Prolog

4 0 0
                                    

...

"Mudahnya, ideologi berpikir bebas yang sering kita dengar dengan sebutan liberalisme terbagi menjadi tiga tingkatan."

Meydina Salsabila menyeka keringatnya yang mengalir di dahi, membenarkan posisi jilbab sport-nya, lalu duduk di kursi pinggir lapangan,  menyeruput air mineral dari tumblr , sebelum benar-benar ingin membahas sesuatu hal yang penting.

"I'm really up for heavy conversation." Logan Carel Jefferson, dengan semangat langsung membuang asal bola basket, duduk tepat di samping kanan Meydina.

"Oke, I will do the same." Abraham Daniel mengikuti, duduk di samping kiri Meydina, sambil menyeka rambut tebalnya yang penuh keringat.

Mereka bertiga baru saja menyelesaikan satu set permainan, lalu tiba-tiba terpancing untuk diskusi, seperti biasa.

"Pertama, free thinking. Mereka yang berada pada tingkatan ini selalu menyuarakan tentang kebebasan berpikir dan bertindak sesuka hati selama itu baik. Entah kata baiknya itu menurut siapa, subjektif, tanpa dasar. Intinya bebas aja."

"Kedua," Meydina memberi tanda dua pada jarinya, "sophisme atau ragu bahkan sering menolak kebenaran. Mereka memiliki pemikiran kritis tapi digunakan untuk mendebatkan hukum-hukum agama. KTP-nya sih, Muslim, Kristen, Budha or something, tapi kerap sekali diskusi tentang kebebasan berpikir tanpa landasan agama."

"Nah, kategori ketiga, last but not least adalah no commitment and free exercise of religion." Wanita berumur dua puluh lima tahun itu mengerutkan kening sebelum benar-benar yakin mendefinisikan kategori ketiga tersebut. "Ya pada dasarnya mereka merasa sesuka hati dalam menjalankan aturan agama. Terkadang baik, terkadang buruk. Moody-an."

Abraham menyambut penjelasan singkat itu dengan tebakan, "Silent liberal muslim yang biasa kamu sebutin pasti berada di tingkat ketiga."

Mey balas mengangguk."Ya, bisa dibilang seperti itu. Bahasa kasarnya nggak mau dibilang kafir, tapi nggak peduli juga dengan ajaran agama."

"Semacam munafik?" tanya Abraham intens, dengan kerutan tajam di dahinya.

Mey melirik tipis, lalu tersenyum sinis. "Abri sekarang mulai radikal, ya?" Abri panggilan yang disematkan oleh orang terdekat pada Abraham. Pria yang berbeda satu tahun di bawah Meydina itu ingin sekali membantah sebelum Logan akhirnya mewakili.

"Radical is good, Din, jarang manusia sekarang yang memegang agama sekuat kamu. Kerja di perusahaan yang isinya kaum modern dan bertahan selama hampir dua tahun, itu sebuah gived. Bertahan maksud aku adalah mempertahankan keislaman. Tetap pakai jilbab, kaus kaki, and you know, Bri? Dia bahkan nggak pernah nyentuh gue. Wanita mana yang bertahan nggak nyentuh emas berharga dengan mudahnya disaat orang-orang susah payah mencari itu."

"Do you think you are a gold, Buddy? Meydi akan nyari emas yang halal dan itu bukan anda, sih. No offense."

Logan memutar bola matanya, tidak bisa membantah, karena ngaku atau tidak, perkataan sepupunya itu benar. Seorang Meydina Salsabila yang sangat konservatif tidak akan pernah tertarik dengan kehidupannya yang progresif modernis. Namun karena ada sedikit ego yang menyentil, Logan kembali pada topik. "But seriously, Din."

"Aku iri sama kamu. Bahkan setelah kita melalui banyak diskusi, aku masih takut untuk komitmen dengan sesuatu hal yang sangat privat."

"Menikah contohnya," sahut Abraham.

"Lebih tepatnya agama, sih," Logan mengoreksi.

"Statement kamu barusan mengartikan kalau kamu ada di tingkat pertama paham liberal," ujar Mey retoris lagi-lagi setelah mengambil botol minum, lalu meneguknya sampai habis.

Sebelum menjawab, Logan, Sang Direktur perusahaan properti itu tersenyum penuh arti.

"It's okey, Din. Mungkin sebentar lagi ada tingkatan ke empat. Free thinking tapi too hard to be salih."

Saat Mey ingin membalas, Rania datang dari balik kegelapan.

"Kak! Diskusinya berhenti sebentar bisa, nggak? Mama sudah nunggu kita untuk makan malam dari setengah jam yang lalu, lho. Harus ngabisin berapa jam lagi? Kasian Mbak Ayu mau istirahat, besok anaknya sekolah hari pertama jadi harus pulang cepat, cucian piring banyak. Kenapa aku harus repot-repot menyebutkan semua task Mbak Ayu?"

Mey tertawa, Abraham ikut tergelak sebelum akhirnya berdiri sambil menurunkan lengan kemeja yang sempat ia gulung setengah tadi, Logan bangun lalu berlari kecil mendekati Rania. Tubuh pria itu jauh lebih tinggi namun ia berusaha menyejajarkan bahunya setara dengan bahu remaja itu, kemudian berbisik.

"Ran, kadang aku bingung kamu adiknya Mey bukan, sih? Kamu bahkan bisa cerewet tanpa harus bahas ilmu."

Rania tertawa, ia yakin kakaknya itu pasti dengar apa yang baru saja Logan katakan. Lantas ia juga membalas dengan suara bisikan yang terdengar seperti seruan.

"Aku adiknya Kak Mey, kok. Cuma memang dia keturunan siapa aku juga bingung. Hidupnya belajar terus. Apa nggak capek ya, Kak? Kak Logan kenapa betah, sih, jadi bosnya kakak?"

Sambil berjalan sejajar dengan Abraham, Meydina berdecak kecil kemudian membalas. "Aku bisa denger kamu loh, Ran. Ada ide untuk nanya hal yang sama ke saya jika anda berminat? Kalau ditanya siapa yang capek, sepertinya saya lebih capek ya." 

Abraham menyambut dengan tawaan kecil, kemudian ia menyusul Rania, meninggalkan Meydina di belakang. Alhasil dua pria dewasa itu sekarang mengapit seorang remaja tanggung.

"Kantor kita juga aneh kenapa recruit seorang Meydina Salsabila yang memiliki pemikiran super kolot tapi menarik ini. Uncle Jeff ada masalah apa dengan sekretaris?"

Sambil melihat aneh pemandangan mengesalkan di hadapannya, sekaligus merasa terpojokkan, Meydina lagi-lagi membalas.

"Kolot tapi minta private education tentang agama. Kolot banget memang kita, ya?"

Logan menghentikan langkahnya, diikuti Abraham, sama-sama berbalik, melirik Meydina. "Bukan private education, Mey. Private lessons, pembahasan minggu lalu seru tuh ...,"

"Maa!! Kita bisa ninggalin mereka bertiga dan langsung makan malam aja nggak sih? Aku harus mengulang moment ini setiap malam Sabtu, aku lelah ..," Teriak Rania sambil berlari masuk ke dalam rumah setelah menyebrang.

Malam itu, lagi-lagi, lapangan basket yang berada tepat di seberang rumah Sandi Pramono dipenuhi tawa.

"Gimana, Buddy? Mulai mikir serius untuk sesuatu yang privat?" tanya Abraham pada Logan. Meydina tidak peduli, ia langsung mempercepat langkah menuju pintu, segera masuk ke dalam rumah, tapi sepenggal percakapan terakhir berhasil ia dengar.

"Private lessons?" tanya Logan retorik. Abraham mendengus sebal. "Beragama?" kali ini Logan terdengar serius.

Abraham menjawab dengan serius pula. "Nikah, Gan. Meydina Salsabila. You get the whole package of the perfect woman to marry."

Cinta Tak Pernah Gagal | Pemikiran #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang