Faiz membuka mata perlahan, sinar rembulan yang remang-remang menerobos masuk melalui jendela kecil di asrama pesantren. Ia menggeliat sejenak, mencoba melepaskan diri dari belenggu kantuk yang masih mencekam. Di kasur atas, Agas masih terlelap, tak terganggu oleh suara jangkrik yang silih berganti sejak semalam.
Malam sebelumnya, mereka berdua terlibat dalam pertengkaran kecil yang konyol. Mereka berseteru tentang siapa yang seharusnya menempati kasur atas. Faiz dengan hati yang lebih besar, akhirnya mengalah dan memilih untuk tidur di bawah, sebuah keputusan yang kini membuat punggungnya terasa pegal. Namun, lebih dari itu, ia merasa kecewa karena dirinya terpancing bisikan setan untuk ribut pada hal remeh temeh seperti itu. Kepanikan akibat pertukaran jiwa membuat pikirannya tidak sejernih biasanya.
Faiz menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur. Meskipun letih, ia tidak ingin melewatkan salat Tahajud. Ia berwudu dengan air yang dingin, menggetarkan tulangnya, tapi sekaligus menyegarkan jiwa. Dalam sujud terakhirnya, ia berdoa agar Allah SWT membimbing mereka berdua agar bisa kembali ke tubuh masing-masing segera.
Ketukan di pintu kamar mereka membuyarkan lamunan Faiz. Ia berjalan gontai menuju pintu dan membukanya. Di sana, salah satu santri muda berdiri dengan wajah cemas saat melihat Agas lah yang keluar. Santri itu tampak bingung hendak memanggil Faiz dengan sapaan apa.
"Pak, Kiai Hasan menitip pesan agar Gus Faiz datang ke ruang kepala sekolah sebelum salat Subuh nanti," ujarnya tergagap.
Faiz menelan ludah, hatinya berdebar. Memanggil Agas di waktu seperti ini pasti bukan hal yang biasa. Apa ada hal krusial yang harus dibicarakan?
Faiz menoleh ke belakang, melihat Agas yang masih terlelap, mengorok tanpa beban.
“Nanti akan saya bangunkan Gus Faiz. Mungkin dia masih kelelahan,” Faiz mengeluarkan alasan yang jujur dan terdengar masuk akal.
Santri itu pun mengangguk dan pamit pergi.
Maka Faiz bergegas masuk kembali ke kamar dan dengan susah payah mencoba membangunkan Agas sambil mengguncang tubuhnya pelan. "Agas, bangun! Kamu dipanggil Kiai Hasan," bisiknya, berharap agar Agas segera sadar. Butuh beberapa saat bagi Agas untuk benar-benar terbangun, dengan mata yang masih setengah tertutup dan ekspresi bingung.
“Gue masih ngantuk! Buset dah lo! Jam berapa sekarang?!”
“Jam tiga-an. Beliau pengin ketemu kamu sebelum Subuh. Buruan!” Faiz menarik tangan Agas yang hendak menutupkan selimut ke tubuhnya lagi.
Agas mengerang malas.
“Kiai bisa curiga kalau kamu juga sampai berubah sifat jadi pemalas kayak gini!” Faiz tak menyerah berusaha menarik tubuh Agas yang tinggi dan berotot. Terakhir dia ingat berat tubuhnya memang cukup besar dan dipenuhi massa otot. Ternyata memang seberat ini! Faiz beristighfar dalam hati.
Meski terus menggerutu, Agas akhirnya bangun, menyikat gigi, lalu berpakaian rapi. Mereka berdua bergegas menuju ruangan Kiai Hasan. Agas terlihat cuek, tapi Faiz sebaliknya. Hatinya dipenuhi kecemasan dan pertanyaan. Apa yang telah Agas lakukan? Apakah ini berkaitan dengan pertengkaran semalam? Apa ada yang mendengar keributan mereka? Keduanya pun berdua berjalan dalam diam, tak ada yang berani memecah keheningan.
Ketika berjalan, Faiz akhirnya memberanikan diri berkata. "Aku harus ikut bicara dengan Kiai Hasan. Kamu sama sekali nggak nyambung kalau ngomong sama beliau. Bisa-bisa penyamaran kita terbongkar dan akan menghancurkan reputasiku!" kata Faiz dengan nada yang penuh kekhawatiran.
Namun, Agas yang dikenal dengan kecerdasan dan ketenangannya, merasa tidak memerlukan bantuan dari Faiz. Lagipula, kalau terbongkar, yang rugi akan Faiz, bukan dirinya.
“Ogah! Gue bisa urus sendiri. Lo nggak usah ikut campur. Di sini lo nggak cocok!”
Tentu saja, yang Agas inginkan adalah tubuh Nurul jika mereka sudah menikah. Karena itu, dia harus menjauhkan Faiz sejauhnya.
Faiz tetap mengekor Agas. Ia tidak bisa membiarkan Agas menghadapi situasi ini sendirian, terlepas dari penolakan tegas Agas. Namun, sayangnya, ketika mereka tiba untuk berbicara dengan Kiai Hasan, Faiz yang ada di tubuh Agas malah diusir. Kiai Hasan, yang tidak menyadari pertukaran jiwa yang terjadi, merasa bingung dan kesal dengan kehadiran pria bertato yang dianggap tidak pada tempatnya.
“Tapi, saya harus menemani Ag… Gus Faiz….” ralat Faiz penuh permohonan.
“Ini pembicaraan privasi antara saya dan Gus Faiz. Orang luar tidak boleh ikut campur!” tukas Kiyai Hasan tampak mulai tidak sabar. Semakin lama mereka bersitegang, semakin membuang-buang waktu sebelum waktu Subuh tiba.
Akhirnya Faiz hanya bisa mengangguk patuh dan bergerak keluar ruangan.
Sementara itu, Kiyai Hasan dan Agas sudah duduk berhadapan. Kalimat berikutnya dari Kiyai Hasan membuat Agas melotot kaget.
“Kami berniat membatalkan ta’aruf dengan Nurul karena Gus amnesia.”
“Ke-kenapa bisa begitu? Gu-gue eh saya kan amnesia cuma sementara. Mungkin setelah menikah, malah ingatan saya kembali!” potong Agas panik. Semua rencana indah untuk meniduri Nurul sepuasnya langsung kandas.
“Kami tidak mau mengambil risiko. Yang Ustadzah Nurul setujui untuk menikah adalah Gus Faiz yang paham agama. Hafal banyak hadits, imam yang saleh, juga penghafal Al Quran. Sedangkan Gus yang sekarang, An Nas dan Al Fatihah sama terbata-bata. Bagaimana bisa menjadi imam salat? Apa Gus sudah mulai menghafal kembali?”
“Be-belum,” jawab Agas gugup. “Toh, saya akan mengingatkan nanti.”
Kiyai Hasan menggeleng-geleng. “Kalau Gus Faiz yang saya kenal dulu, kalau dia lupa sebuah hadist atau ayat Al Quran, dia tidak menunggu agar ingat lagi dengan sendirinya. Dia selalu muroja’ah kembali dan berjuang hingga kembali hafal.” Pria baya itu menatap mata Agas seolah menembus hingga ke jiwa.
Agas merasa seolah dia ditelanjangi. Meski Kiyai Hasan tidak tahu soal pertukaran jiwa itu, tapi jelas pria baya di hadapannya sadar kalau dirinya berbeda dengan Gus Faiz yang asli. Dia harus mencari cara!
"Sejak saya bersama Agas, memori saya perlahan kembali. Saya ingat tentang kebersamaan saya bersama Agas kala sekolah.” Dusta yang mulai dilarangnya dengan sekenanya. “Saya mohon, beri saya waktu untuk lebih sering bersama Agas. Saya yakin ini akan membantu saya pulih! Meski saya amnesia, saya terus terang mencintai Nurul dan sangat ingin mempersuntingnya!" Lalu ingin membuat wanita itu meneriakkan namanya di atas ranjang berkali-kali, pikiran kotornya kembali bekerja akibat terlalu sering melakukan hal haram.
Kiai Hasan, yang dikenal dengan kebijaksanaan dan kemampuan mendengar, sejenak merenung atas permintaan itu. Ada keraguan dalam matanya, tapi juga keinginan untuk membantu.
Akhirnya, dengan nada yang lebih lembut, Kiai Hasan berkata, "Baik, saya akan memberimu waktu. Tapi kamu tidak boleh bertemu dengan Nurul untuk membahas soal pernikahan sampai ingatanmu benar-benar kembali.”
“Baik!”
“Satu bulan! Hanya satu bulan. Setelah itu, Ustadzah Nurul berhak menerima khitbah (lamaran) dari Ustad atau Gus lainnya.”
Seketika senyum Agas pun menghilang.
Mulai berantakan update-nya karena banyak ujian di real world.
Kepengin buru-buru tamat rasanya. Tapi di sinopsis baru jalan se per tiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gus Playboy
ParanormalFaiz terkejut kala terbangun dalam keadaan telanjang bulat bersama seorang perempuan yang juga tidak berbusana. Parahnya, dia adalah seorang Gus sekaligus penceramah agama yang dihormati, lulusan salah satu universitas ternama di Arab Saudi. Belum...