Part 10: Sophie & Aaron

968 59 5
                                    

➳༻❀✿❀༺➳
୨⎯ ❝ 𝐣𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐛𝐮𝐚𝐭 ❞ ⎯୧
☆ ★ 𝐯𝐨𝐭𝐞 ໒꒱ ‧₊˚
&
✎ 𝐜𝐨𝐦𝐦𝐞𝐧𝐭 ࿐
˚₊· ͟͟͞͞➳❥ ┊͙ ˘͈ᵕ˘͈ ೄྀ࿐ ˊˎ-

Sophie

Meskipun sudah benar-benar tidak berada di rumah sakit untuk mendapat perawatan, aku dan Ibuku masih harus tetap rutin untuk memeriksa Kesehatan di rumah sakit. Dokter Ameera—dokter yang selama ini merawat Ibuku juga sangat rutin untuk menanyakan keseharian Ibuku, mulai dari apakah Ibuku tetap rutin berolahraga seperti saat ia di rumah sakit atau makanan apa saja yang dikonsumsi oleh Ibuku.

Setelah melewati beberapa pemeriksaan yang harus dilakukan, aku dan Ibuku akhirnya mendapat giliran untuk berkonsultasi dengan dokter Ameera. Wajah tegang yang ditampakkan dokter Ameera saat memeriksa semua hasil pemeriksaan Kesehatan Ibuku membuat kami berdua cukup gugup dengan maksud hasilnya.

"Semua hasil pemeriksaan Ibu Haurah ini menampakkan Leukemia yang di derita Ibu Haurah sudah terjadi penyebaran di beberapa titik di tubuh Ibu Haurah, sehingga melakukan kemoterapi seperti yang dilakukan selama ini tidak akan membawa hasil apa-apa untuk penyembuhan." Dokter Ameera mulai menjelaskan hal-hal yang aku tidak ingin dengar.

Leukemia Ibuku sudah menyebar. Hal yang sangat kami hindari sudah terjadi. Selama ini Ibuku hanya melakukan kemoterapi sebagai jalan untuk penyembuhan Leukemia-nya, hal tersebut tentu dilakukan karena saran yang diberikan oleh dokter Ameera. Namun sepertinya takdir Tuhan berjalan tidak seperti yang kami harapkan.

"Solusi lainnya... operasi, dokter?" aku menanyakannya dengan ragu. Dalam hati aku sangat berharap masih ada Solusi yang bisa dilakukan oleh Ibuku untuk sembuh.

Dokter Ameera mengangguk dengan senyum menenangkan di wajahnya. "Jalan dan Solusi satu-satunya saat ini adalah melakukan operasi, dan jika operasi berjalan lancar sehingga semua sel kanker berhasil diangkat, saya menyarankan untuk kembali menjalankan kemoterapi, itu untuk mencegah sel kanker tumbuh kembali."

Aku dan Ibuku saling bertukar pandang. Tanpa ragu aku segera menyuarakan persetujuanku untuk mengoperasi Ibuku, namun dengan cepat Ibuku memotong ucapanku dan alih-alih ikut setuju, ia justru berkata, "Bisa kami diskusikan dulu dok sebelum menjawab?" tanya Ibuku dan dijawab anggukan yakin oleh dokter Ameera.

Dengan tidak senang dan tidak setuju aku ikut keluar saat Ibuku menarik tanganku keluar dari ruangan dokter Ameera. Aku masih tidak mengerti alasan Ibuku masih ingin membicarakan hal ini denganku.

"Kenapa Ma? Aku bisa kok bayar semuanya, yang penting mama sembuh dulu. Mama operasi, rutin kemoterapi, untuk biaya-nya nggak usah mama pikirin, biar aku yang tanggung semuanya, ya?" aku berusaha membujuk Ibuku yang terlihat tidak setuju untuk melakukan operasi.

Ibuku meraih tanganku untuk ia genggam kemudian menggeleng lembut. "Bukan masalah kamu bisa bayar atau nggak, masalahnya sekarang mama yang nggak mau berusaha buat sembuh. Mama lebih memilih untuk terima takdir yang udah Tuhan beri ke mama."

Aku memijat pelan dahiku kemudian memejamkan mata—berusaha mencerna maksud dari perkataan Ibuku yang secara tidak langsung mengatakan bahwa ia menolak untuk melakukan operasi pada Leukemia-nya.

"Jadi mama lebih pilih buat ninggalin aku? Gitu?"

"Nggak, bukan. Bagaimana pun cepat atau lambat pasti mama yang tinggalin kamu atau kamu yang tinggalin mama, kamu nggak boleh berpikir kalau mama mau tinggalin kamu," ucap Ibuku dengan setetes air mata yang mulai membasahi matanya. Ibuku kemudian memegang kedua bahu aku dan mengunci aku dengan tatapan lurusnya. "Mama sekarang cuma mau habisin sisa-sisa hari mama sama kamu, bisa kan?"

"Kita lakuin setelah mama operasi yah?" aku masih teguh pada pendirian aku untuk meminta Ibuku tetap melakukan operasi.

"Sophia, buat kali ini tolong dengerin mama, selama ini mama anggap semua penyakit mama itu sebagai salah satu penggugur dosa buat mama, mama nggak apa-apa."

Aku menunduk saat merasakan mata aku mulai memanas, aku tidak ingin menangis di hadapan Ibuku. "Mama udah bosan ya sama aku?"

"Sophia, kamu alasan mama bertahan sampai sekarang, kehilangan papa dan kakak kamu bukan hal yang mudah buat mama, tapi karena kamu mama jadi berpikir untuk selalu ada buat kamu, kamu kuat sayang dan lebih kuat dari mama. Dan mama yakin kamu bakalan ketemu sama laki-laki yang bisa perlakuin kamu secara spesial, sampai dia rela lakuin apa aja buat kamu."

Mendengar penjelasan Ibuku membuat aku sadar bahwa sudah cukup waktu dia di dunia untuk menemaniku. Aku harus membuat kenangan dengannya sebelum aku benar-benar menyesalinya karena memilih untuk tidak membuat kenangan dan hanya memaksanya untuk tetap melakukan operasi.

꒦꒷꒷꒦

Aaron

Setumpuk pekerjaan harus aku tinggalkan karena permintaan Ibuku yang memintaku untuk menemaninya makan siang bersama. Ibuku bilang makan siang itu sebagai ucapan terima kasih karena sudah mau mengantarkan sahabatnya dan memberinya apartemenku secara gratis. Aku memang tahu bahwa Ibuku memiliki banyak kenalan di Indonesia, namun tidak ada satu pun diantara mereka yang berhasil membuat Ibuku rela meninggalkan Dubai, kecuali ibu Sophie, Haurah.

Setelah memesan beberapa menu makan siang fokus Ibuku kembali padaku yang sibuk mengetikkan pesan di ponsel karena aku harus tetap menyelesaikan beberapa pekerjaan aku yang bisa aku kerjakan di ponsel.

"Aaron," panggil Ibuku pelan, namun aku hanya memberi balasan gumaman kecil dengan tatapanku yang tetap terarah pada ponsel. "Kalau ngomong sama mamanya harus lihat ke mamanya lah," tegurnya.

Dengan terpaksa aku meletakkan ponsel aku di atas meja kemudian berucap, "Iya mamaku, kenapa?"

Ibuku tersenyum puas. "Menurut kamu, Sophie itu gimana?"

Aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini. Hal ini tidak terjadi sekali atau dua kali saja dalam hidupku, namun sejak aku memasuki usia yang matang untuk menikah, Ibuku sudah mulai menawariku untuk mengenal anak teman-temannya. Namun sampai saat ini, tidak ada yang membuatku tertarik.

"Nggak lagi ma, aku nggak mau."

"Kamu ini! Emang udah tahu niat mama?"

Aaron tertawa sarkas. "Emangnya ada alasan lain selain minta aku nikah sama anak teman mama itu?"

"Kalau Sophie kenalan aja dulu, masa kenalan aja kamu nggak mau?"

"Kan aku sama Sophie udah kenalan ma, mau kenalan gimana lagi?" aku balik bertanya.

"Bukan gitu, maksudnya kenal lebih dalam gitu loh, dari sekian anak teman mama, Sophie tuh yang paling beda, pokoknya mama ada firasat sama Sophie."

Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Ma, jangan gini deh, bayangin gimana tertekannya Sophie kalau disuruh gitu ke aku? Kasihan ma, jadi biarin aja kenal biasa gini." Aku sebenarnya tidak mau melibatkan Sophie di dalam skenario yang dibuat oleh Ibuku.

"Sophie mau kok, walaupun sempat ragu gitu, tapi akhirnya dia mau juga setelah dibujuk terus sama Haurah. Sophie udah mau, masa kamu nolak?"

Ternyata baik Ibuku atau tante Haurah sekalipun, mereka sudah bekerja sama. Aku dan Sophie adalah anak yang harus menuruti permintaan orang tuanya.

BETWEEN LIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang