Karma dibayar kontan

1.3K 166 44
                                    

Hujan tidak berhenti sejak pagi tadi. Jadi, ruang gerak Arkan dan Arlan pun terbatas. Arkan yang biasanya tidak bisa diam, hanya menghabiskan jam istirahat di dalam kelas, malas karena di luar terlalu dingin. Arlan pun demikian. Anak itu hanya duduk sembari membaca buku. Karena bosan, Arkan kemudian menghampiri kembarannya.

"Dek."

"Apa?"

"Tebak-tebakan, yuk."

Arlan menghentikan kegiatannya, kemudian menatap kakaknya dengan tatapan curiga.

"Yang kalah harus beliin makanan ke kantin."

Tuhkan! Tidak mungkin Arkan tiba-tiba ke bangkunya hanya karena kurang kerjaan. Pasti ada maksud tertentu. Arlan tahu Arkan lapar, tetapi malas ke kantin karena di luar cukup dingin.

"Oke."

"Aa dulu, ya."

Arlan mengangguk.

"Perbuatan apa yang dikutuk Tuhan dan dibenci setan?"

Wajah Arlan tampak serius memikirkan jawabannya. Tuhan dan setan saja berseberangan, bagaimana bisa Tuhan mengutuknya dan setan juga membencinya. Aneh sekali memang dia punya kakak. "Tebak-tebakan macam apa itu? Mana ada Tuhan sama setan satu kubu benci perbuatan itu."

"Ada dong."

"Apa?"

"Kamu nyerah? Salaman dulu dong. Berarti habis ini kamu ke kantin beliin aa makanan."

Pemuda itu berdecak sebal. Pantas Arkan minta main duluan, dia pasti sudah yakin bahwa Arkan tidak akan bisa menjawab. "Ya udah, iya."

"Nyopet dompetnya setan."

Fix, Arlan memang harus jauh-jauh dari Arkan. Semakin dekat mereka, besar kemungkinan Arlan tertular kebodohan kembarannya. "Mau nyopet dompetnya setan juga gimana, A? Emang kelihatan? Emang tahu disimpannya di mana? Dalamnya ada apa aja? Ada KTP, SIM, kartu ATM, STNK sama KIP gitu? Apa jangan-jangan Aa komplotannya setan makanya tahu setan punya dompet? Capek banget punya kakak begini. Kalau ada mau yang tukar tambah, Aa udah aku tukar. Sama batagor seporsi juga enggak apa-apa!"

Arkan tergelak, tak kuasa melihat ekspresi kembarannya. "Boleh, tuh, batagor seporsi, ya. Jangan pakai sambal nanti aa sakit perut, Dek. Tega emang aa saki gara-gara dingin sama kelaparan?"

"Ck, semalam keluar tengah malam juga masih lengkap tuh. Jangan berlagak sekarat! Sana Aa pergi ke kantin sendiri."

"Dek, nanti aa masuk angin. Lama lho sembuhnya kalau masuk angin. Mana bunda enggak ada, nanti siapa yang ngerawat aa?"

"Ya udah, mana uangnya?"

"Dari kamu dulu, kan, semalam uang aa abis pakai sewa lapangan sama beliin kamu jajanan."

Malas berdebat, Arlan memilih pergi begitu saja. Buang-buang tenaga memang bicara dengan Arkan. Dia licik dan ingin menang sendiri. Entah Arlan saja yang terlalu polos dan mudah ditipu. Bagaimana lagi? Mau melawan takut kualat, semakin dibiarkan makin tidak ada akhlak manusia satu itu.

Arkan sendiri memilih kembali ke bangkunya, kemudian mengambil ponsel dan mengirim pesan pada seseorang.

Saya
Bun, aku mau ikut pindah
Please, Bun, aku di sini kayak anak tiri
Aku teraniaya sama kakak dan kembaranku sendiri
Aku kayak upik abu

Saya
Sayangilah anak bunda yang tampan ini
Tolong banget ini mah, Bun
Aku enggak kuat
Nyawaku kayak mau dicabut setiap waktu kalau sama Kak Gibran

Saya
Paling enggak kirim seratuslah, Bun
Seratus juta
Hehehe

Saya
Bunda kok enggak dibaca, sih

Oh, My Twins! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang