Seorang anak laki-laki duduk di atas lantai dingin sembari memeluk kakinya yang gemetar karena gemuruh petir yang menggelegar di luar sana. Hujan deras terus mengguyur kota Jakarta malam ini, membuat anak laki-laki berumur dua belas tahun itu ketakutan.
Tangan yang semula memeluk kaki berpindah untuk membekap mulutnya sendiri supaya suara tangisnya tidak terdengar oleh adik perempuannya yang sudah tidur pulas di atas ranjang kamar.
Anak laki-laki itu menatap keluar jendela dengan tangan yang masih membekap mulutnya sendiri. Dia menatap hujan deras yang terus turun di luar sana, pun dengan ekor matanya yang juga tidak kunjung berhenti meneteskan cairan bening.
"Ibu udah tenang, ibu udah nggak kecapekan lagi, ibu bahagia, ya, di rumah baru ibu. Hujannya deras sekali, Bu. Biasanya kalo hujan ibu suka masakin Evan sama Berry mie kuah, sekarang nggak ada lagi mie kuah buatan ibu---
Belum ada sehari tapi Evan udah nggak tahu mau lanjutin hidup kayak gimana, Bu. Evan hidup untuk ibu, tapi sekarang ibu pergi ninggalin Evan sama Berry sendiri. Ibu bohong, ibu bilang mau sama-sama sampai nanti tapi kenapa ibu justru nyusul ayah?"
Hujan di luar semakin deras, rintik hujan berjatuhan di atas genteng bersahutan dengan suara kodok, namun tetap saja membuat anak laki-laki itu kesepian. Jari-jemarinya bergerak turun, mengambil figura kecil yang berada di samping tubuhnya. figura yang berisi foto dirinya, ibu serta adik perempuannya.
Jika bisa memutar waktu, Evander akan pulang cepat supaya ibunya tidak perlu mencarinya sampai merenggut nyawa wanita pertama dan selamanya yang amat dia cintai. Jika bisa memutar waktu, Evander akan menutruti permintaan ibunya untuk tetap di rumah menjaga Berry, bukannya diam-diam pergi untuk bekerja.
Evander akan menjaga berry dengan sebaik-baiknya supaya ibunya bisa bangga dengannya, supaya gadis itu bangga memiliki abang yang selalu ada di sampingnya, bukannya mengunci dirinya di dalam rumah dengan berbagai makanan sebagai sogokan. Namun, jika ada satu permintaan yang akan Tuhan kabulkan di detik itu juga dia hanya ingin meminta rumah, rumah yang didalamnya terdapat ayah, ibu, Berry, dan dirinya untuk selamanya.
"Jangan kubur ibu, kenapa ibu Berry dikubur? Berry mau sama ibu, jangan kubur ibu Berry, ibu nanti gabisa napas... kasihan ibu...."
Tatapan kosong Evander pada figuran kecil di tangannya teralih ketika adik perempuannya mengigau, Evander spontan berdiri naik ke atas kasur mengelus puncak kepala adik perempuannya; berusaha memberi ketenangan.
"Berry mau lihat ibu bahagia, kan? Mau lihat ibu nggak kecapekan karena kerja terus, kan? Sekarang ibu udah bahagia, ibu udah nggak capek lagi. Ibu udah sama ayah di surga," bisik Evander kelewat lembut.
Berry mengerjakan kedua bola matanya, tatapannya jatuh pada wajah kakaknya. "Sama ayah di surga?"
Evander tersenyum sembari mengangguk pilu. "Iya, di surga."
"Berry juga mau di surga, mau ketemu sama ayah. Berry mau tau wajah ayah, mau peluk ayah, mau bilang ke ayah kalo Berry sering diejek temen-temen Berry karena gapunya ayah. Berry punya ayah, kan, abang?"
Pertanyaan Berry menusuk dada Evander, dia merapikan rambut adik perempuannya yang berantakan. "Berry sama Abang punya ayah, Berry mau ketemu ayah?"
Gadi berusia sepuluh tahun itu mengangguk antusias. "Mau, mau ketemu ayah, mau ketemu ibu juga. Pasti menyenangkan, iya, kan abang?"
"Nanti kita ketemu, ya. Tapi Berry harus janji dulu ke Abang. Berry harus jadi adik perempuan Abang yang hebat, janji?"
"Iya Abang, Berry janji."
"Sekarang Berry berdoa terus tidur, ya, nanti ayah sama ibu datang di mimpi Berry," ujar Evander menahan mati-matian supaya air matanya tidak tumpah di hadapan adiknya.
"Sekarang ketemu di mimpi dulu, nanti kalau udah waktunya kita ketemu di surga sama ibu sama ayah," lanjut Evander tidak memberi kesempatan adik perempuannya untuk membuka suara.
Berry mengangguk pilu, Evander mengelus puncak kepala adiknya—mencoba memberi kenyamanan agar Berry cepat terlelap.
Semenjak ibunya dinyatakan meninggal, Evander sekuat tenaga menahan agar dirinya tidak menangis dihadapan Berry, namun setelah Berry tertidur air mata cowok itu terus luruh dari ekor matanya, kedua matanya sembab sebab sedari dua jam lalu dia membiarkan dirinya terlihat lemah di kamar yang hanya diterangi lampu tidur, dengan suasana dingin karena hujan mengguyur, dan sepi yang amat terasa.
"Evander takut, takut menghadapi dunia tanpa ibu--"
"Evan..., Evan aku kedinginan, buka jendela plis!"
Evander tersentak kaget mendengar ketukan di jendela kamarnya. Dia memastikan Berry sudah terlelap, melangkahkan kaki kecilnya untuk membuka gorden jendela. Kedua bola matanya yang bengkak melotot tajam melihat seorang gadis seumurannya berdiri di depan jendela dengan bibir bergetar menahan dinginnya air hujan.
"Lathe... ngapain kamu di situ?"
🌟🌟🌟🌟
Siap mengarungi dunia Evander, cumi?
Vote, komen, share jangan lupa yaaawwww, cumi!!!!
Baca juga AU Telling the Stars About You di:
🌟 X : potatopinkyy
🌟Tiktok : potatopinkyy
🌟Instagram: wp.potatopinkyy
KAMU SEDANG MEMBACA
Telling the Stars About You | On Going
Novela Juvenil"seperti bintang, kamu istimewa untuk selamanya." Evander Devantara. Di usianya yang baru menginjak angka 12 tahun dia sudah harus berjuang lebih keras dari anak seusianya. Jika anak seusianya sekolah hanya memikirkan tugas tapi dia berpikir bagaima...