Kata beberapa orang, OSIS adalah perkumpulan yang isinya rata-rata murid-murid hits. Sebagian lagi menyebut organisasi itu sebagai panggung panjat sosial. Tapi, adapula kaum minoritas yang menyebutnya ladang produksi bakat-bakat penggila kekuasaan untuk mega-panggung-adu-kekuatan.
Beruntung bila organisasi tersebut melahirkan bibit-bibit unggul yang benar-benar memikirkan masa depan bangsa. Tapi persentase kemungkinannya hanya berkisar satu banding sejuta. Sederhananya seperti mencari jarum dalam setumpuk jerami.
Dan itu adalah fakta yang dilihat Vania selama mengemban pendidikan di SMA Nusantara. Bertugas sebagai Sekretaris OSIS mendampingi Jaka sang Ketua OSIS, sedikit banyak dia melihat drama politik yang terjadi dalam organisasi itu. Berbagai sifat serta karakter orang-orang di dalamnya cukup menyenangkan untuk diamati. Tujuan mereka semuanya satu, memajukan SMA Nusantara. Tapi percaya, deh, itu cuma omong doang.
Misalnya akhir-akhir ini. Akan ada perhelatan besar yang biasa diselenggarakan setiap tahun oleh OSIS. Yep! Apalagi kalau bukan Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS periode baru. Vania yang menanggung beban sebagai Sekretaris dihadapkan oleh rapat intensif seminggu terakhir. Berdasarkan rapat dua hari lalu, telah ditetapkan tanggal pemilihan yang akan berlangsung pada tanggal 14 bulan itu; artinya waktu masa jabatan mereka tinggal dua minggu lagi.
"Van! Dipanggil Jaka ke ruang OSIS." Seseorang yang muncul dari pintu kelas, sedikit membuat Vania terusik karena dia lagi sibuk-sibuknya mengerjakan surat pengajuan daftar nama-nama Komisi Pemilihan Ketua OSIS.
"Duluan aja! Satu menit lagi aku nyusul," jawab Vania ketika merasa murid tersebut-yang ternyata Anisa (salah satu calon Ketua OSIS)-masih berdiri dekat pintu.
"OKE!"
Disela-sela pekerjaannya, Vania masih mengingat-ingat watak Anisa. Jujur saja, tapi Vania merasa bahwa perannya dalam parade politik SMA ini adalah sebagai kritikus. Kalau ingin me-review watak dan tabiat dari satu-satunya perempuan yang terpilih sebagai calon Ketos tersebut, bisa jadi daftar belanja Emak Vania kalah saing karena bakal panjang menyebutkan sifat dan karakter si Anisa.
Ada fun-fact juga dibalik naiknya Anisa jadi calon Ketos. Jadi, sebenarnya Vania yang bakal naik sebagai satu-satunya perempuan menjadi calon Ketos. Sayangnya Vania punya goal sendiri dan membuatnya menolak tawaran untuk naik sebagai calon. Singkatnya, Anisa-lah yang diangkat sebagai calon, walau sebelumnya Anisa pernah mengatakan, "Kalau Vania gak mau naik jadi calon ketos, aku juga gak mau gantiin posisinya itu. Bukannya apa, tapi terlalu berat bebannya kalau-kalau aku yang terpilih jadi Ketos nanti."
Tapi lagi-lagi, itu cuma omong doang. Biasa--lain di mulut, lain di hati.
Sebenarnya kata-kata Anisa kalau ditinjau lebih lanjut akan ditemukan unsur kepedean. Yah, Vania sudah tidak heran lagi, soalnya Anisa itu level percaya dirinya kayak mau adu mekanik sama piramida rantai makanan.
Bicara soal Jaka, Vania sebetulnya sudah atur timer di ponsel agar dia tidak lupa janji temu Inti OSIS dan Kepala Sekolah. Jadi, ketika dering alarm ponselnya bunyi, Vania cepat-cepat merapikan barang-barang yang akan dia bawa ke ruang OSIS dan melangkah bak seorang Sekretaris profesional; cepat dan mantap.
Mendampingi Jaka itu rasanya punya jam terbang mirip Staff Khusus Presiden. Tapi Vania bisa mengimbanginya.Ketika kakinya baru selangkah menapaki ruang OSIS, Vania bisa merasakan aura perselisihan dari dalam bilik khusus Inti OSIS. Diam-diam Vania menghela napas. Sosok Bu Megumi yang berdiri hadap-hadapan dengan Jaka, bisa Vania lihat lewat kaca pembatas bilik tersebut.
Sudah dua bulan terakhir hubungan Pembina OSIS dan Ketua OSIS itu kurang baik. Vania menjadi saksi bagaimana kedua orang yang punya jabatan itu gemar adu argumen bila ada pendapat yang tidak sejalan. Padahal hubungan keduanya terbilang cukup unik.
Suara ketukan pintu bilik membuat kedua orang itu menoleh. "Softcopy daftar nama-nama KPKO tinggal menunggu di-print," ucap Vania, yang berhasil meredakan sedikit ketegangan yang sempat mendominasi ruangan tersebut.
"Biar aku yang print. Tolong kamu ambilkan cap OSIS untuk dibawa ke ruang Kepsek nanti, ya," pinta Jaka, melengos begitu saja dari hadapan Bu Megumi.
Vania melirik sebentar sang Pembina OSIS lalu mengangguk kecil. Dia pergi ke salah satu lemari yang menyimpan perlengkapan OSIS sambil memasang telinga--mengira-ngira apakah Pembina mereka itu akan kembali berkicau.
"Jaka, Ibu masih tidak setuju dengan Sistem Pemilihan OSIS baru yang kamu rancang. Sekolah ini sedari dulu sudah punya standar pemilihannya sendiri. Kamu dengar Ibu 'kan?"
Itu lagi? Vania tidak habis pikir. Sudah nyaris sebulan perkara tersebut dijadikan bahan perdebatan. Tidak ada yang mau mengalah.
"Kalau begitu, apa gunanya diselenggarakan pemilihan, Bu?" tandas Jaka.
"Formalitas, Jaka. Formalitas." Bu Megumi menjelaskan seraya menahan gemas. Darah tingginya bisa kumat kalau ini tetap dilanjutkan.
"Ibu tidak berpikir kalau hal itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga panitia pemilihan dan pasangan calonnya?" Padahal Vania sudah lama dan sering mendengar cekcok kedua manusia itu, tapi balasan tajam dari Jaka terlampau berani untuk ukuran seorang murid. Vania kadang cenat-cenut sendiri menunggu kalimat-kalimat yang akan keluar dari ranum tipis pemuda itu.
"Padahal demokrasi itu ditanamkan di ranah pendidikan, tapi apa ini ... di mana demokrasinya?" Baru dibilang, lagi-lagi Vania tidak dibiarkan bernapas dengan benar oleh perkataan-perkataan Jaka. Lama-lama berada di dalam satu ruangan yang sama dengan mereka, bisa-bisa Vania pingsan karena kehabisan oksigen. Tekanannya bukan main, sih.
Jadi, demi keselamatan paru-paru dan jantungnya, Vania keluar dan menunggu Jaka di kursi depan ruang OSIS. Kalau perdebatan keduanya masih berlanjut, dia terpaksa mesti turun tangan untuk mengingatkan mereka tentang jadwal bersama Kepsek.
"Van, kenapa di sini? Jaka mana?"
Arif--murid yang punya jabatan tertinggi setelah Jaka alias Wakil Ketua OSIS--membuat Vania terlonjak kecil dari lamunan.
Tumben anak ini muncul, batin Vania.
Bukan apa-apa, tapi Arif ini hobinya hilang. Sebagai Waketos dia lebih suka cara main dari balik layar. Kalau di kepanitiaan, sering banget mengajukan diri untuk bagian backstage.
"Lagi printing daftar nama KPKO. Ada Bu Megu juga di dalam," jawab Vania seadanya.
Pemuda itu mengangguk paham dan ikut duduk di samping Vania. "Tadi aku mampir ke ruang Kepsek, nge-cek jadwal beliau. Jaga-jaga kalau beliau ada schedule lain tiba-tiba." Dia mengecek jam yang melingkar cantik di pergelangan tangannya. "Bentar lagi istirahat selesai, jadi biar aku yang turun tangan untuk melerai keduanya. Kamu lebih dulu aja ke ruang Kepsek."
Vania mengembuskan napas lega. "Oke. Anyways setelah kamu selesai dengan mereka, tolong singgah ke kelasku dan beritahu guru yang mengajar kalau aku bakal terlambat masuk, ya."
"Sip!"
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENADE SARKASME: KICAUAN KONYOL KONTESTASI PUTIH ABU-ABU
HumorSebuah satir yang tak sebanding dengan realita panggung politik +62 yang menggelitik. Dalam alur cerita penuh politisasi yang dimulai sejak dini anda akan dibawa meluncur lewat diksi yang menyentil pola pikir. Tokoh Fiksi Cerita Kita: 01) Anisa-Amin...