Arunika ~1

904 103 40
                                    

~Happy Reading~

***

Kedua tungkai itu melangkah perlahan di sepanjang koridor rumah sakit. Semilir angin menerbangkan helai rambut legam sepanjang bahu yang sayangnya tidak mampu menutup raut sedih pada wajah cantik itu. Di tangannya terdapat kertas berisi hasil pemeriksaan dan diagnosa dari dokter beberapa menit yang lalu. Tentang sebuah kenyataan yang membuat jantungnya mencelos dan menggelinding sampai lambung sampai ia tidak bisa merasakan kedua kakinya berpijak pada bumi. Mengawang dengan banyaknya pikiran yang justru mencubit hati kecilnya.

"Kanker otak stadium lanjut. Apa selama ini ibu Kinan tidak pernah merasakan gejalanya sampai sudah separah ini baru melakukan pemeriksaan?"

Satu bulir air mata jatuh pada pipi beriringan dengan sesak yang mencekik. Rasa sakit pada kepalanya yang setahun belakangan terasa mengganggu itu ternyata berasal dari sel kanker yang sekarang sudah berkembang dan menjalar pada bagian organ lainnya. Menyesal rasanya tidak langsung memeriksakan kondisinya sampai ia terlambat.

Dokter sudah mengatakan kalau kanker itu sudah terlalu parah. Angka kesembuhan yang dikatakan dokter hanya sepuluh persen yang berarti mustahil menurut Kinan. Bulir-bulir air mata lain berjatuhan kian deras sampai menganak sungai di kedua pipinya. Beberapa perawat yang berpapasan sempat berhenti dan menanyakan kondisinya yang semakin lama semakin menangis sesegukan.

Kenyataan ini terlalu berat bagi seorang ibu tunggal yang masih memiliki anak berusia enam belas tahun. Ketakutannya bukanlah soal kematian dirinya yang mungkin sudah sangat dekat di depan mata. Namun, tentang keberlangsungan hidup buah hatinya yang selama ini hanya memiliki dirinya sebagai rumah pulang dan tangan untuk digenggam.

Bagaimana dia akan hidup ketika ibunya pergi menghadap Sang Maha?

Bagaimana dia akan hidup ketika satu-satunya rumah yang dia punya terpaksa harus lenyap sebelum dia dewasa?

Kinan menggeleng sakit membayangkan itu semua. Ia tidak akan sanggup melihat putranya sendirian. Senyum ceria di wajah lucu itu tidak boleh lenyap, bagaimanapun caranya.

Jemarinya merogoh tas, meraih ponsel dan mendial nomor Salsha untuk memintanya bertemu di salah satu kafe yang dekat dengan kantor di mana Salsha bekerja. Ini terlalu berat seperti tujuh belas tahun yang lalu dan ia butuh wadah untuk menumpahkan keluh kesah agar tetap kuat dan bisa melukis senyum di hadapan putranya ketika sampai di rumah.

•••

"Kamu serius, Kinan?" pertanyaan bernada tidak percaya itu telontar dari bibir Salsha tepat seperti yang Kinan duga.

Kinan terdiam dengan jemari yang bergerak gelisah di atas meja. Bahkan, sampai detik ini kepalanya masih mencoba mencerna kenyataan apa yang baru saja ia dengar dan harus ia terima.

Salsha meraih amplop dengan logo rumah sakit yang tergeletak di atas meja. Membukanya dengan rasa penasaran sekaligus harapan kalau apa yang baru saja Kinan katakan adalah salah. Mata Salsha menelisik kata per kata yang tertulis di kertas itu. Membaca setiap kata dalam tabel pemeriksaan yang berakhir pada sebuah diagnosa positif.

Tubuh Salsha lemas dalam sekejap. Apa yang Kinan katakan adalah benar. Sahabatnya berada di ujung tanduk yang entah kapan akan terjatuh pada jurang kematian.

Tangan Salsha terulur guna meraih tangan Kinan dan menggenggamnya erat. "Kita berobat ya, Nan. Aku bakal bantuin kamu sampai kamu sembuh." ucapnya lembut.

Kinan menelan salivanya. Ia tahu kemungkinan keberhasilan pengobatan itu adalah sepuluh persen. Masih ada asa untuk sembuh, namun kematian tetap menjadi bayangan yang lebih besar. Maka, dengan segala kemelut yang bersarang di kepalanya, Kinan menggeleng samar.

ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang