"Dibalik ketenangan, ada banyak luka yang ditutup secara paksa."
***
Sabian terjaga dari tidur nyenyaknya dengan tubuh yang terasa berat, seolah energi dalam dirinya sudah terkuras habis. Suara berisik dari arah luar kamar memecah keheningan pagi yang seharusnya masih lenggang. Matanya perlahan terbuka, dan dengan sedikit enggan, ia melirik jam di meja samping tempat tidurnya.
Ah ... masih pukul delapan pagi ternyata.
Pria itu baru saja terlelap dengan tenang tepat pukul tiga pagi setelah semalaman menemani Jizan yang mabuk berat. Sabian masih ingat dengan jelas bagaimana kacaunya situasi semalam. Sahabatnya itu terus menangis dan mencurahkan kemarahannya atas apa yang terjadi pada dirinya—alasan yang membawa Jizan mengunjungi apartemen Sabian.
Sabian bangkit dari tempat tidur, menarik napas panjang sebelum menyeret kakinya keluar kamar. Suara obrolan rendah dari seorang wanita dan pria yang ia kenal siapa pemiliknya mulai terdengar lebih jelas. Sabian meraih kenop pintu dan membukanya, berdiri sejenak di ambang pintu, mengamati Kahiyang yang tampak sedang bercengkrama ringan dengan Jizan. Tidak lupa dengan sup dan teh hangat yang tersaji rapi di atas meja—yang Sabian yakini adalah masakan sang kekasih.
"Makanya, jangan stres sendiri. Sampe mabuk berat gini," terdengar suara Kahiyang, lembut namun penuh nasihat, saat ia menyerahkan semangkuk sup kepada Jizan.
Jizan menyambut semangkuk sup itu dengan tawa hambar. Jelas masih merasa bersalah karena merepotkan Sabian semalam. "Makasih ya, Ya. Gue jadi nggak enak udah ganggu waktu weekend kalian."
Kahiyang tersenyum kecil. "Santai aja. Gue sama Sabian biasa cuma nonton atau makan bareng aja kok."
Di sisi lain, Sabian hanya menyimak percakapan mereka yang terlihat begitu asik sampai tidak menyadari keberadaannya sejak tadi. Sabian menghela napas pelan, menghampiri mereka di kursi meja makan tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Jizan dan Kahiyang baru menyadari keberadaannya saat suara derit kursi di samping Kahiyang terdengar. Tentu, kehadirannya disambut hangat oleh wanita di sampingnya.
"Kamu udah bangun dari tadi?" tanyanya lembut, yang dibalas dengan anggukan pelan.
Mata Sabian terpaku pada gerakan Kahiyang yang tenang dan penuh perhatian. Berancang-ancang menyiapkan sarapan untuk dirinya, "Nanti aku ambil sendiri." ujarnya, menyuruh Kahiyang untuk kembali duduk disampingnya. Selalu seperti itu—ia selalu tahu apa yang dibutuhkan orang-orang di sekitarnya, bahkan tanpa harus diminta.
Sementara sahabatnya itu kembali sibuk menyantap makanannya tanpa merasa terusik dengan kehadirannya. Sabian berdecak pelan mengamati sahabatnya yang tidak tahu diri itu. Kalau sudah tenang pasti seolah-olah bisa mengatasi semuanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kita Delapan Belas Tahun
عاطفيةSetelah delapan belas tahun ... Beberapa orang cenderung akan sibuk dengan urusannya masing-masing. Sibuk mengejar impian dan ambisinya dan mulai kehilangan teman-teman terdekatnya secara perlahan. Tapi, hal itu tidak berlaku pada hubungan pertema...