the refusal

2.1K 295 64
                                    

I was the mystery and you were the answer tangled in my mind.

***

      Pria yang baru saja bercinta dengan seorang wanita di atas kasurnya itu menyeringai saat melihat sampul depan majalah Time di tangannya. Person of the Year: Raden Mas Airlangga Angkasa Radhyasoewarno. Angkasa tidak tahu apakah ia pantas mendapatkan gelar itu atau tidak. Kalau ada hal yang tidak pernah berubah dari dirinya sejak belasan tahun lalu, maka hal itu adalah ia tidak peduli dengan seberapa banyak pasang mata yang tertuju kepadanya. Namun, Angkasa tahu hasil kerjanya pada Indonesia Pavilion untuk World's Fair tahun ini benar-benar menjadi topik perbincangan, tidak hanya dalam dunia arsitektur di seluruh dunia, tetapi juga masyarakat luas. Belum lagi gelar kebangsawanan Angkasa yang mengejutkan dan rencana pernikahannya dengan Serena Katriane Ranakoeswara.

      Apalagi yang Angkasa inginkan sekarang? Pria itu telah memiliki segalanya. Termasuk penthouse jutaan dolarnya di kawasan Upper East Side, serta wanita yang masih berbaring telanjang di kasurnya dan kini menatapnya dengan senyuman.

      "I'm so proud of you, Sayang," ucap Serena kepada Angkasa yang berdiri di dekat sofa kamar.

      Angkasa meletakkan majalah dan cangkir tehnya di atas meja sebelum mendekat ke kasur untuk menghampiri Serena. "Now what?" bisik Angkasa.

     "Are we going to celebrate it  outside your penthouse..." Serena menyelipkan jemarinya pada rambut Angkasa setelah pria itu kembali berada di atasnya. "Are going to celebrate it here and and down there?"

     Angkasa menyipitkan matanya. "Sejak kapan cewek aku jadi cheeky?"

     "No. I'm basically not your girl, Angkasa. Aku hanya teman tidur kamu yang jatuh cinta sama kamu dan nggak pernah kamu ajak pacaran. Tapi aku cheeky? Of course, I am. Cowoknya ganteng kayak gini masa nggak aku apa-apain?"

     "Nggak kamu apa-apain?" Angkasa mengangkat sebelah alisnya lalu mengecup perut bawah Serena hingga wanita itu tertawa geli. "Memangnya kamu mau apa-apain aku?"

     Serena menggigit bibirnya lalu meraih tangan Angkasa yang besar menuju kewanitaannya. "I want to make you feel alive, Sayang."

     Feel alive? Oh, ya, kapan terakhir kali Angkasa merasa dirinya hidup? Pria itu sudah lupa.

     Pertanyaan itu menyelinap begitu saja dan Angkasa tersenyum getir. Perlahan ia menarik dirinya dari Serena lalu mencium bibir wanita itu lama. "We'll finish this later because I have already planned us a dinner," kata Angkasa.

      Kekecewaan Serena tercermin melalui wajahnya yang cemberut. "Did I do something wrong? Kamu nggak sekali dua kali tiba-tiba menghindar begini, Sa. You know you can always talk to me."

      Angkasa menggeleng. "Nggak, Ren. Nggak ada yang salah dan aku nggak pernah bermaksud apa-apa. So, are we going to have a dinner together?"

     Serena memandang pria yang tidak pernah bisa ia pahami sepenuhnya itu beberapa saat. Angkasa terlalu dingin. Terlalu sulit untuk dimengerti.

     Keheningan dipecah oleh ponsel Angkasa yang berdering. Angkasa beranjak turun dari kasur dan mengambil ponselnya. Erlan Sasongko.

     "Let me pick this up first. Kamu mandi duluan," ucap Angkasa sebelum beranjak keluar dari kamar.

     "This is Sunday, Mas Erlan." Angkasa menjawab panggilan selagi menuju ruang kerjanya.

     "Justru karena ini Minggu dan lo nggak bales chat sama email gue. Lo beneran niat nyari personal assistant nggak, sih?" tembak Erlan. "Congrats for the title, by the way. I guess you don't give a shit about it?"

     "To answer all of your questions, yes," jawab Angkasa singkat sambil membuka emailnya di laptop. "Ini gue lagi cek email lo."

     "Ada enam kandidat. Itu udah gue sortir sesuai yang gue kira lo akan suka. Semuanya lulus S1 dan bersedia kerja overtime juga. Kalau gue lihat CV-nya lumayan oke semua, sih."

     "Ini yang anak Yale nggak salah daftar?" Angkasa bergumam dan Erlan terbahak-bahak.

     "Itu kelihatan banget daftarnya cuma biar bisa deket sama lo. Gue juga ngakak."

     Angkasa berdecak. "Terus ngapain lo lolosin jadi kandidat?" 

     "Biar dia semangat kerjanya, Sa. Lagi pula CV-nya oke banget," Erlan membela diri.

     "Ya, udah. Tolong arrange interview schedule sama lo aja, ya, Mas. Bisa mulai interview besok."

     "Kenapa sama gue? Ini kan personal assistant lo, Angkasa. Kemarin-kemarin juga lo interview langsung dan nggak ada yang lolos. Bingung gue nyarinya, nanti pilihan gue malah nggak sesuai hati lo."

     "Justru untuk menghindari kandidat yang nggak gue mau, makanya interview sama lo dulu, baru ke gue."

     "Oke. Lo udah make sure ke Serena kalau personal assistant lo cewek nggak akan masalah?" 

     Angkasa melirik ke arah kamar yang tersambung dengan ruang kerjanya. Ia melihat Serena yang sedang memasang gaun Versace di tubuhnya. "She's okay."

     Erlan terdiam lama sebelum memberanikan diri untuk bertanya, "Lo yakin, Sa?"

     "Serena nggak akan masalah kalau PA gue cewek? Iya."

     "Lo yakin lo bahagia?"

     "Maksud lo?" Angkasa menautkan alisnya.

     "Gue tahu minggu lalu lo ketemu Akshaya."

     Itu lagi. Angkasa sama sekali tidak ingin membahasnya.

     "Terus apa hubungannya?" balas Angkasa.

     Erlan menarik napas panjang. Mungkin memang Angkasa telah menjadi terlalu hambar dan... dingin. "You know that she's in town, right, Sa? I just want to make sure that you are sure," ucap Erlan

     "Mas, it's over," jawab Angkasa datar. Pria itu menyambung dengan suara lebih pelan, "We are over."

     "Oke," Erlan menyerah. "Sa, gue selalu ada sama lo dari lo kecil sampai sekarang lo ajak gue kerja di architecture firm lo. Gue cuma mau lo benar-benar yakin kalau lo udah berdamai sama semuanya. "

     "I told you I did. So, there's nothing else to talk about, Mas. Gue dan Amarta—kami sudah selesai."

***        

I (Still) Tell The Stars About You | The Stellar Shelf #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang