Suasana makan malam di great hall sudah dipenuhi hampir semua murid Hogwarts, bahkan para Profesor sudah duduk di meja mereka sambil berbincang satu sama lain. Anehnya, hanya profesor McGonagal yang tak ada di sana. Biasanya kepala sekolah itu pastilah sudah duduk di kursi khusus kepala sekolah ketika makan malam akan dimulai.
Albus melangkah ke arah meja Slytherin, tak mau pusing memikirkan hal-hal seperti itu. Meja Slytherin tampak ramai dengan murid-murid yang sedang membicarakan sesuatu. Albus bisa mendengar satu dua kata seperti "Malfoy" "Granger" dan "kembali ke sekolah" Rupanya beritanya menyebar dengan cepat.
Albus duduk di samping Aron Nott yang tengah menikmati makan malamnya, pemuda kurus itu sepertinya juga sama-tak tertarik untuk ikut membicarakan dua murid lama yang akan kembali.
"Biar ku tebak apa yang kau dan Potter kecil bicarakan di depan pintu tadi."
Albus menoleh ketika Aron tiba-tiba membuka suara. Albus mengangkat alisnya bingung.
"Orang tuamu pasti menyuruh kalian untuk membantu Hermione Granger." Itu adalah tebakan yang tepat, tapi Albus sama sekali tak menunjukan reaksi berlebihan. Sebaliknya, pemuda itu malah membuang nafas berat.
"Dan kau juga kurasa."
"Aku sebenarnya tak masalah. Paman Draco sepertinya adalah orang yang asik. Aku mendengar banyak cerita dari ayahku dan paman Blaise," kata Aron, kemudian melanjutkan, "lagipula akan ada Zafira juga. Kau mungkin tak akan terlalu kesusahankan, ada dua Weasley dan adikmu."
"Terseralah, aku tak perduli. Dia akan masuk Gryffindor dan otomatis akan bersama Rose dan selanjutnya itu bukan urusanku."
Pintu aula tiba-tiba terbuka sangat lebar. Profesor McGonagal berjalan masuk bersama dua orang murid berjubah Slytherin dan Gryfindor. Kedatangan mereka langsung menarik perhatian karena wajah kedua murid yang begitu familiar. Hermione Granger si pahlawan perang dan Draco Malfoy si mantan pelahap maut.
Orang-orang tentu sudah mendengar banyak tentang perang bertahun-tahun lalu. Keterlibatan Malfoy hanya bentuk atas pembelaan diri dan pilihan yang sulit agar dia bisa menyelamatkan ibunya. Jadi predikat 'mantan' lebih baik ketimbang menyebutnya pelahap maut secara gemblang.
Hermione dan Draco berpisah dan menuju meja asrama mereka masing-masing. Sementara Prof. McGonagal terus melangkah dan pada ahkirnya berdiri di balik podium untuk menyampaikan beberapa hal pada semua murid Hogwarts.
"Selamat malam semuanya dan maaf karena menganggu waktu makan malam kalian. Saya hanya akan memberi tau beberapa hal dan tak akan lama. Kalian sudah tau bukan kabar tentang Miss Granger dan Mr. Malfoy. Hari ini mereka telah kembali ke sekolah untuk melanjutkan tahun terahkir mereka dan akan menempati asrama lama mereka. Keduanya sudah ketinggalan begitu banyak materi pelajaran, jadi saya harap kalian bisa membantu mereka untuk menyusul ketertinggalan. Hanya itu yang ingin saya sampaikan, terima kasih atas perhatian kalian. Silahkan melanjutkan."
Setelah pengumuman itu. Kasak-kusuk mulai terjadi hampir di setiap sudut meja keempat asrama.
Hermione yang duduk di antara Rose Weasley dan seorang gadis yang memperkenalkan dirinya sebagai Anne Raffles langsung menjadi pusat perhatian di meja Gryffindor. Hal itu tentu saja membuat Hermione sedikit merasa risih.
"Wah, aku tak menyangka bahwa kita akan seangkatan dengan pahlawan perang," ujar salah satu anak tahun ke empat.
Hermione meringis kecil, senang tapi juga agak canggung. Pandanganya kemudian tertuju pada gadis kecil yang duduk di depanya, tepat di samping Lily Potter.
Gadis itu menatapnya dengan pandangan berbinar persisi seperti saat Collin dulu menatap Harry. Hermione tak pernah menyangka bahwa dia juga akan mengalami hal seperti ini.
"Bibi, Mione ini--"
"Bisakah kau memanggilku Hermione saja, mendengarmu memanggilku bibi, agak--"
Lily terkekeh dan mengangguk. Pasti Hermione merasa aneh mendapatkan panggilan itu disaat dirinya masih dalam tubuh dan fikiran gadis berumur 18 tahun.
"Namanya Reese Cornfoot, murid tahun kedua," kata Lily, memperkenalkan gadis itu pada Hermione.
"Senang bertemu denganmu." Hermione menjulurkan tangannya yang langsung disambut Ress dengan jabatan antusias.
"Ngomong-ngomong bibi-maksudku Hermione, aku penasaran bagaimana kau bisa koma sangat lama tanpa menua sedikitpun." Rose tiba-tiba bertanya membuat perhatian mereka kini fokus pada anak sulung Ron Weasley itu.
Hermione menarik nafas dalam-dalam. "Aku juga tak tau, ini masih menjadi teka-teki juga bagiku."
"Tak apa, kau pasti bisa mencari jawabanya. Nama Hermione Granger adalah legenda, seroang murid perempuan terpintar di angakatanya. Miss know it all." Anne berujar menghibur.
Hermione mengangguk, kembali tersenyum. Dia tentu akan mencari jawabanya dan akan mengungkap tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya. Hal aneh seperti ini pasti bukan kebetulan terjadi begitu saja. Setiap teka-teki selalu mempunyai jawaban dibaliknya dan Hermione bertekad untuk menemukan jawaban itu.
Sementara itu, di sisi lain meja, tepatnya meja Slytherin, Draco diam-diam memperhatikan Granger yang tengah mengobrol dengan teman-teman barunya, Draco bisa menebak bahwa itu pastilah anak-anak Weasley, melihat dari rambut merah jahe yang familiar.
"Paman Draco?"
Draco menghembuskan nafas berat, mengalihkan pandangan pada gadis berkulit tan yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingnya. Menatapnya dengan pandangan meminta ampun.
Suara kekehan dari pemuda yang duduk di depan Draco terdengar.
"Jangan memanggilnya begitu, Zaf. Kau akan kena marah nanti," kata Aron Nott, kembali terkekeh.
Zafira Zabini segera memasang raut meringis, menatap Draco dengan ekspresi menyesal. "Maaf, aku tidak tau."
Draco menghembuskan nafas berat. "Sudahlah."
Pandangan pemuda platina itu kemudian beralih pada anak laki-laki berambut acak-acakan yang duduk di depannya. Wajahnya mirip seseorang yang dikenalnya, hanya saja anak ini tidak memakai kacamata, postur tubuhnya lebih tinggi, dan yang paling membedakan adalah seragam hijau khas Slytherin yang dikenakannya.
"Jadi, kau anak Potter?" ujar Draco, menarik perhatian Albus yang sejak tadi tidak ada niat ikut nimbrung dalam lingkaran obrolan mereka.
"Ya begitulah," jawab Albus seadaanya.
Draco menyeringai. "Menarik," katanya, membuat kening Albus, Zafira dan Aron mengernyit bingung. "Potter mendapatkan seorang Slytherin, eh."
Albus hanya bisa memutar bola mata jengah. Kenapa semua orang begitu terganggu dengan dia yang masuk Slytherin? Albus tidak mengerti, apakah karena dia adalah anak dari pahlawan perang? Atau karena Sytherin begitu bertentangan dengan dia yang seorang keturunan Potter.
Hell, jika iya, alasanya sangat kekanak-kanakan sekali.
To Be Continued
A/n
Terahkir kali up, Chapter ini pendek banget kan? Sekitaran 700 word aja. Sekarang udah ku perpanjang, dengan nambahin scene Draco di merja Slytherin.
Ditunggu update berikutnya~
KAMU SEDANG MEMBACA
ғᴜᴛᴜʀᴇ ↬ᴅʀᴀᴍɪᴏɴᴇ
FanfictionHermione dan Draco terkena mantra misterius saat perang membuat keduanya pingsan dan harus dirawat di St.mungo. Namun ketika keduanya kembali sadar, mereka melihat keanehan pada diri orang-orang disekitar mereka. _ "Harry? apa itu kau?" _ "Jangan be...