Oᴠᴇʀᴛᴜʀᴇ - Aᴅᴠɪᴄᴇ

18 4 0
                                    

Overture: Musik instrumental yang dimainkan pada awal opera sebelum pertunjukan dimulai.

• • •


"Warung, warung apa yang ajaib?" Tanya Karan tiba-tiba.

"Warung setan!" jawab seorang temannya.

"Salah." Senyum Karan mengembang.

"Warung ... yang jualan alat sulap!" jawab yang lain dengan lantang.

"Salah."

"Trus apa, dong?"

Karan besedekap, diam sejenak agar terkesan misterius. Ia membuka bibir dan berucap lamat-lamat, "Warung ... jiwa."

Teman-temannya langsung bersorak, "Apaan warung jiwa, ngasal lo!"

"Emangnya kalian belum pernah dengar ini? Warung Jiwa adalah warung ajaib yang dapat menukarkan nyawamu dengan apa pun." Karan menambahkan, suaranya masih tetap pelan seolah tidak ingin pembicaraan mereka terdengar oleh anak-anak kelas lain.

"Halah, ngarang banget lo. Ulang! Ulang! Pertanyaan lo ga sah!"

Karan mendengkus dan kembali duduk, ia jadi tidak berminat lagi. Padahal baru saja ia mengungkapkan sebuah rahasia yang tak seharusnya dibocorkan.

Bertepatan dengan orang selanjutnya yang hendak memberi teka-teki, bel pulang pun berbunyi. Jam kosong di sesi terakhir memang paling menyenangkan. Usai puas bersantai, lalu bubar.

"Tunggu! Karan berdiri menghalangi lima temannya yang hendak ke luar. "Kalian kan udah gue kasih tau soal Warung Jiwa, maka untuk selanjutnya berhati-hatilah, kalau menemukan warung itu, jangan sampai salah menukar."

Mereka berlima bersorak mengejek. "Apa sih, Karan. Lo mau nakut-nakutin karna kami ngatain lo ga sah?"

Sekali lagi Karan mendengkus. Ia menyerah dan membiarkan mereka pergi, setidaknya ia sudah memperingatkan.

Esok harinya Rubi, satu dari lima temannya kemarin tidak masuk sekolah. Mungkin saja sakit, tapi ketika menghubunginya, malah tidak tersambung. Mereka menanggapinya dengan santai. Namun besoknya Rubi juga tidak sekolah. Bersamaan dengan itu, mereka mendapat kabar duka.

"Govin meninggal dunia kemarin sore karena kecelakaan motor," ucap guru kelas mereka hari itu.

"Rubi masih belum masuk, sekarang Govin malah meninggal. Kenapa jadi gini, sih?" celetuk Damar saat mereka sedang istirahat.

"Rubi masih ga bisa dihubungi?" tanya Karan. Mereka menggeleng.

"Nanti pulang sekolah kita melayat bareng!" Damar berucap.

Begitu bel pulang berbunyi, mereka berkumpul di parkiran. Akan tetapi Indra mendapat panggilan telepon dari keluarganya yang mengabarkan kalau adiknya kecelakaan. Sontak ia bergegas ke rumah sakit dan tidak ikut melayat ke rumah Govin.

Esok pagi, Indra tidak masuk sekolah tanpa kabar. Mereka semua berpikir, mungkin saja ia harus menemani adiknya di rumah sakit, sehingga semua memaklumi hal itu.

Karan merasa ada yang tak wajar. Satu-persatu dari lima temannya hilang, bahkan ada yang meninggal dunia. Damar juga ikut meliburkan diri di hari kelima, setelah sebelumnya Rangga dikabarkan jatuh sakit dan harus dirawat intensif.

Mungkinkah hari ini dirinya yang akan menghilang?

Karan membuang pikiran buruk itu dan pulang sendirian padahal biasanya Damar akan memberi tumpangan karena rumah mereka satu arah.

"Mungkin mampir dulu kali, ya ke rumah Damar," gumam Karan. Ia berdiri di tepi jalan menunggu angkutan umum.

Panas terik hari itu membuat keringatnya bercucuran dan haus terasa mencekik. Karan melirik jejeran pertokoan di belakangnya, mencari sebuah warung yang menjual minuman.

Matanya berbinar kala menemukan warung kecil tak jauh dari tempat ia berdiri. Tempat itu terlihat sangat unik karena diapit dua ruko tinggi, jika tidak teliti mungkin akan sulit melihatnya.

"Bu, es tehnya satu!" pinta Karan pada wanita paruh baya berbadan kurus yang menjaga warung.

"Mau ditukar dengan siapa, Nak?"

"Hah?" Alis Karan bertaut, ia diam tidak menjawab, bingung dengan pertanyaannya.

"Diri sendiri atau orang terdekat?" tanya ibu itu lagi.

Seketika Karan terpaku. Ia meneguk ludahnya dengan susah payah. Semua kata terasa tercekat di tenggorokan. Sudut matanya melirik ke arah bangku di bagian kiri. Terlihat sesosok makhluk tinggi hitam duduk sendirian. Tubuhnya kurus dan kedua tangannya panjang.

"Bagaimana, Nak?" Ibu tadi kembali bertanya, membuyarkan pikiran Karan.

"Tidak jadi es teh. Saya mau kelima teman saya, tukar dengan Jalil."

Jalil adalah kura-kura brazil yang sudah ia rawat sejak dua tahun lalu, harusnya bisa dikatakan sebagai sesuatu yang berharga.

"Terlambat," ucap ibu itu. Senyuman di wajahnya lenyap, berganti seringai mengerikan.

Karan mundur perlahan, berharap dapat pergi dari tempat itu, sayangnya monster hitam yang tadi hanya duduk, kini berdiri menghampirinya.

"Oh, sial!" Karan berbalik dan berlari sekuat tenaga menjauhi warung, tapi anehnya ia malah berakhir kembali ke hadapan si ibu.

"Ga mau. Ga jadi beli!" kata Karan dengan nada yang ditinggikan.

Ibu penjaga warung diam sejenak, lalu berkata, "Baiklah. Datang lagi kapan-kapan."

Karan dapat bernapas lega saat monster hitam ikut berhenti dan kembali ke tempat duduknya. Ia mundur dan lari menuju jalanan, ajaibnya kali ini ia berhasil menjauh.

"Bisa-bisanya Warung Jiwa buka cabang di perkotaan kayak gitu. Nyaris mati gue," kata Karan pada dirinya sendiri.

Kemudian ia teringat kelima temannya. "Padahal udah gue peringatkan ...."

"Begitulah manusia, suka percaya pada hal bohong, suka ingkar pada nasihat untuk keselamatan," kata seorang lelaki bermata hijau zambrud yang sudah berdiri di samping Karan.

"Untung gue percaya dan ngikutin nasihat lo," sahut Karan. "Tapi kenapa lo ngasih tau gue hal kayak gini?"

"Karena saya tidak mau kerja dua kali dengan merebut jiwamu dari kelompok sinting seperti mereka."

"Kerja apaan?"

"Mencabut nyawamu." Lelaki itu menjawab cepat.

Sial.

***Hᴀʀɪ Kᴇᴛɪɢᴀ***

Sᴇʀᴇɴᴀᴅᴇ3 Fᴇʙʀᴜᴀʀʏ 2024

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sᴇʀᴇɴᴀᴅᴇ
3 Fᴇʙʀᴜᴀʀʏ 2024

OrchestraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang