Chapter 4

45 7 0
                                    

Lee Jeno menatap banyaknya bidang tanah amat luas yang di tanami berbagai macam sayur dan buah yang tumbuh subur. Pemandangan yang sama sekali tidak pernah ia lihat sebelumnya. Jeno mendengus geli, membayangkan ladang di depannya itu menjadi pusat olahraga, semua mesin dan alat canggih diganti oleh sekumpulan sayur dan buah yang siap di panen, maka akan terasa menyenangkan untuk dilakukan karena sensasi yang berbeda dari biasanya.

"Lee Jeno-nim!" Teriak seseorang.

Jeno menatap Shindong yang berlari dengan susah payah karena tubuhnya yang sedikit gempal. Cengiran ramah khas pria yang lebih tua darinya itu bahkan membuatnya tak akan sanggup untuk mengomelinya jika pria itu meminta hal yang berlebihan.

"Annyeong haseo." Sapanya pada Shindong.

"Ne, terima kasih, sudah mau membantuku hari ini, Jeno-nim. Aku akan pulang secepatnya dari kota dan ada uri abeoji juga yang akan membantumu,
jadi kau tidak perlu mengurus semuanya. Aku akan membelikanmu makanan lezat!"

Jeno mengangguk paham dengan ujung sudut bibir yang naik ke atas, merespon setiap ucapan Shindong, "Ne, hati-hati di jalan." Jawabnya.

"Aku akan pulang secepatnya!"

Jeno menatap Shindong yang kini berlari kecil menuju mobil pick-up. Pria itu langsung menyalakan mesin mobil, dan melambaikan tangan padanya sebelum pria itu menancap gas mobil. Jeno membungkuk kecil saat mobil tersebut pergi, dan berjalan kembali untuk menemui Ayah Shindong.

Jeno menyipitkan bola matanya melihat seseorang yang tengah sibuk di ladang dengan topi jerami beserta setumpuk karung di sekelilingnya. Tanpa pikir apapun lagi, Jeno segera menghampiri pria tua tersebut untuk menyapanya terlebih dahulu.

"Annyeong haseo."

Pria tua itu menoleh menatap Jeno, lalu menepuk kedua tangannya, "Pasti kau Lee Jeno?" Tanyanya.

Lee Jeno mengangguk pelan, "Ne, Lee Jeno imnida. Hari ini saya akan membantu pekerjaan anda, Pak Shin."

Pak Shin menatap Jeno dengan ramah seraya mengangguk cepat. Ia mempersilakan pria yang lebih tinggi dari Pak shin itu untuk segera berada di sampingnya lebih dekat. Jeno pun mendengarkan dengan saksama bagaimana mengambil kentang dengan benar yang masih tertanam di tanah. Ia melihat dengan cermat gerakan Pak Shin yang mencangkul tanah tersebut hingga beberapa kentang menyembul keluar.

Ia pun mulai membantu Pak Shin dengan lihai hingga di puji oleh pria tua itu karena mampu melakukan pekerjaannya dengan baik. Jeno mulai memindahkan dua ember yang berisi kentang ke dalam karung putih hingga penuh bersama Pak Shin. Setelah dua jam di bawah sinar terik matahari, Pak Shin mengeluh dengan pinggangnya yang mulai sakit, sehingga pria itu harus beristirahat terlebih dahulu, namun Jeno yang melihatnya dengan khawatir, dengan tegas menyuruh Pak Shin untuk pulang lebih awal, dan menyerahkan semua pekerjaan hari ini kepadanya.

Setelah Jeno memastikan bahwa pria itu sudah tidak berada di area ladang, ia mencangkul kembali agar semua kentang bisa ia kumpulkan. Sejenak, ia mengusap peluh keringat yang mengucur di pelipisnya sambil memerhatikan beberapa karung kentang yang sudah di ikat. Ia menghela napas, merasa menyesal, tidak membawa topi untuk melindungi kepalanya dari panas matahari. Tanpa berpikir panjang, Jeno segera menuntaskan pekerjaannya dengan cepat.

Helaan nafas lelah untuk yang terakhir kalinya keluar begitu saja dari mulutnya setelah mengangkut lima karung kentang berukuran cukup besar ke depan rumah Pak Shin, agar lebih memudahkannya untuk di pindahkan ke mobil bak terbuka milik Shindong esok hari. Jeno berkacak pinggang seraya deru napas kasar miliknya terdengar, menandakan bahwa pria itu cukup kelelahan. Jarak antara ladang kentang ke rumah Pak Shin hanya berkisar sepuluh meter, namun cukup jauh jika harus memindahkan karung kentang yang cukup besar dengan hanya seorang diri serta berbekal kekuatan tubuh saja.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 06 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ENCHANTEDWhere stories live. Discover now