"Kamu sakit apa, Juni?"
Aku baru mengenal Juni tiga bulan, tapi rasanya sudah sangat dekat. Mungkin karena tiap hari ketemu, gak jarang sampai malam. Anehnya, sehari gak ketemu Juni aku merasa ada yang kurang. Makanya wajar uring-uringan gak ketemu sebulan kemarin padahal rumahnya berdekatan.
"Flu batuk doang, udah mau sembuh. Mau ngapain kesini?" tanyanya, judes banget.
Aku gak tahan. Aku kehabisan akal gimana caranya supaya bisa lihat Juni dan ngobrol sama dia. Gak ada cara lagi, makanya aku datang saja ke rumahnya. Bu Rita sedang belanja pagi ini dan pergi sama adiknya Juni, katanya sekalian ke rumah saudaranya. Aku sedang libur kuliah. Aku dan Juni berduaan di rumahnya, di ruang tamu, pintunya juga dibuka, apalagi ada jendela besar yang bukan kaca film. Aku gak ada niat macam-macam. Cuma mau lihat Juni dan dengar suaranya lagi.
"Juni, aku minta maaf."
Juni gak jawab, dia cuma liatin aku.
"Aku minta maaf karena bilang kita pacaran. Aku juga gak tau kenapa aku milih cara itu supaya kamu gak digangguin temen-temen aku. Aku minta maaf karena pernah ngeledek kamu takut sama laki-laki, waktu itu aku pikir lucu karena kamu tomboy tapi kok malah takut sama laki-laki. Aku gak tau waktu itu. Tapi, Juni, sekarang aku tau kenapa aku malah bilang kita pacaran dan marah waktu ada yang ngajak kamu kenalan. Aku gak tau kenapa kamu malah mikir aku ngaku-ngaku kita pacaran cuma buat bahan bercandaan."
Juni masih belum jawab, duh harusnya dia ngomong biar aku gak terlalu deg-degan begini.
"Aku suka sama kamu. Aku gak tau gimana caranya, aku gak tau harus ngapain, jadi aku cuma bantuin kamu aja kalau kamu butuh apa atau pengen apa, aku pikir kamu juga gak suka dideketin laki-laki lain dan takut makanya aku bilang kita pacaran supaya kamu gak digangguin. Maaf waktu itu aku lupa malah nganterin Teh Widi." lanjutku.
Juni diam, aku diam, cuma kedengaran suara jam dinding. Jadi kayak film-film begini.
"Sebenernya aku sukanya sama Akang sih, Den." jawab Juni.
Kan, dia ini lagi sakit juga nyebelin.
"Oh..." gitu aja, aku bingung mau jawab apa."
"Ih, tanya atuh! 'Bener?' gitu!"
Tuh, kan.
"Ya kalau kamu sukanya sama Akang gak apa-apa."
"Ah, gak jadi! Harusnya kamu nanya, kalo kamu nanya 'bener?' aku bakal jawab 'enggak'. Soalnya aku juga suka sama kamu." jelas Juni.
Aduh, aku harus ngapain ya?
"Tapi, Den. Kayaknya kalau kita saling suka juga aku gak berani." katanya.
"Gak berani kenapa?"
"Gak berani aja, keluarga kamu kan orang ada. Aku seada-ada, minder aja. Tapi bukan salah kamu, aku kagum aja sama kamu, sama keluarga kamu, Den. Pada pinter dan dermawan. Walau di awal kamu kayak orang aneh ngira aku punya masalah sama kamu padahal kita belom kenalan." jelas Juni disambung ketawa. "Tapi aku tau da itu akal-akalan kamu doang buat kenalan sama aku, kan?"
"Enggak juga." kataku.
"Eh?"
"HAHA siah! 1-1!" kataku.
"Belegug, ih." katanya.
"Iya, dulu aku gatau caranya juga kenalan sama kamu."
Aku dan Juni sama-sama ketawa. Di ruang tamu rumahnya, di mejanya ada potongan semangka dan kue-kue kering yang biasa dijual Mamahnya juga. Pagi itu gak begitu panas, rumah Juni juga sejuk tapi rasanya dingin buat aku karena lagi deg-degan!
"Den, aku minggu kemarin wawancara kerja." katanya sambil senyum, aku bisa lihat Juni kelihatan sangat senang.
"Oh, wah? Dimana?"
Aku ikut senang hari itu. Juni katanya akan dapat jawabannya minggu ini dan kalau keterima Juni akan mulai kerja. Hari itu kami habiskan mengobrol di rumah Juni, sampai tiba-tiba sudah jam 12 siang dan Bu Rita masih belum pulang.
"Den mau makan? Makan yuk, aku harus makan. Mau minum obat."
"Kamu aja, aku nanti di rumah." kataku.
"Gak mau ah, aku mau kamu ikut makan." katanya.
Aku berdiri kemudian, ngikutin dia jalan ke dapur. Aku senyam-senyum ini, bingung, tapi senang.
"Mamah aku tapi cuma masak sayur asem, Den. Suka nggak?" tanyanya.
"Suka."
"Kamu mulai masuk kuliah kapan?" tanyanya sambil bulak balik mengambil piring, nasi, dan sayur asem. "Nasinya segini?"
"Iya, udah segitu. Udah dari minggu ini." jawabku.
"Aku juga pengen kuliah, makanya harus ngumpulin uang sambil kerja dulu." tuturnya.
"Kalau kuliah emang kamu mau jurusan apa?" tanyaku.
"Apa ya? Aku pengen jadi guru SD."
Aku cuma senyum, bangga dengan Juni. Juni perempuan keren buatku.
"Aku temenin sampe kamu kuliah." kataku.
"Terus kalo aku udah kuliah?" tanyanya.
"Kita nikah."
jeng jeng jeng...
KAMU SEDANG MEMBACA
PANASEA 1997
FanfictionPradipta Mahali Erlangga juga punya cerita. Bukan cuma Deden si ganteng lewat dongengnya Aril. PANASEA 1997: Panasea untuk Deden ©bluehanabi