[PRESENT 1]

21 4 3
                                    

Five minutes before the mission starts.

Four minutes before the mission starts.

Three minutes before the mission starts.

Peringatan demi peringatan bagai panggilan kematian berbunyi dari pengeras suara.

Aku mengedarkan pandangan. Di ruangan yang seperti lorong ini, duduk selusin manusia berbadan tegap. Mereka mengenakan rompi hitam tebal yang menyelimuti sekujur tubuh mereka. Wajah mereka tertutup helm berkaca gelap.

Suasana tegang yang dipancarkan mereka menjalar padaku. Aku melipat-lipat jari, tak nyaman. Ditambah guntur yang menyambar ruangan ini dari luar, rasanya aku seolah terjebak di tempat suram.

Two minutes before the mission starts.

Aku sudah melatih diri untuk menyumbat telinga, menahan suara pengeras suara yang kerasnya bahkan membuat jantung berguncang hebat.

Namun, aku tidak terlatih menghadapi panggilan yang terdengar setelah itu.

"Alfian."

Aku menoleh ke sumber suara.

Wanita itu duduk di sana. Hanya dia yang tak mengenakan helm. Agaknya memamerkan wajahnya yang–memang–cantik. Wanita itu bermata coklat cerah. Rambut hitam panjangnya diikat di belakang kepala.

"Apa?" Aku malas menanggapi.

"Gapapa. Manggil saja. Habisnya, kamu keliatan serius banget, sih."

"Karena kita sedang dalam misi."

"Yah, kalau gitu, mohon bantuannya, ya," wanita itu tersenyum.

"Pikirkan dirimu sendiri," balasku ketus.

Wanita itu bernama Safitri, rekan setimku dalam misi ini. Terkadang aku bertanya-tanya, kesalahan di masa lalu apa yang kuperbuat, sehingga aku dipasangkan dengan wanita menyebalkan ini.

Sebelum memulai misi, dia selalu mengatakan sesuatu yang sama. Berulang-ulang. "Mohon bantuannya, ya." Walau aku tahu, terkadang wanita itu hanya menggodaku.

Aku memegang erat sabuk pengaman yang memeluk sekujur tubuh.

Three

Two

One

Pintu terbuka. Pemandangan langit gelap segera melampiaskan amarahnya. Angin kencang mendobrak masuk. Dinginnya menusuk kulit. Kalau bukan berkat rompi yang kukenakan, aku pasti akan membeku di atas sini.

Terdengar bunyi mendecit.

Tempat duduk yang kududuki seolah tergelincir. Bobot badanku membantu menambah kecepatannya, meluncur cepat menuju mulut pintu. Sabuk yang kukenakan melepas dekapannya dari tubuhku.

Meronta pun percuma. Mekanisme tempat duduk ini sudah dirancang untuk melemparkan penggunanya, terjun bebas ke langit. Aku seperti bola basket yang dilemparkan menuju ring dari zona three point.

Saat aku melayang keluar, aku mendengar suara: Mission starts. Good luck, soldier.

Misi kami pun dimulai.

*

Aku menapak di rerumputan basah. Bau tanah tercium. Guntur menyambar di kejauhan.

Sekelilingku gelap. Berkat penglihatan inframerah dari helm yang ku-kenakanlah, aku dapat melihat jelas.

Di satu sisi, pepohonan tinggi berderet rapat. Dahan bawahnya ditumbuhi tanaman rambat setinggi hampir mencapai dadaku. Di sisi yang lain, sebuah jurang menganga lebar.

Ænöthεr S:dēTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang