03 :

17K 58 2
                                        

Yoga masih terbilang cukup muda untuk menjalin ikatan pernikahan, teman-temannya pun banyak yang masih melajang. Bisa dihitung dengan jari seberapa banyak teman-temannya yang sudah menikah.

Sebenarnya Yoga tidak terlalu memusingkan soal pernikahan, bahkan ia sendiri hampir tidak ingin menikah karena terlalu malas mencari pasangan. Ia lebih suka berdiam diri di studio dan berjibaku dengan tangga nada daripada harus mengurusi seorang gadis yang emosinya masih labil.

Pemuda itu tak terlalu memusingkan soal asmara, toh ia bahagia dengan kehidupan yang dijalaninya saat ini. Yoga telah memiliki apapun yang diinginkannya. Rumah, mobil, serta karir yang cemerlang membuatnya tak memikirkan apapun soal asmara.

Berbeda dengan sang ibu yang terus mendesaknya untuk menikah sejak ia masih berumur 25. Yoga sudah kebal, hanya bisa mengangguk saat berkunjung ke rumah orang tuanya yang tentu saja berujung gerutuan dari sang ibu.

Persis seperti saat ini, Yoga datang berkunjung ke rumah karena sudah sebulan lamanya pemuda itu tidak menampakkan batang hidungnya dikarenakan tumpukan pekerjaan yang tiada habisnya.

"Ibu gak mau tau ya, Yoga. Pokoknya sore ini kamu harus nemuin anak temennya ibu," omel sang ibu.

"Iya, bu. Nanti Yoga temuin" jawabnya dengan malas.

"Iya iya tapi kamu selalu kabur tiap ibu kenalin sama anaknya temen ibu!"

Seperti yang sudah-sudah, Yoga hanya diam saja saat ibunya mengoceh soal pernikahan ataupun wanita. Omelan ibunya tersebut akan masuk melalui telinga kanannya dan keluar dari telinga kirinya.

"Iya nanti Yoga temuin." Yoga hanya bisa menghela nafas, pasrah dengan semua yang telah direncanakan oleh ibunya.

Di waktu yang sama namun tempat yang berbeda, Agatha juga tengah adu mulut dengan sang ayah. Alasannya hampir sama, ayahnya ingin memperkenalkannya dengan seorang laki-laki namun Agatha tidak berkenan, ia masih belum siap untuk menghadapi penolakan (secara tidak langsung) lagi.

Terhitung sudah genap satu jam Agatha terjebak di rumah orang tuanya sebab Ayahnya tak mengijinkannya pergi sebelum ia setuju untuk bertemu dengan anak dari teman ayahnya.

“Ini yang terakhir, kak, ayah janji” bujuk sang ayah.

“Ayah selalu bilang gitu, tapi setelah itu masih aja dikenalin ke anak temennya ayah yang lain” protesnya sudah khatam dengan tabiat sang ayah.

“Ini yang terakhir, janji. Setelah itu ayah nggak akan ngatur-ngatur kakak lagi” ujar sang ayah dengan wajah memelas.

“Janji ini yang terakhir?” tanyanya seraya mengacungkan jari kelingking sebagai simbol janji ayahnya.

“Janji” jawab sang ayah dengan yakin.

Agatha menghela nafas sejenak, sepertinya memang betul ini yang terakhir, ia tak boleh mengecewakan kedua orang tuanya lagi.

“Yaudah aku pergi dulu, udah waktunya Kay pulang”

Selesai berpamitan Agatha langsung tancap gas untuk menjemput Kayla, biasanya ia menyetir sendiri, tetapi hari ini mobilnya sedang dalam proses perbaikan, jadi terpaksa ia harus memesan taksi online untuk pergi kemana-mana. Sebenarnya sang ayah beberapa kali menawarkan untuk mengantar, tapi Agatha tak ingin merepotkan ayahnya sebab jarak tempat tinggal mereka lumayan jauh.

Kira-kira satu jam harus Agatha lalui di dalam taksi online untuk sampai di tempat Kay bersekolah. Ternyata putrinya itu sudah menunggu di gerbang ditemani oleh satpam.

Sepertinya putrinya sedang merajuk karena ia telat menjemput selama 20 menit, raut wajah Kay sangat tidak bersahabat yang membuat Agatha bergidik sendiri. Semoga saja Kay tidak berulah saat bertemu dengan anak dari teman ayahnya.

Hi, dear” sapanya setengah takut.

Mom! Kenapa jemputnya lama banget, sih? Aku nunggu lama sama pak satpam!”

Oh God, Kayla benar-benar merajuk.

“Maaf sayang, tadi mama ke rumah kakek sebentar”

Kayla tidak menjawab, hanya merengut sebal dan melipat kedua tangan di depan dada.

“Kita ketemu sama teman mama sebentar ya, sayang. Janji nggak akan lama.”

“Tapi aku mau langsung pulang.”

“Sebentar saja, okay? Nanti malam mama masakin makanan kesukaan kamu, deh.” Agatha berusaha untuk membujuk Kayla dengan cara apapun.

Fine.” jawab Kayla setengah terpaksa.

Good girl. puji Agatha sembari mengecupi wajah putrinya.

Saat perjalanan Agatha terlarut dalam pikirannya selagi Kayla sibuk dengan sebuah buku cerita.

Kira-kira lelaki seperti apa yang akan ia temui?

Apakah akan berakhir seperti yang sudah-sudah?

Ataukah lelaki itu tidak masalah dengan kehadiran Kayla di tengah-tengah mereka?

Pikirannya berkecamuk, separuh hatinya tak memiliki ekspektasi apapun sementara separuh yang lain menaruh harap meski hanya sejejak.

***

Blind Date 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang