"Merylin! Ayo kita berangkat!" Albert berseru memanggil putrinya. Merylin sedang menyisir rambutnya yang coklat kemerahan. Rambutnya panjang sepunggungnya, ikal di bagian bawah.
"Ya, Yah! Aku hampir selesai!" balas Merylin. Dia berdiri, menyambar topi lebarnya yang tergantung di belakang pintu kamar. Lalu ia bergegas keluar, menuju kamar ibunya. Dua hari ini ibu agak kurang enak badan, ibu masih terbaring di ranjangnya. Ibu tidak ikut hari ini ke gereja.
"Ibu, aku pergi dulu. Ibu baik-baik ya, di rumah." Merylin memeluk ibunya.
"Iya, Sayang. Salam buat Pastor Charles dan Ibu Arvella," kata Ibu. Ibu masih sedikit pucat.
Merylin cepat-cepat ke depan. Di luar rumah, ayah sudah menunggu di atas kereta kuda mereka. Merylin naik dan duduk di sisi ayahnya. Ayah menggoyang tali kekang dan memberi tanda agar kuda berjalan. Dua ekor kuda yang menarik kereta itu mulai berlari, menyusuri jalanan desa menuju ke arah kota. Gereja cukup jauh, dua jam perjalanan lamanya. Terletak di antara kota dan perbukitan tempat tinggal Merylin.
Minggu pagi hari ini cerah sekali, tetapi udara terasa lumayan dingin. Ya, musim semi baru mulai. Merylin merapatkan mantelnya untuk menghilangkan terpaan dingin pada tubuhnya.
Merylin selalu senang setiap ada kesempatan pergi ke gereja. Bukan sekedar bisa beribadah, tapi dia akan bertemu beberapa teman di sana. Juga bertemu Pastor dan istrinya yang dia kenal sangat baik sejak dia kecil. Karena itu dia akan memakai pakaian terbaik setiap dia pergi ke sana. Kali ini dia mengenakan dress biru cerah dipadu putih dan hitam di bagian tertentu. Membuat dia tambah ceria. Sementara angin mempermainkan rambutnya yang ikal kemerahan. Tidak sabar rasanya ingin cepat sampai di tujuan.
Sampai di gereja, dengan riang Merylin melompat turun dari kereta kuda. Dia menuju ke gereja menyalami Pastor Charles Brown dan istrinya, Arvella, yang menyambut ramah setiap jemaat yang datang. Senyum ramah dan menyenangkan itu yang Merylin sering rindukan.
"Halo, Gadis kecil! Apa kabar?" sapa Pastor Charles dengan senyum khasnya. Lebar dan ramah.
"Sangat baik. Tapi aku bukan gadis kecil, Pastor. Aku sudah hampir tujuh belas tahun," kata Merylin.
Pastor Charles tertawa. "Yaa ... Tidak terasa kamu hampir dewasa. Tapi tetap saja kecil." Pastor Charles menggoda Merylin.
Memang tubuh Merylin tergolong imut jika dibandingkan teman seusianya yang bisa sepuluh senti lebih tinggi darinya.
"Pastor ..." Merylin tersenyum malu-malu.
"Tidak apa, Merl. Kamu tetap saja cantik." Arvella istri, Pastor Charles, ikut menimpali.
"Terima kasih, Bu." Merylin tersenyum.
"Selamat pagi, Pastor Brown," sapa Albert yang ada di belakang Merylin.
"Pagi, Mr. Everance," sambut Pastor Charles. "Margareth tidak ikut?" Pastor Charles menanyakan ibu Merylin.
"Sudah dua hari ini dia kurang sehat. Jadi dia memilih istirahat supaya cepat pulih," jawab Albert.
"Ah ... begitu. Nanti kita berdoa untuknya," kata Pastor Charles.
Albert lebih dulu masuk ke gereja. Merylin masih menunggu di situ.
"Ada sesuatu, Anak Manis?" tanya Charles. Dia tahu Merylin ingin menyampaikan sesuatu padanya. Terlihat dari tatapan gadis itu.
"Ehmm ... aku ingin berbicara dengan Pastor selesai kebaktian," ujar Merylin.
"Ya, tentu. Kita bicara nanti." Charles tersenyum.
Merylin masuk dalam gereja, duduk di sebelah ayahnya. Beberapa menit kemudian, ibadah dimulai. Sepanjang ibadah Merylin mengikuti dengan sungguh-sungguh. Dia tahu kekuatan dalam hidup adalah ketika dia dekat dengan Tuhan. Sebab Tuhan yang dapat memberi jawaban untuk setiap persoalan hidup yang dihadapi manusia.
Usai kebaktian Merylin menunggu Charles di ruang sebelah ruang ibadah. Ruangan ini semacam kantor atau ruang pertemuan yang lebih kecil. Charles masuk ruangan itu dengan senyum cerah seperti biasa.
"Ada apa, Merylin?" tanya Charles setelah dia duduk di depan Merylin.
Merylin menangkup kedua tangannya. "Pastor, semalam aku bermimpi lagi. Bermimpi bertemu Pangeran Clarence. Wajahnya masih sama, tampan dan tersenyum. Tapi, sedikit pucat, dan senyumnya menyiratkan kesedihan. Apakah dia sedang sakit?"
Charles menatap Merylin. Gadis ini sangat terbuka padanya. Bahkan lebih dari keterbukaannya pada orang tuanya. Charles selalu berusaha mengerti Merylin. Dalam pandangannya, Merylin gadis yang unik. Ada sesuatu dari diri gadis itu yang membuat orang lain melihat dia agak aneh. Charles dan Arvella seperti orang tua kedua bagi Merylin. Sejak kecil Merylin cukup sering tinggal bersama Charles dan Arvella.
"Aku tidak tahu arti mimpimu, Nak. Aku berharap itu hanya mimpi, dan bukan pertanda apa-apa. Berdoa saja Pangeran Clarence baik-baik saja," kata Charles. Dia memberi jawaban agar Merylin tidak terus berpikir yang tidak perlu.
"Ya, Pastor. Pasti aku berdoa untuknya. Selalu." Merylin tersenyum.
Sejujurnya, mendengar cerita Merylin tentang mimpi-mimpinya, Charles seperti sedang berhadapan dengan anak balita yang punya bayangan teman tak nyata. Bagaimana tidak? Merylin belum pernah melihat Pangeran Clarence, sama sekali. Dia hanya mendengar kabar ini dan itu dari orang lain tentangnya.
Lalu, dalam mimpi dia bertemu seorang laki-laki, tampan, dan yakin itu adalah Pangeran Clarence. Anehnya tidak sekali dia bermimpi. Hal semacam ini yang orang sulit pahami dari Merylin. Jika dia cerita pada orang lain dia akan ditertawakan atau diejek.
Tapi Charles, menyikapinya dengan berusaha mengikuti pikiran Merylin. Supaya gadis itu tidak kecil hati dan merasa tertolak.
"Pastor, Pangeran Clarence pasti datang waktu acara musim berburu bulan depan, bukan?" tanya Merylin.
"Tentu. Justru aksinya dengan Henry dan anak-anak bangsawan lainnya yang ditunggu-tunggu," jawab Charles.
"Aku ingin bertemu dengannya. Aku pasti datang, Pastor. Aku ingin tahu, benarkah dia seperti yang di dalam mimpiku?" Nada suara Merylin penuh semangat.
"Waktu dia kecil aku sempat melihatnya tiga kali. Itu juga dari jauh, tidak begitu jelas. Sekarang, dia sudah dewasa, sudah sangat berbeda pasti," kata Charles.
"Aku tidak sabar rasanya. Ayah berjanji akan mengatur waktu mengantar aku bisa pergi ke kota nanti." Merylin merapikan gaunnya yang panjang. Melipat kedua kakinya yang ada di bawah kursi.
"Aku diundang datang di acara pembukaan acara perburuan. Kamu mau ikut?" Charles melihat Merylin.
"Sungguh, Pastor? Aku boleh ikut?" jantung Merylin seperti beradu seketika. Dia tak mengira Pastor mengatakan ini.
"Ya. Setidaknya kamu bisa melihat dia dari jauh," ucap Charles. Untuk acara-acara kota, biasanya dia diundang sebagai rohaniawan masyarakat.
"Tentu. Terima kasih banyak, Pastor." Senyum lebar menghiasi bibir mungil itu.
"Permisi ..." Albert berdiri di depan pintu. Dia baru selesai belanja pupuk untuk gandum di ladang dan makanan unggas mereka.
"Pastor, aku pamit pulang. Sekali lagi terima kasih banyak." Merylin mengulurkan tangan bersalaman dengan Charles.
"Pastor, sampai jumpa." Albert melambai dan meninggalkan ruang itu.
Merylin berlari kecil mengikuti ayahnya. Menaiki kereta kuda mereka yang ditarik dua kuda berwarna coklat. Kereta meninggalkan gedung gereja yang tidak terlalu besar tetapi megah dan kokoh.
Charles menatap kereta itu hingga berlalu. Ia tahu, Merylin jatuh cinta pada Pangeran Clarence yang bahkan hanya dia lihat lewat mimpi. Itu pun jika benar, pria dalam mimpinya itu adalah Pangeran Clarence.
"They say if you dream a thing mode than once, it's sure to come true ..."
- sleeping beauty-
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Prince
FantasyBerharap bertemu Pangeran Clarence idaman hati, Merilyn justru kecewa dan terluka. Dia merasa begitu hina hingga berjuang menyingkirkan pangeran tampan yang beberapa kali hadir dalam mimpinya itu. Siapa mengira, satu siang yang terik, Merilyn menemu...