Satu

27 2 0
                                    

ㅤㅤㅤ𝑲𝒖𝒆 mendesis di pemanggang. Wadah-wadah berderak heboh, dijejalkan ke tempat semula oleh Martha yang masih menggerutu perihal kemalasan Aiko. Satu jam penuh dihabiskan dan kemajuan paling kentara ialah bagaimana dia menuangkan adonan ke dalam cetakan—meski meninggalkan jejak-jejak kental di permukaan lantai.

"Kau tahu? Seorang gadis akan tumbuh dewasa. Ada saat di mana kau tidur terlalu larut dan terbangun terlalu pagi karena memikirkan hari esok yang menggapai-gapaimu—menuntut waktu, bahkan dirimu."

Aiko membalik halaman buku di depan wajah lantas mengusap-usap tepian sampul berwarna biru kehijauan. "Benar. Dan, berapa lama lagi menjadi dewasa dari angka enam belas?"

Martha terpejam. Setelah tahun demi tahun dijalani bersama, untuk menghadapi Aiko diperlukan kesabaran ekstra. 𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘶 𝘬𝘶𝘦 𝘫𝘢𝘩𝘦 𝘥𝘪 𝘮𝘶𝘴𝘪𝘮 𝘱𝘢𝘯𝘢𝘴 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘯𝘪? Pertanyaan Aiko tadi pagi dibalas dengan sederet nama-nama pelanggan pada buku catatan. 𝘔𝘮𝘮, ... 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘱𝘢𝘬𝘢𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘵𝘦𝘨𝘢? 𝘈𝘱𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘵𝘦𝘨𝘢 𝘤𝘰𝘬𝘦𝘭𝘢𝘵? 𝘐𝘯𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘬𝘶𝘯𝘪𝘯𝘨, komentar—menyebalkan—tak masuk akal berhasil diatasi di detik itu juga. Martha bersikap profesional lalu menunjuk sinar matahari di luar sana, 𝘒𝘢𝘶 𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘤𝘢𝘩𝘢𝘺𝘢 𝘥𝘪 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘮𝘢𝘯? 𝘚𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘪𝘯𝘥𝘢𝘩, '𝘬𝘢𝘯?

Namun, melihat tepung berhamburan, mendengar derit kursi yang diseret Aiko untuk mengambil gula bubuk di rak tertinggi, dan teriakan halus '𝘈𝘩!' setiap kali dia terantuk kaki meja sungguh membuat Martha sakit kepala. Andai Aiko masih berusia tiga atau lima, kegaduhan di dapur pasti selalu mengundang tawa.

"Sekarang. Jika kau adalah aku, 𝘥𝘦𝘸𝘢𝘴𝘢 sudah terjadi sekitar enam tahun lalu," jawab Martha sembari memijat pelipis mengingat serangan-serangan di perbatasan; warga biasa ditodong senjata, anak-anak dibawa paksa—tanpa belas kasih diperbudak dan disiksa. "Dulu, mereka begitu semena-mena. Menjulurkan leher dari mobil bak orang tolol, apapun yang tak disukai akan dihancurkan."

Aiko menurunkan buku. Perhatian si gadis telah teralihkan. Berbagai jenis bunga mendadak terlupakan dan tergantikan bayangan-bayangan masa kelam. Ayah Aiko mengabdi kepada negara. Kemampuan mencari-cari informasi serta mengumpulkan kelemahan lawan amat mengagumkan; diceritakan dengan baik oleh sang ibu di saat depresi melanda akibat percekcokan yang terjadi di antara mereka.

𝘚𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘮𝘢𝘵𝘢-𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘵𝘪𝘩 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘯𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘬𝘢𝘪𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘶𝘨𝘢𝘴; 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘶𝘳𝘢-𝘱𝘶𝘳𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘶𝘴𝘢𝘩𝘢, 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘪 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳𝘨𝘢 𝘬𝘢𝘺𝘢 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘮𝘶𝘴𝘶𝘩 𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘱𝘦𝘳𝘥𝘢𝘺𝘢, "𝘓𝘪𝘩𝘢𝘵! 𝘋𝘪𝘢 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘴𝘢𝘸𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘢𝘵𝘢𝘴. 𝘋𝘪𝘢 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘱𝘪𝘩𝘢𝘬 𝘬𝘪𝘵𝘢!" Aiko kecil mengangguk polos. Pikirnya, '𝘈𝘺𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘢𝘫𝘢 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘱𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯!' Akan tetapi, ucapan setengah mabuk ibu tercinta menahan imajinasi kekanakan Aiko. 𝘋𝘪𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘺𝘢𝘪𝘳 𝘩𝘦𝘣𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘴𝘪𝘬 𝘩𝘢𝘯𝘥𝘢𝘭. 𝘉𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘦𝘸𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘵𝘢𝘸𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯, 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘶𝘳𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘵𝘪—𝘬𝘦𝘵𝘦𝘳𝘣𝘶𝘬𝘢𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘪𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘩𝘢𝘮𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘭𝘶𝘴𝘶𝘱 𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘣𝘢𝘨𝘪𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮, "𝘈𝘱𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘢𝘩𝘢𝘨𝘪𝘢?" 𝘗𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘢𝘣𝘢, 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘶𝘨𝘢, 𝘵𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳𝘨𝘢. 𝘔𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘣𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘱𝘶𝘯𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢. 𝘒𝘦𝘴𝘰𝘮𝘣𝘰𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘨𝘶𝘺𝘰𝘯𝘢𝘯, "𝘒𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘢𝘮𝘢𝘯." 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘶𝘴𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢. 𝘔𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 𝘱𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘢𝘮𝘪 𝘬𝘦𝘴𝘶𝘭𝘪𝘵𝘢𝘯.

Forget-Me-Not Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang