Dua

26 2 0
                                    

ㅤㅤㅤ𝑨𝒊𝒌𝒐 terimpit di antara dua wanita berbadan subur. Jalinan rambut yang diikat menggunakan pita di belakang kepala kini mencuat ke berbagai arah. Arus manusia bergerak tanpa henti bagai gelombang di tengah laut pasang. Mengerahkan seluruh tenaga, Aiko berhasil menyelinap dan terhuyung-huyung menjauhi keramaian.

Pukul lima kurang. Berada di pasar pada pukul lima kurang bukanlah pilihan tepat. Pedagang-pedagang nyaris menginvasi jalanan. Gerobak mereka. Meja-meja mereka. Akuarium dan kolam-kolam buatan di mana separuh ikan telah mengambang. Jika Martha tidak menjanjikan gula-gula, sekarang Aiko pasti sedang bersantai di ruang makan—mengenakan baju tidur berbahan katun—sembari menuntaskan buku bacaan.

Namun, mereka berdiri lama sekali di dalam toko beratap rendah, pengap, berbau tepung dan kayu apak. Martha kurang pandai menawar harga sehingga menimbulkan antrean panjang. 𝘋𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘴𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘫𝘶𝘢𝘭, 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘦𝘯𝘪𝘴 𝘨𝘢𝘯𝘥𝘶𝘮 𝘵𝘦𝘳𝘮𝘶𝘳𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘳𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘰𝘵𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘨𝘰𝘺𝘢𝘯𝘨-𝘨𝘰𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘭𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯. Pria bermulut kejam berteriak dari belakang mereka, sementara wanita berwajah sendu tampak ragu-ragu untuk menunggu. Aiko sendiri ingin segera pergi. Selain lelah mendengar gerutuan orang-orang, dia pun cukup terganggu oleh sebuah patung porselen berbentuk moncong rusa. Pikir Aiko, 𝘚𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘢𝘯𝘦𝘩 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘳𝘢 𝘸𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢 𝘱𝘢𝘳𝘶𝘩 𝘣𝘢𝘺𝘢.

"Tidak punya mata, ya?!"

Aiko menghadang seorang pesepeda. Ditilik dari ujung kaki sampai kepala, sosok di hadapan jelas tidak memiliki tata krama. Sedangkan, menurut si pemuda sendiri, Aiko adalah sejenis gadis pembangkang dan manja. Namun, kebisuan Aiko menghantarkan perasaan tak nyaman. Barang sebentar, netra yang dilihat hanyalah sepasang pupil bulat—mengibakan, menunjukkan kepolosan—dan ketika dia mengamati lebih lama, sorot itu balas menatap lancang; seakan menelanjangi, pun meremehkan.

"Ada lagi?"

Pertanyaan membingungkan menyentak kesadaran. Gadis manapun enggan memakai gaun berlengan tali di musim panas begini, terlebih berjalan kaki beralaskan flat polos berbunga putih. Dia ingat bahwa orang kaya suka sekali menyamar dan merias diri sedemikian rupa; sengaja membuat masalah dengan warga biasa sebelum melepas rambut palsu mereka lalu berteriak, "𝘏𝘢! 𝘒𝘦𝘯𝘢 𝘬𝘢𝘶! 𝘏𝘶𝘬𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘵𝘪!"

"Maafkan saya, Nona.... "

Sentuhan pelan di pundak Aiko sedikit mengejutkan. Ini dia! Keributan ternyata selalu berhasil menarik perhatian. Biar Aiko bayangkan: Martha tergopoh-gopoh datang, bernapas pendek karena kelelahan, tetapi luar biasa panik dan siap menghardik. 𝘠𝘢𝘩, 𝘉𝘪𝘣𝘪—pembelaannya tiba-tiba memiliki suara—𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘈𝘪𝘬𝘰.

Desember kemarin Martha murka bukan main. Rumah mereka dihias oleh boneka bertopi kerucut, bola-bola kaca bersalju, bahkan sulaman benang lucu. Namun, satu untai lampu pohon Natal tidak menyala. Aiko sangat kecewa dan menjadi pendiam. Sepanjang malam, Martha berusaha membangkitkan semangat sang keponakan. 𝘑𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘩𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪𝘳, 𝘈𝘪𝘬𝘰. 𝘛𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘥𝘦𝘱𝘢𝘯, 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘭𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘭𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘮𝘶𝘳𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘭𝘢𝘨𝘪, bujuk Martha sambil menyodorkan satu potong kue cokelat bertabur gula. 𝘈𝘱𝘢 𝘴𝘪 𝘉𝘢𝘫𝘪𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘋𝘢𝘷𝘪𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘴𝘦𝘳𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘬𝘢𝘴?

Forget-Me-Not Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang