1. Halaman Baru

2 1 0
                                        

Saat itu hujan deras sehingga jalanan sedikit banjir membuatku yang belum terlalu mahir menggunakan motor terjatuh di pertigaan. Air yang mengisi jalanan, menyelimuti ku yang tertindih motor. Lantas aku menangis seraya meminta tolong. Namun sayang sekali tak ada yang menyahut apalagi menolong ku di jalanan sore yang sepi itu.

"Siapapun tolong!!" aku berteriak sekali lagi sembari menahan nyeri.

Namun, tak ada siapapun. Hanya ada aku, motor, dan hujan, serta langit dan aspal jalanan yang menjadi saksi kemalangan ku.

Lama kelamaan aku mulai kedinginan, tubuhku lemas, perlahan aku menutup mata.

Saat membuka mata aku sudah berada di rumah sakit. Netra ku menangkap seorang lelaki yang duduk di samping kasur rumah sakit. Setelah menyadari aku terbangun, lelaki itu terlihat memanggil dokter.

Kemudian dokter memeriksa ku lalu berbicara dengan pria itu.

Beberapa saat kemudian, dokter pergi, lantas dia menatap ku sembari berujar, "Kenapa motoran pas hujan deres?"

Aku hanya bungkam sembari menatapnya, masa harus bilang kepadanya bahwa aku kabur dari rumah karena orang tuaku berperang. he's a foreigner.

"Gue emang ganteng, jangan di liatin gitu." celetuk nya membuyarkan pikiranku. Dasar narsistik. Namun tak menutup kemungkinan, dia memang tampan. 

Aku mengalihkan pandangan, "Pengen pulang"

"Pulang aja, gue juga mau pulang sekarang."

Aku tertegun, tak terpikir dia akan mengatakan itu.

"Lo bisa kan telfon wali lo?" dia bertanya membuatku mengangguk ragu-ragu.

"Yaudah. Gue duluan" dia hendak pergi tetapi suara ku menginterupsi nya.

"Tunggu," dia menoleh, "Berapa lama gue disini?"

"Mungkin... sekitar 2 jam-an?"

"Lo disini dua jam?" tanyaku dia hanya mengangguk sebagai balasan.

Setelah percakapan berakhir, pria itu pergi. Dan aku sendirian di sini. Enggan menelfon orang-tua ku. Entah apa yang mereka lakukan saat ini, pastinya kekacauan. Aku mulai muak dengan keduanya.

///

Setelah keluar dari rumah sakit, aku pulang ke tempat tinggal, manusia lain menyebutnya rumah. Namun aku enggan, bagiku rumah adalah tempat pembinaan keluarga, dan sudah lama aku tak merasakan hal itu di tempat tinggal yang selalu di penuhi teriakan dua orang dewasa itu.

"Lo yang didik dia goblok! Gue mah udah gak peduli dari lama" kata ayah lewat bahasa isyarat.

Ibu ku menggerakkan tangannya, "kamu nyalahin aku?"

"Pusing gue liat tangan lo. Udah goblok, sekarang bisu! Gara-gara si pembawa sial itu emang!" bentak ayah sembari menggerakkan tangan dengan murka.

"Jangan bilang gitu." balas ibu

Brak

Kemudian ayah mendorong ibu hingga punggung nya menubruk tembok dengan keras, aku melihat ibu mengeluarkan air mata nya.

Aku terpejam saat teringat kejadian yang membuat ku pergi dari rumah tadi. Ayah menyiksa ibu sekaligus mental ku. Dia bilang aku pembawa sial. Memang benar aku pembawa sial, bagi ibu. Ibu kehilangan pendengaran gara-gara aku, ibu juga selalu terkena kekerasan oleh ayah karena aku. Aku membenci keduanya, paling benci anak dari keduanya.

Aku memasuki kamar setelah membersihkan diri. Di rumah besar yang temaram ini aku sendirian, tidak.. mungkin bersama ibu yang sedang mengobati luka nya di kamar? Sedangkan ayah entah kemana, mungkin sedang di berjudi.

Aku meneguk secangkir susu hangat hingga tandas setelah itu aku menaiki satu per satu anak tangga dan berhenti sejenak di depan kamar ibu. Aku menempelkan telingaku di pintu. Tidak terdengar apa-apa, biasa nya setelah peperangan rumah tangga di sini, aku selalu mendengar isakan ibu. Namun kali ini tidak.

Karena penasaran, aku membuka pintu secara perlahan, dan mengintip isi kamar dari pintu yang terbuka sedikit itu.

Aku melotot, jantung ku terasa mau copot setelah melihat kaki ibu yang menendang kursi, kaki nya melayang, ibu tergantung di plafon. Lantas aku buka pintu sepenuhnya dan menghampiri ibu.

"Ibu!!!!" Aku menjerit, air mataku berhamburan jatuh sembari menghampiri ibu. Lantas aku menggendong ibu yang tergantung supaya dia bisa bernafas. Dan tidak meninggalkan ku.

"Ibu!!!" Aku kembali menjerit di ikuti tangisan. Lalu aku mendongak menatap ibu dengan mata yang basah. Kami berkontak mata, sedetik kemudian tangis ibu pecah, membuatku semakin sakit.

///

Aku sudah menurunkan ibu, sekarang kami sedang terduduk di tepi ranjang. Aku menatap tambang yang masih tergantung, kemudian menatap ibu.

"Ibu gila" aku menggerakkan tangan untuk berkomunikasi dengan ibu menggunakan bahasa isyarat.

ibu menangis sembari menggerakkan tangannya, "Iya, ibu gila" 

"Kenapa hidup ibu di penuhi sial, sih?" kata ku, ibu hanya menggeleng sebagai jawaban tidak.

Aku tersenyum miris, "Karena aku lahir. Harusnya pembawa sial yang mati, bukan ibu." membuat ibu memelukku, sembari menangis.

Jujur aku muak mendengar ibu menangis, tetapi aku tak berhak melarangnya menangis.

Ibu melepaskan pelukan, "Ibu udah gak punya apa-apa lagi, ibu bangkrut. Semua aset yang ibu punya udah ada di tangan ayah, dia akan menjualnya. Dan kamu...."

aku mengerutkan kening.

Ibu menggeleng, "Dan rumah ini... bukan lagi milik ibu. Ayah juga bakal jual rumah ini."

Aku menggerakkan tangan dengan emosi "Terus kenapa ibu harus bunuh diri cuma karena itu?!"

"Bukan cuma itu" air mata ibu terjatuh, "Ayah paksa ibu buat nyerahin seluruh uang ibu-"

"Dan dengan gampangnya ibu nyerahin itu, kan?"

"Dia ngancem, bakal membunuh Ibu..."

Aku tertegun, ayah benar-benar menggila karena uang. Sebenarnya apa yang dia lakukan sampai harus merampas semua yang ibu miliki?

"Dia cuma ngegertak."

Ibu menggeleng, "Dia serius, dia ngelukain ibu pake pisau" Ibu memperlihatkan luka di bahu nya kepada ku membuat ku meringis.

"Ibu gak mau mati di tangan dia, jadi ibu nyerahin semua yang ibu punya. Lebih baik mati karena bunuh diri daripada..."

"Psikopat brengsek" aku mengumpat membuat ibu mengerutkan kening karena penasaran dengan apa yang aku ucapkan.

"Kamu bilang brengsek?" kata ibu.

///

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 01, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang