1 | Begin

364 38 7
                                    

Park Jihoon, remaja berumur 18 tahun itu tersenyum getir kala menatap album foto yang ia ambil diam-diam di kamar Ibunya. Itu fotonya bersama Ayah, Ibu, dan Adiknya, Park Jeongwoo. Harmonis, foto itu diambil sebelum Jihoon menjauh dari keluarganya, atau ia yang dijauhi?

Mungkin sekitar 11 tahun yang lalu, saat Jihoon berumur 7 tahun dan adiknya berumur 5 tahun. Dia, Ibu serta Adiknya berbelanja ke Supermarket yang cukup ramai, padahal sang Ibu berbelanja di hari Sabtu. Mereka sudah antri di depan kasir menunggu giliran mereka.

Jihoon yang polos berada di belakang troli tempat barang yang dibeli Ibunya serta adiknya yang duduk di atas troli, sengaja agar tidak rewel. Pasalnya si bungsu merengek ingin terus digendong. Sang Ibu yang kewalahan akhirnya meletakkan si bungsu di tingkat atas troli. Tentu saja si bungsu senang.

Setelah lama mengantri kini giliran mereka. Ibu mereka yang sibuk berbicara dengan kasir tampak menghiraukan kedua anaknya, bukan begitu dia sangat percaya pada di sulung yang menahan Jeongwoo tetap pada posisinya.

Tetapi, sang sulung merasa bosan, pun mendorong pelan troli yang telah kosong itu hanya tersisa Jeongwoo di atasnya. Ia pamit kok tapi ia tidak tahu apa sang Ibu mendengarnya pasalnya sang Ibu terlalu sibuk berbicara.

Jihoon berlari pelan mendorong troli itu membuat sang Adik tertawa senang.

"Kak Jihoon ayo lebih laju lagi, Woo sukaaa," girang si Bungsu membuat Jihoon lebih cepat mendorong troli itu tanpa melihat sekitar bahwa tubuhnya yang kecil bisa saja terdorong orang-orang dewasa yang tentu lebih besar padanya.

Dan,

Brakkk

"Huwaaaaa, kepala Jeongwoo sakit aaaaa Ayahhh, Ibuuu," jingkar si bungsu membuat Jihoon yang masih terkejut menjauhkan troli itu dari badannya. Ia dia terindih dan sialnya,

"Arghhh, kuku aku lepas huwaaaa sakit," teriaknya kesakitan membuat kedua SPG di sana panik dan kalang kabut. Sang Ibu berlari menuju Jeongwoo mengangkat si bungsu dalam gendongannya mengabaikan Jihoon yang meraung kesakitan.

Kedua SPG yang iba pun memeluk Jihoon mencoba menenangkan.

"Anjir, kukunya copot weh. Gimana ini," panik salah satu SPG itu.

"Bu, kuku dia copot. Kasihan," adu SPG lainnya namun sang Ibu masih sibuk mengusap-usap kepala Jeongwoo yang habis terbentur lantai keramik itu.

"Biarin aja, makanya jangan nakal Jihoon. Kan mama bilang jagain adek kenapa malah buat adek jatuh. Biarin aja sakit, biar tahu rasa kamu," bentak Ibu Park membuat Jihoon semakin menangis, ia menyodorkan jarinya yang terlepas itu pada Ibunya tapi sang Ibu tetap acuh.

Kedua SPG itu buru-buru mengambil kotak P3K untuk mengobati luka Jihoon berusaha agar anak kecil itu berhenti menangis. Miris sekali melihat sikap acuh Ibunya tadi, memang ini hanya kukunya yang terlepas, tentu saja benturan di kepala Jeongwoo tidak bisa diremehkan, karena area kepala sangat sensitif, tapi tak sepantasnya sang Ibu membentak anaknya begitu.

"Bu, kasihan si Kakak. Tenangin dulu aja dia masih nangis," nasihat seorang kasir yang juga iba melihat Jihoon.

Jeongwoo juga sudah berhenti menangis, walau masih sesegukkan. Mungkin kepalanya tidak sakit lagi, tapi sang Ibu masih dengan lembut mengusap surai anak bungsunya dan mengabaikan Jihoon yang masih menangis melihat jarinya.

"Sudah biarin aja, cuman kuku doang. Adiknya kebentur mba, kepalanya yang kena. Mungkin sekarang gak papa tapi gimana nanti dia dewasa? Dia bakal sering sakit kepala, saya gak mau itu terjadi," jelas Ibu Park membuat sang Kasir dan SPG tadi mengangguk paham.

"Tapi-"

"Sudahlah, saya pulang dulu. Maaf yah Jihoon ngerepotin. Jihoon minta maaf cepat!" Jihoon yang masih sesegukkan hanya bisa menuruti Ibunya.

What's Wrong With Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang