Part 3

158 7 1
                                    

Ting... tong.... Ting... tong....

Naila menekan bel rumah Daiva pelan. Sudah sepuluh menit ia berdiri didepan pintu rumah Daiva, namun sang pemilik rumah tak kunjung membukakan pintu untuk tamunya.

Krriieettt.....

Pintu utama rumah mewah tersebut terbuka. Muncullah sosok pria yang selama ini menjelajah pikiran Naila.

"Ummm... Hai, Kak Dave." Sapa Naila ragu.

"Daiva nya ada?" Timpal Naila.

"Masuk saja ke kamarnya." Ucap Dave dingin.

Naila berjalan dibelakang Dave sambil memperhatikan setiap sudut rumah tersebut. Sudah beratus ratus kali ia bertamu ke tempat ini, namun baru kali ini ia melihat sebuah bingkai foto besar menggantung di dinding. Foto spasang kekasih berada dalam bingkai itu.

Terpampang jelas bahwa sepasang anak adam tersebut terlihat bahagia satu sama lain. Mereka saling memberi bahu untuk bersandar, tangan untuk memeluk memancarkan kehangatan, menyeka air mata, mengusap rambut hingga bibir untuk mengecup keningnya.

Kenapa rasa sakit ini menjalar hingga ke seluruh tubuh? Apa aku jatuh cinta? Se-begitu sederhana nya kah jatuh cinta? Batin Naila.

Sadar, Naila. Dia tidak mencintaimu. Bahkan lebih parahnya dia TIDAK AKAN mencintaimu.

Naila menyadarkan diri dari lamunannya tadi. Ia segera menelusuri tangga melengkung disana hingga sampai ke depan kamar Daiva.

"Daiva!" Pekik Naila membuka pinth kamar Daiva asal.

"Naila, gak usah teriak bisa gak sih!" Bentak Daiva yang terlihat kaget saat Naila berteriak dan membanting pintunya.

"Hehehe soz not soz, Dai." Ucap Naila cengengesan.

"Tumben lo kesini. Pasti ada mau nya, ya?" Tanya Daiva usil.

"Pasti mau ketemu pujaan hati nih?" Timpal Daiva.

"Pujaan hati dari mana. Sumpah, kakak lo tuh dingin banget. Bisa dibilang kayak... umm... Pangeran Es mungkin!" Cecar Naila.

"Ya dia jadi pangeran es gitu juga gara gara sesuatu, Nai." Daiva menoyor kepala Naila.

"Sesuatu? Apaan tuh?" Tanya Naila penasaran.

"Ada dehh..." Ledek Daiva sambil mengedipkan matanya genit.

"Pelit, wle!" Naila menjulurkan lidahnya.

"Belum waktunya lo tahu, Nai."

"Lalu kapan?"

"Saat lo bener bener yakin dan sadar kalo lo emang jatuh cinta sama dia. Jatuh cinta yang benar benar jatuh."

"Cih, kok lo jadi pakar cinta gitu sih, sekarang!" Cibir Naila.

"Oh, ayolah! Apa perlu gue bayar orang suruhan gue buat nyelidikin dan mata matain kakak kembar kesayangan lo itu?" Ancam Naila sambil tersenyum jahil.

"Yakin lo bisa ngebayar orang suruhan lo itu?" Ejek Daiva.

"Oh, jadi anda meragukan kemampuan dan kekayaan saya, Mrs. Daiva Adriana Subiantoro?" Naila memasang mimik marah lalu dibalas dengan derai tawa oleh mereka berdua.

"Hahaha! Muka lo tadi gak banget deh Nai!" Teriak Daiva.

"Huh, sialan! Sekarang lo kasih tahu gue tentang dia." Naila memasang puppy eyes adalannya. Bisa dipastikan jika Daiva akan luluh saat melihatnya.

"Oke, gue bakalan cerita. Tapi, berhentilah memasang muka seperti itu, Naila Talitha Ananta!"

Daiva menghela nafas panjang. Ia merapihkan anak rambutnya lalu memulai cerita panjangnya.

"Dulu, Kak Dave jatuh cinta sama Renata. Renata cinta pertamanya Kak Dave. Sampai akhirnya pas mereka kelas 8, mereka jadian. Renata itu temen kecilnya Kak Dave. Mereka udah bareng bareng dari umur 7 tahun. Renata teman pertama Kak Dave di Berlin."

"Sampai akhirnya, mereka tunangan diumur 16 tahun. Setahun yang lalu, Kak Dave tiba tiba balik ke Indonesia dan mutusin buat lanjutin sekolah disini. Beberapa hari kemudian, Renata nyusul Kak Dave ke sini. Waktu itu Kak Dave yang jemput Renata di bandara. Pas mereka mau ke apartement Papanya Renata, Kak Dave nyetir mobilnya ugal ugalan." Mata Daiva mulai penuh dengan genangan air mata. Hidung serta matanya merah seperti tomat.

"Hingga akhirnya mobil mereka nabrak pembatas jalan dan kebakar seketika. Kak Dave sempet keluar dari mobil, tapi Renata.... dia kekunci didalam." Daiva menangis terisak.

"Renata, dia gue dari SMP. Gue kenal dia karena Kak Dave. Dia baik, sangattt baik, ya walaupun jarak kita emang jauh banget. Gue gak nyangka, Renata bakalan pergi secepat ini."

Naila menelan ludahnya dengan sulit. Ia mengelus elus punggung Daiva mencoba menenangkannya.

"Lalu Kak Dave bener bener terpukul waktu itu. Setiap hari dia cuma duduk di balkon mandangin halaman rumah dengan tatapan kosong. Terus, hampir tiap malem dia mimpi buruk. Gue gak tau apa isi mimpinya, tapi dia sering neriakin nama Renata itu." Daiva menyeka air matanya perlahan.

"Bahkan, dia sempet trauma naik mobil. Gue, nyokap sama bokap pontang panting nyari psikolog buat dia." Tambah Daiva.

"Tapi, dia... dia masih aja ngerasa kalau kematian Renata itu gara gara dia." Daiva menundukkan kepala mengacak acak rambutnya frustasi.

Daiva menangis lemah dihadapan Naila. Begitu juga Naila. Ia bisa merasakan luka yang Dave dan Daiva rasakan.

"Maaf. Maaf udah bikin lo keinget sama semua itu lagi." Ucap Naila.

"Gak papa. Gue aja yang terlalu lemah begini, hahaha." Daiva tertawa getir.

Kemudian mereka berdua saling membeikan pelukan peuh kehangatan dan kasih sayang.

"Gue tahu, sekarang Kak Dave emang punya benteng pertahanan yang sangat kuat juga hati sedingin es. Tapi gue yakin, lo bisa ngeruntuhin benteng pertahanannya serta mencairkan hati sang pangeran es itu. Gue tau sebenernya dia gak sedingin ini." Daiva menatap Naila penuh harapan.

****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang