[PRESENT 2]

1 0 0
                                    

Saat turun dari helikopter, hawa dingin menyergap kami. Merambat dari ujung rambut ke ujung kaki. Aku ber-hah. Kaca helm yang kukenakan berembun.

"Wah, Malang dingin sekali, ya," komentar Safitri di sampingku.

"Biasa aja," balasku.

"Kan kamu asli sini. Ya iyalah biasa aja."

"Makanya pakai helm-mu biar gak kedinginan."

"Males! Panas!"

"Mending panas apa kedinginan?" tanyaku, menguji Safitri.

"Gak dua-duanya." Entah bagaimana wanita itu menemukan jalan tengah.

"Dasar."

Diam-diam aku membenarkan ucapan Safitri. Malang memang dingin. Maksudku, aku tidak ingat Malang sedingin ini saat terakhir kali aku kemari. Antara ingatanku yang error atau kemunculan monster-monster itu mempengaruhi perubahan iklim.

Komandan berjalan di depan kami. "Ikuti aku," perintahnya.

Aku melangkah mengikuti punggung Komandan. Safitri mengekor seraya memeluk badan.

Jauh di langit malam yang cerah, barisan pegunungan mengelilingi kami. Puluhan tahun yang lalu, di kaki pegunungan tampak kerlap-kerlip cahaya, rumah penduduk. Kini, yang tersisa hanyalah sinar kemerahan–lidah api–yang tak henti-hentinya berkobar.

Aku memejamkan mata. Bau asap yang mengepul seakan tercium sampai sini.

Komandan tiba di depan satu-satunya pintu di lapangan luas ini. Lengannya terulur, menyentuh plat tipis di samping pintu.

Welcome, Indonesia Twelfth Squad

Suara robot itu terdengar bersamaan dengan bergesernya daun pintu.

*

"Selamat datang di base Malang," sosok bertopeng robot yang sama dengan Komandan menyambut kami. "Karena ini hanyalah base kecil, mohon maaf jika pelayanan kami tidak lengkap," sambungnya.

Saat berdiri bersebelahan dengan Komandan, kedua sosok bertopeng itu sangat mirip.

Sosok itu mengulurkan tangan pada kami. Kami bersalaman bergantian,

Mulai dari Komandan, diikuti Safitri, terakhir aku.

Aku menggenggam tangannya yang dingin. Rasanya seperti bersalaman dengan patung. Tepatnya patung manekin yang mengenakan pakaian jas dan topeng.

Lalu dua manusia yang bagaikan robot itu saling bercakap-cakap akrab. Aneh sekali melihat dua orang berbicara dengan kaku dan bersikap sama kakunya. Tahukan video viral di internet yang menunjukkan dua kecerdasan buatan saling bercakap-cakap? Kira-kira mirip seperti itu.

Canggung, aku menjauh, menuju rekan-rekan setimku yang sudah menyingkir terlebih dahulu.

"Sekarang hari apa sih? Apa ada hal penting yang ku lewatkan? Kenapa kita ke sini dulu?" aku berbisik ke Safitri.

"Kok kamu selalu nanya hari sih, Alfian?" Safitri balas bertanya.

"Sejak bergabung di sini, persepsiku soal hari telah berubah."

Benar. Aku tidak mengada-ada. Tidak hanya hari. Aku juga tidak ingat sekarang bulan apa, bahkan tahun apa. Rasanya sang masa seolah berlalu begitu saja.

"Sekarang kan hari Senin. Tanggal lima belas. Pertengahan bulan. Saatnya migrasi," jawab Safitri.

"Migrasi?"

"Masa lupa lagi, sih? Itu loh, Alfian. Saat ketika–"

Salah satu petak persegi di dinding bergeser, memperlihatkan layar digital sebesar layar bioskop di baliknya. Layar itu menampilkan gambar peta Indonesia. Gambar itu kemudian membesar ke pulau Jawa, terus bergeser hingga tiba di provinsi Jawa Timur.

Ænöthεr S:dēTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang