How Do I Love Again?

210 10 0
                                    

  Levi meletakkan pulpennya dimeja, merenggangkan jemarinya sebelum meraih benda itu lagi dan kembali menulis materi pelajaran hari ini. Jika anak-anak sekelas melihatnya sebagai laki-laki yang datar dan senyap, sebenarnya banyak hal yang dipikirkan Levi.

Dua hari terakhir ibunya terlihat sedang sakit. Meskipun Kuchel Ackerman--Ibu Levi--bilang kepada putranya itu bahwa dirinya baik-baik saja, Levi tahu sang ibu sedang menyembunyikan rasa sakitnya. Wanita paruh baya itu bekerja di sebuah restoran kecil, letaknya lumayan jauh dari rumah mereka, juga SMP Shingeki tempat Levi belajar sekarang.

Levi mencintai ibunya. Lebih dari apapun. Beberapa kali ia memaksa untuk bekerja paruh waktu diantara jam sekolahnya, tapi Kuchel selalu menolak. Alasannya dia tidak ingin sekolah dan belajar Levi terganggu. Lagipula, wanita itu masih sanggup bekerja, katanya.

Aku akan mampir ke apotik dan membelikan obat untuk Ibu pulang sekolah nanti. Levi membatin sambil menopang dagu dengan tangan yang lain. Untuk kesekian kalinya, ia menoleh ke arah jendela. Diluar sedang hujan meski tidak terlalu deras. Saat itulah, tatapannya bertemu dengan mata sienna seorang gadis yang duduk di dekat jendela kelas, siapa yang tidak kenal dia? Hanji Zoe siswi paling heboh seantero SMP Shingeki. Kecerdasannya memang diakui sekolah bahkan para dewan guru sekalipun. Hanya saja, Hanji minus dalam hal menaati peraturan sekolah. Gadis sienna itu bahkan tidak pernah sekalipun memakai seragam sekolah semestinya. Di musim apapun, Hanji selalu terlihat dengan seragam olahraga, juga jas lab berwarna putih yang selalu dia banggakan. Levi bahkan sempat ragu Hanji adalah perempuan.

Hanji melempar senyum terbaiknya kepada laki-laki itu. Yang disenyumi hanya membuang nafas datar dan kembali fokus pada pelajaran.

Gadis aneh. Levi memilih mengabaikan. Ia tidak boleh lengah dari belajarnya. Bagi Levi, fokusnya hanya untuk sekolah dan ibu. Tidak ada yang lain. Kelas masih berlangsung ketika tiba-tiba seseorang membuka pintu kelas dengan terburu-buru.

"Levi Ackerman"

"Ada apa, Ghunter-sensei?" Keith Shadis, guru yang mengajar di kelas 3-1 menoleh spontan.

Pria yang masih berdiri diambang pintu kelas itu berbicara dengan nafas tersengal. "Ibunya Levi Ackerman --"

Levi berdiri seketika, menimbulkan suara derit kursi yang kasar. "Ada apa dengan Ibuku?!"

"Dia... Dia kecelakaan di perempatan lampu lalu lintas dan--" Penjelasan cepat Ghunter-sensei terpotong saat Levi buru-buru beranjak meninggalkan kelas.

Tanpa permisi, tak memedulikan wajah-wajah terkejut anak-anak sekelasnya, Levi berlari keluar dari gedung sekolah. Menerobos hujan yang tak berhenti turun sejak pagi. Ia tak peduli. Yang dia pikirkan hanya, ibunya, satu-satunya wanita yang selalu ada untuknya. Levi berdecih, mengutuk dirinya yang tidak bisa berlari lebih cepat dari ini.

Kumohon, kumohon, jangan ambil siapapun lagi dariku.

Levi bahkan tak menyadari air matanya mengalir, membentuk jalur lurus di pipi pucatnya. Meskipun tak terlihat diantara hujan yang kian mengguyur basah tubuhnya. Levi tak peduli.

Hanya ada satu perempatan lampu lalu lintas antara jalur ke rumah dan restoran kecil tempat Kuchel bekerja, juga jalur ke sekolah. Ibunya pasti ada disana.

Dari kejauhan, Levi melihat kerumunan yang sesak. Orang-orang berpayung yang terlihat mengelilingi sesuatu. Hal yang membuat dada laki-laki itu semakin terasa sempit.

Kumohon...

Levi berhenti diluar kerumunan itu, menerobos tanpa memedulikan wajah-wajah prihatin yang terarah padanya.

Jangan ambil siapapun lagi...

Levi berhenti, menatap tubuh kaku dan pucat yang terbujur didepannya. Tampak siap dibawa oleh sebuah ambulance disana. Ia berlutut, meraih pelan tangan ibunya.

Can You See Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang