya kesempatan buat ngabisin waktu bersama untuk terkahir kalinya sepanjang hari aku nggak milih buat tidur nyenyak malamnya. Harusnya, aku bangun semalaman sama seperti yang Ginta lakukan. Harusnya, aku merhatiin wajah tidur Ginta karena tahu itu mungkin jadi momen terkahir kali aku bisa seperti itu sama dia. Harusnya, aku terjaga. Biar puas menghirup aroma tubuh dia, nyium dia. Dan peluk dia selama mungkin.

Harusnya hari itu aku tahu, kalau sisa waktu yang aku punya buat sama dia tuh terlalu sedikit untuk aku sia-siakan dengan tidur.

Aku baru tahu kalau patah hati itu ternyata ada tingkatannya. Saat aku mengira kalau dibohongi Ginta itu udah paling buruk, ternyata kehilangan dia, itu jauh lebih buruk. Aku sempat nggak tahu harus merasa gimana hari itu, nggak tahu berapa lama aku selalu duduk diam sambil mikirin dia dan menatap pintu rumah yang nggak juga kedatangan tamu yang aku tunggu.

Waktu patah hati dulu, kayaknya aku nggak sampai segininya. Nggak sampai ngerasa segitu kehilangan dan sampai sempat punya pikiran buat nggak mau lagi punya hubungan sama siapapun.

Patah hatiku dulu, nggak sampai buat aku sedih berhari-hari. Nggak sampai separah ini sampai ngerasa dunia tuh, kayak mau kiamat.

Dulu, aku selalu pengen ketawa setiap kali ngeliat orang yang habis putus cinta terus nangis-nangis lebay sampai bikin aku mengeluarkan sumpah serapah dalam hati karena mereka terlalu alay nangis sampai segitunya cuman perkara putus cinta. Sekarang, aku paham. Benar, ini memang hanya perkara putus cinta dan hanya sebuah perpisahan. But, it can killing me inside.

Setelah tujuh bulan putus dengan Ginta, aku tau kenapa move on dari dia itu susah banget. Ternyata Move on dari dia itu susah karena aku bukan cuma harus nelen rasa pahit dan sakit menerima kenyataan atas apa yang terjadi dalam hubungan kami aja, tapi juga karena aku ternyata sudah terlanjur membuat sebuah realita tunggal dengan adanya Ginta sebagai pasangan aku. Aku sudah terlanjur membayangkan masa depan berdua sama dia, aku sudah terlanjur merancang sebuah rencana untuk masa depan dengan adanya dia di dalam rencana tersebut.

Makanya, move on dari dia itu kerasa berat karena semua tentang diriku itu, menyangkut dia.

Dan, sekarang aku juga paham kalau....

....Moving on is not all about leaving behind the memories that we shared together. Yang perlu aku lakukan saat ini itu cuma harus merancang ulang semua planning hidup aku tanpa adanya Ginta lagi.

Makanya sekarang, ketika aku sedang Istiqomah untuk move on dari dia, aku mencoba menahan diri untuk tidak lagi mencari tahu bagaimana kabar Ginta, karena ini adalah sebuah proses dan titik terakhir aku untuk mengikhlaskannya.

Selama putus, aku tidak pernah menghubunginya lebih dulu. Bukan karena aku tidak mau, tetapi aku harus belajar untuk terbiasa melewati semuanya sendirian, karena itu aku tidak boleh menghubunginya lagi.

Padahal saat ada kabar baik datang dalam hidupku, aku sangat ingin meneleponnya tetapi aku tidak bisa. Saat ada kabar buruk, dan tidak ada orang lain disisiku, aku juga tidak bisa meneleponnya. Dan aku, paling merindukannya saat aku bahagia. Tapi, aku pun tidak bisa menelponnya.

Aku membiarkan rasa sakit itu perlahan hilang dengan sendirinya, karena aku yakin kalau tidak semua badai datang untuk mengganggu hidup kita. Jadi, demi ketenangan diri beberapa perkara memang harus kita lepaskan, maafkan dan ikhlaskan. Untuk memberi ruang kepada perkara baru yang lebih baik dan membahagiakan datang. Dan aku pun memberikan diriku sendiri kesempatan untuk mendapatkan kisah yang lebih baik. Sometimes, kita memang harus meninggalkan orang yang kita sayang banget, untuk menemukan orang yang sayang kita banget.

Before You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang