17.1 Om Hans

21 2 0
                                        

Pagi itu Lily sudah siap untuk pergi sekolah. Terakhir, ia gunakan sepatu dan memasang tali pita. Sebelum berangkat sekolah, Lily mengunci jendela dan pintu kos.

Kegiatan mengunci pintu luar terhenti ketika ponselnya berdering yang artinya terdapat notif masuk. Tanpa berpikir panjang, Lily menyalakan layarnya melihat notif yang membuat ponselnya berdering.

Lily sudah menyetel deringan ponsel apabila notif tersebut penting untuknya.

"Omaga!" Lily menjerit kaget, "Serius ini?!"

Satu robotnya dibeli oleh seorang pengusaha robotik. Lily dapat menduga dia pengusaha karena dilihat dari foto profilnya yang dicentang biru ditambah biodata akunnya yang lengkap.

Lily melompat-lompat kecil, kesenangan. Melupakan mengunci pintu, Lily masuk lagi. Berjoget-joget ria.

***

Minggu itu Lily menuju kafe terdekat. Di meja dekat jendela, seorang pria ber-jas kantoran sedang duduk di sana. Tengah menikmati segelas kopi mokacino. Lily dengan cepat mengenali siapa pria itu, meski belum pernah berjumpa, tetapi ia sungguhan ingat wajah yang terpampang di foto profil akun pria itu yang menjadi pelanggan keduanya.

“Om Hans?”

Pria itu menoleh, seorang gadis berkacamata dengan tampilan sederhana. “Ya?” ia balik bertanya.

“Saya Lily Jenika Putri, Om.”

Hans yang memang mengenal nama itu lantas tersenyum lebar. “Oalah, kamu! Hayu duduk, Lily!”

Lily duduk berhadapan dengan pria itu, ia tersenyum simpul. “Maaf buat Om menunggu.”

“Tidak apa-apa,” Hans tersenyum, ujung bibirnya nampak keriput. “Karena karyamu yang membuat saya berani menunggu.”

Lily tertegun mendengarnya. Baru kali ini, karyanya seolah dianggap berharga.

“Berapa umur kamu?”

“Beberapa minggu lagi akan tujuh belas tahun,” jawab Lily ramah.

“Waw?” Hans memasang wajah kaget, “Saya kira kamu sudah genap dua puluh tahun. Saya jadi merasa tua sekali di sini.”

Lily terkekeh. “Saya terlihat tua ya, Om?”

“Nggak.” Hans menggeleng serius, “Bakat kamu yang membuat saya mengira. Gak banyak anak remaja yang bisa merangkai. Apalagi perempuan. Makanya saya agak kaget. Tapi jujur, menurut saya kamu orang yang sangat kreatif, desain robotmu sangat memikat saya.”

Lily merasa tersanjung. Mata di balik kacamata itu nampak berbinar.

“Maksud saya memintamu kemari,” sahut Hans, tangannya membuka dokumen yang berada tepat di samping meja. Membuka dokumen itu dan menyodorkannya kepada Lily.

Lily mengerjapkan matanya. Ia melihat selembar kertas yang disimpan dalam dokumen itu. Ia baca isinya dengan cepat. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Tidak menyangka, ia tatap pria itu yang sedang tersenyum kepadanya. “Om ... i-ingin ...,” Lily seolah tidak mampu untuk sekadar melanjutkan kata-katanya.

“Saya bisa membantu karyamu dikenal dunia. Kamu bisa terus berkarya dan men-desain robot, saya yang akan memfasilitasi. Butuh tempat? Tenaga kerja? Saya akan membantumu. Maka, saya sangat berbahagia sekali kamu menandatangani surat persetujuan kerja sama ini.”

Pena bertinta hitam itu disodorkan oleh Hans. Lily menatap kertas itu dan pena bergantian.

Ia memejamkan matanya.

Usahanya untuk maju kini membuahkan hasil.

Ia tak menyangka. Mimpi yang berusaha ia kubur dalam, kini melambung tinggi.

Pikirannya lantas berlabuh pada kejadian malam itu. Saat seorang lelaki yang ia anggap iblis datang dengan kalimat meyakinkan kalau dirinya mampu untuk mengejar mimpi.

“Mengembangkan Zukee, gak ada salahnya. Tapi lo mesti berusaha dari sekarang, semisal rela jualan agar orang-orang tahu kalau lo punya sebuah mimpi yang bisa mengubah masa depan. Keren, kan?"

"Kalau diimpikan memang keren. Justru itu kemauan gua, membuat robot bergerak seperti manusia."

Entah kenapa Ryan jadi gemas sendiri, ia menjitak kening Lily cukup keras sampai orangnya meringis. "Terus kenapa gak berusaha dari sekarang? Mimpi itu harus jadi nyata, bodo amat kalau banyak halangan. Lo berharap tinggi kek gitu tapi langsung menyerah. Gak nyangka cewek sok pinter macam lo punya tekad lemah."

Lily tersenyum mengingatnya.

Ryan, tanpa ucapan menusuk lo waktu itu, gue gak yakin bakal ada di sini.

Setelah mengucapkan kalimat itu dalam hatinya, mata Lily membuka. Ia mengangguk yakin. Dengan mantap, ia menandatangani surat di atas materai itu.

***

Lily Kacamata - [ COMPLETED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang