"J, kita harus bicara." Keiko berdiri di ambang pintu, menatap lurus ke arah pria bertubuh jangkung yang sore ini sedang sibuk merakit sebuah sepeda statis.
Damian mendongak. "Ian," ucapnya datar.
"Hah?"
"Panggil gue Ian. Lo nggak mungkin manggil gue 'J' di depan tetangga. Biar terbiasa, meski di dalam rumah panggil gue Ian." Ian berdiri, menepuk-nepuk tangannya yang sedikit kotor. Ia berjalan mendekati Keiko. "Mau bicara apa?" tanyanya saat tiba di hadapan sang dara.
Keiko mendengkus, menyambar hoodie yang tersampir di kursi, melemparkannya pada Ian. "Pake baju dulu," tukasnya lalu berjalan menuju sofa, menghempaskan tubuhnya di sana.
Ian menurut, mengenakan hoodie berwarna hitam itu lantas bergabung bersama Keiko di ruang tengah.
"Mau bicara apa?" tanya Ian lagi.
"Tadi gue ditanya sama tetangga depan, udah nikah berapa lama? Udah bulan madu? Gitu-gitu deh. Jadi sekarang ayo samain persepsi dulu, biar nggak terlalu mencurigakan."
Ian mengangguk. "Tadi lo jawab apa?"
"Udah nikah tiga hari yang lalu."
Ian mengangguk lagi. "Terus udah bulan madu atau belum?"
"Belum."
"Nggak diledekin lo jawab gitu?" Ian mengulum senyum.
"Diledekin lah!" Keiko melotot. "Makanya ayo samain persepsi, gue males kalau ditanya begitu lagi."
Ian memperbaiki duduknya, memulai diskusi. Sepasang pria dan wanita itu tak pernah menyangka akan ada hari di mana mereka bisa duduk berdua di dalam sebuah rumah sambil berdiskusi dengan serius. Bukan rapat di markas mereka yang nyaris selalu dihiasi seruan galak dari Keiko dan Ian yang selalu bisa menghadapi Keiko dengan tenang.
"Oke, gitu aja deh." Keiko menepuk tangannya pelan. Diskusi mereka berakhir.
"Lo mau makan nggak? Gue laper," ucap Ian sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Iya sih, gue juga laper." Keiko menyentuh perutnya yang sedikit keroncongan. "Oh, ini juga. Kita mau beli makan tiap hari?"
"Mau gimana lagi? Emang lo bisa masak?"
"Bisa sih dikit. Maksud gue, aneh nggak sih kalau suami istri tiap hari selalu beli makan di luar? Sesekali masak gitu biar kelihatan beneran."
"Oh, lo mau memerankan jadi istri yang baik nih?" goda Ian. "Gue juga bisa berperan jadi suami yang baik, totalitas pun bisa." Ia tersenyum penuh arti.
Keiko mendelik. Ia menyambar bantal sofa, menimpuk ian dengan itu. "Dasar otak mesum!"
Ian tertawa. "Loh, siapa yang mesum coba? Emang lo pikir suami yang baik tuh gimana?"
"Nggak tahu!" Keiko sudah beranjak, hendak masuk ke dalam kamar.
"Kei, katanya laper, mau ke mana?"
"Mau tidur!"
"Masih sore ini."
"Biarin!"
"Beli makan yuk?" Ian mengekor Keiko hingga ke depan pintu kamar.
"Beli sendiri sana!" cetus Keiko tajam. Lantas ia masuk kamar, membanting pintu tepat di depan hidung Ian.
Pria berhidung mancung itu mengerjap, kemudian tertawa pelan. Ia berbalik, menggeleng-gelengkan kepalanya.
Melihat tak ada lagi yang bisa ia kerjakan di dalam rumah, Ian pun memutuskan untuk lari sore di sekitar komplek. Pura-pura, sekalian memetakan area komplek perumahan itu di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mission Love-possible | ft. Bluesy
Romance"Kalian akan berpura-pura menjadi sepasang suami istri, awasi rumah itu dan laporkan padaku dua kali seminggu kecuali jika ada informasi penting," perintah Big B, direktur sebuah organisasi intelijen. Keiko Arumi, seorang agen rahasia dengan kode na...