Bab 1

80 6 0
                                    

Acha nama panggilan yang terdengar sederhana. Untuk seorang gadis berusia seperempat abad. Nama Acha diambil dari nama tengah dirinya. Banyak yang bilang Acha orangnya asik, dan lebih banyak yang bilang Acha orang aneh.

Acha mah bodo amat, mau dibilang aneh sama orang-orang. Bagi dirinya menjadi diri sendiri lebih baik dari pada harus jadi orang lain. Bagi Acha, orang yang tidak bisa menerima keadaannya, berhak untuk dihempaskan. Yah, dalam artian dianggap tidak ada.

Acha pernah membaca dalam sebuah novel. Katanya hidup itu adalah pilihan, awalnya Acha sedikit ragu dengan argumen itu. Namun sekarang dia juga sependapat. Sebagaimana kita memilih merasakan sakit hati atas perkataan orang atau memilih melanjutkan hidup tanpa terpengaruh.

" Acha bangun ! Mau bangun jam berapa kamu ?" Seperti sekarang Acha mendengar suara ibunya namun ia tidak terpengaruh sama sekali. Menarik guling lebih asik dari pada harus membuka mata. Kedua kelopak matanya sangat berat, seolah-olah banyak bongkahan batu di sana.

Jam berapa sekarang, mengapa ibunya sudah cerewet. Acha sudah bilang hari ini akan bangun siang dari semalam. Tapi mengapa ibunya tetap membangunkannya.

"Sholat subuh enggak kamu Ca ?" Selimut yang acha gunakan semakin turun. Sepertinya ibunya menarik selimut yang dia gunakan.

"Anak gadis jam segini belum bangun !" Lagi ibunya berbicara, tidak hanya mulutnya yang berbicara tangannya pun ikut menepuk-nepuk pipi Acha.

"Malu Ca, sama ayam yang udah cari makan" siapa suruh tuh ayam bangun pagi, kenapa harus malu toh Acha enggak minta makan sama tuh ayam, batin Acha.

"Allah, Ayah mengapa kita punya anak perempuan pemalas begini" ibu kapan engkau pergi, biarkan anak mu ini tidur dengan tenang.

"Bisa cepat tua ibu, kalau kayak gini terus"

"Lah, bukannya ibu memang sudah tua ?" Guling yang tadi Acha peluk sekarang berada di badannya.

"Ampun Bu, sakit. Acha udah bangun ini matanya udah melek nih"

Acha membuka matanya dengan lebar, tapi pukulan guling terus saja menghantamnya.

"Ngomong apa tadi kamu" ibunya terus saja memukul Acha dengan guling.

"Acha bilang bilang ibu udah tua. Memang benarkan bu, Acha saja sudah dua puluh lima tahun sekarang". Ibunya terlihat sangat marah. Acha jadi kebingungan. Apakah yang dia katakan salah. Memang begitulah faktanya. Banyak orang yang bilang kita harus berbohong demi kebaikan. Kebaikan yang bagaimana dulu yang dimaksud.

Kebaikan yang membuat orang lain lupa daratan, dengan menyanjung ibunya sebagai contoh. Maaf, Acha tidak akan melakukan semua itu. Acha hanya akan memberikan fakta. Lebih baik sakit hati karena tertampar dari kenyataan dari pada terlena dengan kebohongan.

" Kalau tau ibu sudah tua kapan jadinya kamu menikah" seketika Acha terdiam, Acha mengaku kalah sekarang.

Menikah, satu kata yang memiliki banyak arti. Bagi kami kalau jomblo yang belum menemukan pasangan, kata itu bagaikan DC yang terus mengejar. Mungkin bagi yang sudah menikah kalian bisa tersenyum melihat kesusahan kami.

"Ada apa Bu ?" Akhirnya ayah datang, walaupun sedikit terlambat. Akhirnya perhatian ibu Acha bisa teralihkan.

"Kenapa main gebuk-gebukan guling ?" Mungkin melihat tangan ibunya yang masih memegang guling Acha. Ayahnya menjadi bertanya-tanya.

"He.he.he. Simulasi lomba tujuh belas Septemberan nanti Bi" Acha memberikan cengiran tengil khas miliknya.

"Memang tujuh belas September ada acara apa Ca ?" Ayah dan ibunya terlihat bingung. Tapi Acha sangat menikmatinya.

"Loh, ayah sama ibu enggak tau ? Itu loh kemerdekaan. Hari kemerdekaan" Acha melihat reaksi kedua orangtuanya.

"Ya, Allah. Abi." Ibunya berteriak habis ini akan ada hal yang mengasyikkan pasti.

" Ibu lama-lama menyesal menyekolahkan tinggi-tinggi. Tetap aja kamu. Tutttttttt. Umi sensor deh, kata pak ustadz seorang ibu tidak boleh berbicara jelek. Terutama buat anaknya takutnya apa yang Ibu katakan menjadi kenyataan."

Tiba-tiba ibu menjewer telinga Acha hingga membuatnya menjadi merah.

"Makanya baik-baik kamu sama Ibu, dikasih tau jangan nyeyel terus. Ingat Ca kata pak ustadz. Ridho Allah datangnya dari orang tua" seketika raut wajah Acha berubah menjadi sedih. Setelah mendengar ibunya berkata seperti itu.

"Maafin Acha ya Bu, Acha cuma bercanda. Acha tau kok hari kemerdekaan hari apa. Kan Acha niatnya pingin becandain ayah dan ibu". Setelah ibu, sekarang giliran sang ayah yang menjewer telinganya. Telinga Acha terasa sangat perih.

"Kurang-kurangin becandain orang tua, dosa kamu Ca" setelah mengatakan itu ayahnya mengelus telinga Acha dengan sayang.

Mungkin jika saat ini Acha berkaca, telinganya sudah berubah bagaikan tomat. Dengan rasa perihnya yang masih terasa.

"Maaf, Yah, Ibu." Acha terlihat sangat menyesal. Setelah bercanda seperti itu kepada kedua orang tuanya. Bagaimana, jika seandainya ayah dan ibunya. Benar-benar tidak meridhoi dengan apa yang telah Acha perbuat. Apakah dosanya akan tambah banyak. Itulah yang saat ini Acha pikirkan. Acha berharap semua itu tidak terjadi. Begini-begini Acha mencintai surga dan takut neraka.

"Alhamdulillah, Ya Allah, anak Umi tidak jadi tolol. Anak Ibu ternyata pinter enggak malu-maluin sekolah tinggi-tinggi." Wajah Acha telihat bingung. Dan mulutnya sedikit menganga, setelah mendengar apa yang ibunya katakan.

"Bu, bukanya tadi katanya tidak boleh berbicara jelek. Itu barusan ibu bilang aku tolol gimana ceritanya." Sang Ibu sepertinya baru tersadar, terlihat dari badannya yang tersentak akibat kaget.

"Ya, ampun beneran ibu bilang gitu. Ya, udah ibu ralat sekarang. Anak ibu pinter banget ya Allah. Malaikat tolong yang tadi jangan dicatat dulu. Umi hanya spontan itu"

Acha dan Ayahnya tertawa melihat kepanikan sang ibu. Air mata Acga tiba-tiba menetes mungkin momen itu yang akan mereka rindukan suatu saat nanti. Jika diantara mereka ada yang pergi terlebih dulu. Entah, itu Acha yang mengenang ayah dan ibunya atau sebaliknya. Karena yang nama umur tidak ada yang tahu. Acha sangat berharap suatu saat nanti hanya kenangan indah, tanpa rasa penyesalan yang akan terus mereka kenang.

"Sudah-sudah, sekarang bapak dan ibu keluar dulu. Kamu cepetan mandi yang wangi karena ada yang mau ketemu. Ingat jangan lama waktu kamu cuma sepuluh menit. Ayah hitung dari sekarang."

Setelah mengatakan itu ayah dan ibunya langsung pergi dari kamar Acha. Jangan tanya bagaimana keadaan Acha sekarang. Waktu sepuluh bagaikan satu menit menurut Acha. Karena mandi lama sudah menjadi kebiasaan Acha dari dulu. Mungkin itu juga yang menyebabkan ayahnya hanya memberikan waktu sepuluh menit.

Momen seperti inilah yang akan Acha alami setiap pagi. Jika tidak ada keributan harus dipertanyakan ada apa yang terjadi diantara keluarganya. Terkadang Acha muak, terkadang Acha lelah, terkadang Acha sangat menikmati momen ini. Adakah diantara kalian yang ingin diposisi Acha ?





Bersambung

Semoga ada yang suka cerita ini

Prilaku jeleknya jangan sampai ditiru.

Terimakasih...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah Dari Seperempat AbadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang