[0] Bukit Depan Laut

13 0 0
                                    


Tidak ada hal yang lebih sejuk daripada angin yang terhembus dari laut menuju daratan. Ditemani kicauan burung merpati yang keluar beterbangan untuk berimigrasi, mereka sukses menghiasi kebiruan langit di musim semi tanpa disengaja, kesuksesan yang selalu orang-orang dambakan, ditambah paduan awan-awan yang juga berjalan perlahan- oh tidak, apa itu karena bumi yang berotasi sehingga menjadikan kita berilusi seolah-olah awan yang bergerak? Entahlah, intinya cuaca di pagi ini sangat indah.

Di suatu tempat yang terpinggirkan dari padatnya hiruk-pikuk Kota Tokyo, terdapat dua insan yang sedang bersantai di atas rerumputan pada sebuah bukit kecil yang terapit di antara dua bukit besar. Dengan sang adam yang meletakkan kepala nya di atas paha sang hawa, dan tangan sang hawa yang salah satunya mengelus surai kecokelatan milik sang adam sambil satunya lagi memegang buku kecil bersampul warna jingga.

"Orang-orang suka melihat langit siang, tapi menutup mata mereka karena silau. Suka hujan, tapi menghindarinya dengan berpayung. Suka dengan laut, tapi tetap berenang menggunakan pelampung. Suka lagi dengan malam, tapi meninggalkannya untuk tertidur pulas. Jadi sebenarnya, mereka itu suka atau benci, sih?"

Si perempuan, dengan surai sepanjang panggulnya bertanya kepada lelaki yang sedang merebahkan kepala di paha miliknya. Yang sebelumnya menutup mata pun kini membukanya, menampilkan netra cokelatnya yang tak lebih hangat dari cokelat panas di musim dingin.

"Kamu menyindir ku, ya?"

"Percaya diri sekali, aku hanya mengutip kata-kata dari buku, kok."

Lelaki itu terkekeh kecil, "bohongmu jelek banget. Umur berapa sih? Membaca saja terbalik."

Satu tamparan kemudian mendarat di dahi sang pemuda membuat ia sigap menutupi bekas tamparan agak kencang yang ia terima dari si perempuan itu, tanpa beranjak dari posisinya.

"Sakit! Donna, jahat sekali." Raut wajahnya berubah cemberut dan intonasinya sedih, namun itu tak lebih dari 'kepura-puraan' yang ia buat untuk karakternya yang orang kenal sebagai 'pembuat drama.'

"Itu akibatnya melawan yang lebih tua."

'Donna' menyengir kepadanya, mampilkan barisan giginya yang rapih. Tapi sungguh, di lihat dari sisi manapun, yang bisa pemuda itu deskripsikan hanyalah bahwa ia lebih terang dari matahari, quasar, dan yang lainnya.

"Jawah pertanyaanku dong."

"Yang mana, tuh?"

"Tentang manusia dan alam, mereka suka atau benci?"

Memangnya aku terlihat mengerti tentang itu? Pikir sang pemuda dalam hatinya. Namun, ia juga sempat mempertanyakan hal yang sama. Manusia itu individu yang kompleks, mereka suka tapi tak ingin mendekat, takut untuk meraihnya. Dan mereka kebanyakan hanya ingin mendengar apa yang mereka ingin dengar saja.

Tapi, pemuda itu telah merasakan poin pertama. Baru kali ini dalam hidupnya ia suka namun takut untuk meraihnya. Takut kegelapannya akan memengaruhi seluruh cahaya yang menjadi sumber kehidupannya. Meskipun, cahaya dan kegelapan akan terus berdampingan layaknya sepasang air laut dan pasir di pantai.

Jemari yang sepertinya dapat dikatakan terlalu lentik untuk ukuran seorang lelaki remaja itu meraih surai panjang perempuan tersebut. Aroma bunga bagaikan menjadi ciri khas dari wangi rambutnya, terkadang bisa sampai membuatnya kalang-kabut jika saja ia dalam keadaan yang lemah.

"Menurutku, apa yang mereka suka belum tentu dapat menjadi milik mereka. Pun mereka sadar akan hal itu, dengan begitu lebih baik untuk menghindarinya, setidaknya untuk mereka yang pengecut, lebih baik begitu," ujarnya sembari merasakan denyut jantungnya yang berdetak lebih cepat, kali ini ia tak mengontrolnya sama sekali, denyut itu bereaksi sendiri di luar kekuasaannya, membuat ia tak tahan ingin tertawa miris.

Tak ada jawaban dari sang lawan bicara. Rambut yang terlilit pada jemarinya kini tertarik ketika wanita itu berdiri, membuat kepala pemuda tersebut langsung bertemu dengan tanah berumput. Ia meringis kecil.

"Aduh sakitnya-"

"Mau coba sekarang?"

Matanya berkedip berulang kali ketika melihat uluran tangan dihadapannya. Wanita tersebut sedikit membungkuk. Pemuda itu tak bisa mengalihkan pandangannya ketika ia menangkap sesuatu yang sangat indah, wanita itu dan langit, mereka bagaikan satu kesatuan yang pasti. Jika saja ia meraih tangannya, tak tahu yang akan menunggunya itu gumpalan awan atau dasar laut yang dalam.

"Coba apa?"

"Bunuh diri. Impianmu, kan?"

Ia tertegun mendengarnya. Betul, impiannya adalah bunuh diri dengan wanita cantik. Dan di hadapannya terdapat wanita yang melebihi kata cantik yang ada di setiap kamus bahasa.

Beberapa saat ulurannya hanya dianggurkan membuat wanita itu kepalang bingung.

"Kenapa? Tiba-tiba ingin tobat?"

"Tentu tidak."

"Lalu?"

Hembusan angin melalui mereka hanya beberapa detik, namun dalam mata pemuda itu  seperti selamanya. Kata orang, pandangan orang yang sedang jatuh hati itu beda, dan ia dapat mengonfirmasi hal tersebut.

Daripada membalas uluran tangannya, pemuda tersebut lebih memilih menariknya dan melingkarkan lengannya pada bahu wanita itu.

"Jika mati membuatku tak bisa melihatmu lagi, aku lebih sudi untuk bertahan dalam neraka di atas bumi ini."

𓅹𓅹𓅹𓅹

DISCLAIMER!

Bungou Stray Dogs hanyalah milik Asagiri Kafka dan Jujutsu Kaisen adalah milik Gege Akutami.

● Cerita berlatar pada Anime Bungou Stray Dogs

● OC (original character) cerita fanfiksi ini terinspirasi dari Gojo Satoru dan bukan Gojo Satoru itu sendiri. Jadi, jelas ada perbedaan kepribadian.

● Ditulis dalam Bahasa Indonesia



WARNING TAGS :

Menyinggung kematian; bunuh diri; darah; penyiksaan; gangguan mental; depresi; kata kasar; adegan dewasa; senjata tajam; kekerasan; penyimpangan moralitas; pembunuhan; pelecehan seksual; kekerasan seksual; pemerkosaan; patriarki; misoginis; dll.



Selamat membaca,

Ayla 💖

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝘈𝘯 𝘌𝘷𝘦𝘳𝘭𝘢𝘴𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘉𝘰𝘯𝘥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang