Tidak ada tempat pulang

53 42 8
                                    

Bismillahirrahmanirrahim....




"Kedua orang tua adalah rumah tempat pulang anak-anaknya. Bagaimana dengan anak yang orang tuanya hancur berpisah? Maka di akan terlantar, tersesat, tak memiliki rumah untuk berkeluh-kesah dan tak memiliki tujuan hidup seperti ku!"

Malam ini hujan turun begitu deras seolah Langit ikut bersedih atas apa yang menimpaku. Setelah ayah pergi meninggalkan ku, aku tidak pergi dari ruang tamu sama sekali, aku tetap seperti posisi semula tak ayal aku hanya meremas kuat kursi yang ku duduki untuk menyalurkan rasa sedihku.

Untuk sekarang aku benar-benar membutuhkan orang yang bisa menyayangi ku secara tulus. Bukan ibu ataupun ayah, aku benar-benar membutuhkan orang yang menyayangi diriku yang asli, bukan sebagai Alula melainkan sebagai Alika nama asliku yang dulu.

"Ibu dan ayah jahat, kalian tidak pernah menyayangi ku secara tulus!" Ucapku dengan suara yang tercekat di tenggorokan.

Rasanya hanya untuk bernafas aku benar-benar tidak kuat, seluruh badan dan hatiku terasa sakit seiringan dengan cairan yang terus keluar dari mataku. Jika begini, bukankah sudah tidak ada alasan lagi untuk bertahan hidup.

"AKU INGIN MATI! AKU INGIN MATI!" Teriakku menggema di dalam ruangan.

Aku memukul-mukul dadaku yang terasa sesak, rasanya seperti di himpit batu yang amat besar. Tatapanku tak sengaja melihat ke arah foto yang terdapat ibu yang tersenyum cerah dengan 2 anak perempuan  yang berada di gendongannya, terlihat begitu sangat bahagia.

Aku menyobek foto tersebut lalu berlari keluar rumah dan membelah hujan, aku berlari tanpa arah sampai langkahku berhenti di sebuah jembatan besar yang menghubungkan dua jalan dan di bawahnya terdapat aliran sungai yang mengalir begitu deras.

Sebuah ide gila seketika muncul dibenak ku, aku menghampiri sisi jembatan lalu melihat kebawah sungai, begitu mengerikan dengan suara gemuruh petir yang terus bersahutan, seperti adegan mencekam di dalam film horor.

"KENYATAAN APA LAGI INI TUHAAAAN!!" aku berteriak kencang dari atas jembatan, suaraku bersahutan dengan derasnya air sungai di bawah.

Setelah lama bergeming memikirkan kemungkinan kedepannya, aku mulai mengambil keputusan yang menurut ku benar. Aku memegang pagar jembatan, aku naik perlahan lalu melepaskan pegangan tanganku dan membiarkan diriku jatuh kebawah.

Bukannya jatuh tercebur ke sungai, aku malah tergantung dengan leherku yang terasa tercekik oleh Hoodie ku, apa tudung Hoodieku nyangkut di pagar besi jembatan? Ini sangat tidak lucu.

Sampai pada akhirnya tubuhku terasa di tarik ke atas oleh seseorang, leherku semakin sakit karena Hoodie yang semakin kuat di tarik keatas.
Aku sudah kembali naik ke atas pagar jembatan, sebuah tangan melingkar di perutku dan menurunkan ku ke bawah.

Aku terbatuk-batuk karena cekikikan tadi, aku melihat laki-laki yang terduduk menyandar pada pembatas pagar, nafasnya terengah-engah, rambut dan pakaiannya basah kuyup seperti ku.

"AAARRGHH! KENAPA KAU MENYELAMATKAN KU? SEHARUSNYA BIARKAN SAJA AKU MATI!"

Aku berteriak marah seraya memukul-mukul tanganku ke pagar besi jembatan, sehingga sebuah cairan merah keluar dari tanganku. Tiba-tiba laki-laki tersebut mencekal tanganku, dia menatap mataku dalam. Tersirat di dalam matanya jika dia sedang marah atas tindakan ku. Aku tenggelam dalam tatapan matanya yang begitu indah, tanpa sadar pandanganku menggelap lalu aku tidak mengingat apa-apa.

.....

Aku membuka mataku perlahan, semua terlihat samar-samar dan serba berwarna putih. Apakah aku sudah mati? Kalaupun aku mati seharusnya warna yang kulihat saat membuka mata adalah warna merah, aku pasti masuk neraka dengan membuat murka Tuhan karena bunuh diri. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk memperjelas penglihatanku, bau antiseptik menyeruak ke Indra penciuman ku, setelah aku benar-benar membuka mata ternyata aku masih hidup di dunia dan sekarang sedang berada di rumah sakit.

 SUNYI (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang