Prolog

387 13 0
                                    

"Hai, Naila. Apa kabar? Semoga baik ya. Disana enak gak, Nai? Aku kangen kamu. Kamu yang selalu menghantui pikiran ku. Kamu yang selalu hadir disetiap mimpiku."

Pria dengan iris berwarna hazel itu membawa sebuket bunga mawar untuk gadis nya.

"Nai, kamu kapan pulang? Kamu gak kangen sama aku? Atau, aku boleh gak nyusul kamu kesana?" Tanya pria itu.

"Dave..." panggil seorang perempuan kepada pria tadi.

"Eh, Daiva." Sapa Dave sambil menyeka air matanya dan mengulum senyum palsunya.

"Menangis lah, jika itu membuatmu tenang." Daiva mengelus elus punggung Dave.

"Aku merindukannya. Jika dia tidak kembali, apa aku yang harus pergi ke tempat dia berada?" Ucap Dave lirih.

"Jangan bicara seperti itu, Dave." Sela Daiva.

"Aku sangat merindukannya. Aku sakit, Dai. Bahkan rasa sakit itu menembus ujung hatiku yang paling dalam."

Cairan bening mulai menumpuk di pelupuk mata Dave. Tidak membutuhkan waktu lama, air mata itu mulai meleleh membasahi wajah Dave.

"Bersabarlah." Daiva memeluk Dave erat sambil mencoba menenangkan saudara kembarnya itu.

"Kamu bukan diriku, Daiva. Kamu tidak tahu apa yang kurasakan. Aku sangat sangat menyesal. Ini semua... salahku."

Daiva menghela nafas pelan. Sudah berpuluh puluh kali ia menghadapi situasi seperti ini.

"Ya. Aku memang tidak mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi, berhentilah menyesal dan merasa seakan akan semua kejadian itu terjadi karena mu. Kamu, dan dirinya itu hanyalah sebuah skenario kecil yang Tuhan buat. Dan skenario itu sudah berakhir. Lalu, apa lagi yang perlu disesalkan?"

"Pergilah. Kamu memang menyebalkan." Dave mengusir Daiva kasar.

"Maaf, aku hanya ingin menyadarkanmu, bahwa sekuat apapun ikatan cinta kalian, pada akhirnya semua itu akan berakhir. Aku permisi."

Perlahan, Daiva pergi meninggalkan Dave. Daiva menyeka air matanya yang hampir turun. Sel sel otaknya mulai memflash back semua kejadian tersebut. Bukan hanya Dave, namun Daiva juga merasa bahwa dirinya lah yang membuat semua kejadian itu terjadi pada Naila. Naila. Nama itu terngiang di pikiran Daiva. Sahabatnya, teman kecilnya, malaikatnya, penyemangatnya.

Daiva meraih sebuah album berisi foto foto ia dengan teman dekatnya tersebut. Ia hanya tersenyum kecil mengingat kekonyolan yang dirinya dan Naila lakukan.

"Naila, maafkan aku. Andai waktu itu aku tidak...." Daiva tidak sanggup melanjutkan kata katanya. Pipinya mulai basah terhujani air mata. Ia mengingat semua yang telah ia lakukan kepada malaikat kecilnya itu.

Juni 2015

****

GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang