the verity

1.7K 251 63
                                    

    "Ya, tolong itu delivery udah sampai!"

     Suara Amarta terdengar di setiap sudut apartemennya. Wanita itu meletakkan kardus besar di ujung ruangan bersama dengan tumpukan kardus besar lainnya yang berisi barang-barangnya. Setelah satu minggu mencari tempat tinggal sementara di New York, akhirnya Amarta memilih sebuah apartemen studio berukuran kecil di daerah Queens. Walaupun kondisi ekonominya sekarang sangat baik, apa lagi setelah berhasil membawa lima kliennya dari firma hukum tempat ia dulu bekerja ke firma hukum yang baru ia bersama Akshaya Kartasasmita satu tahun lalu, tetap saja ia kesulitan mengerti dan membayar harga sewa properti di New York yang mahalnya tidak masuk akal. Harga sewa di daerah Queens saja sudah senilai pendapatannya satu bulan. Jadi, Amarta membuang semua keinginannya untuk menyewa apartemen di Manhattan, terutama dengan jangka waktu tinggal yang belum ia ketahui sampai kapan.

     "Aya, boleh minta tolong ambilin, nggak? Tangan gue masih kotor banget, nih," ucap Amarta lagi.

     "Iya! Wait!" sahut Aya dari dalam kamar.

     Amarta menengok dan ia menemukan Aya yang berjalan ke pintu untuk menerima dua kotak pizza besar dengan gulungan handuk di kepala. Habis mandi, rupanya. Wanita itu kembali merapikan kardus besar di hadapannya kemudian terdiam ketika sebuah buku jurnal terjatuh dari kardus itu. Perlahan Amarta meraihnya. Ia meneguk salivanya dengan sukar. Terakhir kali ia membacanya adalah satu tahun yang lalu dan rasanya selalu sama. Setiap kali Amarta membaca jurnal Angkasa rasanya selalu sama seperti kali pertama ia membacanya.

     "Lo bawa itu sampai sini?" Suara Aya memecah lamunan Amarta.

     Amarta tersenyum dan membawa jurnal itu bersamanya ke meja makan. "Iya. Harusnya nggak usah, ya?"

     "Pertanyaan 'harusnya nggak usah, ya?' itu sudah ada dari awal lo mau nyamperin Angkasa ke New York, Ta. Jadi, itu bukan pertanyaan gue lagi," balas Aya yang sudah menerima Amarta apa adanya, termasuk keinginan konyol sahabatnya itu, yakni datang ke New York untuk mantan pacarnya yang sekarang sudah menjadi calon suami orang. 

     "Terus, apa dong?" Amarta tertawa dan mengambil duduk di depan Aya.

     Aya membuka kotak pizza lalu mengambil satu slice. "Lo mau apa lagi, sih, Ta? Maksud gue, minggu lalu gue udah nemuin Angkasa. Gue turutin kemauan lo buat nemuin dia duluan. Gue udah dapat jawaban yang selama setahun terakhir lo tunggu-tunggu, yaitu Angkasa sudah selesai sama lo, Ta. Mau gimana lagi?"

      Amarta mengunyah pizza dengan lambat. "Tapi nggak mungkin, Ya..."

     "Ta, gue pikir masa denial lo sudah selesai?" Aya menautkan kedua alisnya.

     "Lo yakin dia cuma ngomong itu doang?"

     "Pertanyaan setiap hari sejak minggu lalu masih sama dan jawaban gue pun masih sama, Ta. Iya, dia cuma bilang itu," Aya mengalihkan pandangannya ke arah jendela. 

     "Kalau gue ketemu sama dia, gue yakin dia berubah pikiran, Ya."

      Aya tertawa pahit dan meneguk Pepsi dinginnya. "Lo nggak masuk akal."

     "Apa, sih, yang masuk akal di dunia ini, Ya? Bokap gue ninggalin gue sama nyokap gue dengan alasan nggak siap punya kita berdua aja menurut gue udah nggak masuk akal."

     "Tuh, lo senjatanya pake lagu sedih, sih. Mana berani gue balesnya?" ucap Aya malas dan Amarta tertawa.

      "Maksudnya, ya sudahlah. Gue cuma pengin pembuktian untuk diri gue sendiri aja, Ya."

      Aya berdecak. "Pembuktian dari gue kurang? Udahlah, Ta. Gue nggak akan bosen untuk kasih lo saran kalau lebih baik kita pulang aja. Maaf kali ini gue nggak bisa lagi validasi perasaan lo, tapi Angkasa benar-benar sudah selesai sama lo." 

     "Selesai sama gue itu gimana, sih, Ya?" Amarta mulai frustrasi. "Kalau putus, ya, memang kita putus. Masalah gue adalah apakah perasaan dia benar-benar sudah selesai? Gue cuma mau pembuktian itu dengan mata kepala gue sendiri. Tapi sejak lo ketemu sama Angkasa minggu lalu, kenapa lo jadi nggak dukung gue gini?"

     "Ta, gue kurang dukung apa lagi? Lo tiba-tiba ngajak ke New York setelah berita Angkasa dan Serena mau nikah dan di tengah-tengah gue harus ngurusin arbitrase gede, gue turutin. Lo minta gue nemuin Angkasa duluan, gue iyain. Lo perlu gue ingetin kalau gue nggak pernah tahu apa alasan lo insist banget pengin ke sini? Gue nggak tahu, Ta. Gue maunya lo senang doang."

      Amarta terpejam dan memijat dahinya pelan. Pikiran Amarta tertarik paksa ke suatu malam di tahun lalu, tepat di hari lahirnya Kartasasmita & Arundaya, firma hukum milik Amarta dan Aya. 

     "Tahun lalu, waktu kita buka K&A, habis kita dinner di Raffles, gue balik ke kantor buat ngambil laptop..." Amarta kembali menatap Aya. "I found a bouquet of peonies in front of my door. Ada kartunya, Ya. Walaupun nggak ada nama pengirimnya, tapi gue nggak pernah lupa tulisan tangannya Angkasa Radhyasoewarno."

     Kini Aya menghela napasnya panjang. Ternyata semuanya lebih rumit dari yang ia kira.

     "I just wanted to know, Ya. I have to know. Gue perlu tahu siapa yang ngirim buket peony itu. Gue harus yakin kalau bukan Angkasa yang nulis kartu itu. Satu-satunya cara adalah kalau gue ketemu dia langsung."

     "Tapi bisa kan nggak usah sampai New York?" 

     "Gue udah coba reach out dia. Nggak ada jawaban." Amarta memalingkan pandangannya. "But I have to know... I need to know."

     "Oke, kalau gitu. Gue tanya sekarang, habis lo tahu jawabannya, lalu apa, Ta? Bagus kalau bukan dari Angkasa. Kalau ternyata iya? Lo mau apa? Lo berharap akan terjadi apa? Lo mau minta balikan?"

     Amarta terdiam. 

     "Wah, gila lo," ucap Aya yang sekarang tubuhnya tersandar lemas di kursi. "Ini lo kayak balik ke siklus awal, tahu, nggak? Lo yang penasaran dan kecintaan sama Angkasa, terus ujung-ujungnya apa, Ta? Nggak ada."

     "Gue hanya perlu tahu, Ya. Kalau Angkasa kirim bunga itu, artinya dia dan perasaannya belum benar-benar selesai sama gue. Justru harusnya dia berterima kasih nantinya sama gue karena gue menyelamatkan dia dari pernikahan yang sebenarnya nggak dia inginkan--"

      "Ta, Angkasa benci sama lo," potong Aya hingga Amarta terdiam. Aya mengusap wajahnya frustrasi, sementara Amarta masih terpaku.

      "It's been ten years, Ta. He's changed, oh, Lord knows how much he's changed. Gue nggak mau bilang ini ke lo karena gue jaga hati lo dan gua kira dengan gua bilang Angkasa sudah selesai sama lo, lo akan merasa cukup."

     "Can we just get to the point?

      Cukup lama Aya menatap Amarta. Keraguan terpancar dari kedua matanya. Sekali lagi Aya menghela napas sebelum berkata, "Angkasa bilang hal terbaik yang pernah terjadi buat dia bukan ketika lo datang ke hidupnya, tapi ketika akhirnya dia berhasil lupain setiap kenangan tentang lo setelah lo pergi dari hidup dia."

      Amarta masih pada tempatnya. Hatinya menolak semua ucapan Aya dan kepalanya menyimpan banyak tanda tanya. Pertanyaan Amarta yang paling besar adalah apa yang membuat Angkasa begitu tersakiti hatinya? Bukankah orang yang paling sakit hati dalam hubungan mereka seharusnya adalah Amarta?

     "Then he needs to say it to my face himself, Ya."

***




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I (Still) Tell The Stars About You | The Stellar Shelf #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang