🐡VITO Bab 23 : Kehangatan Pelukan Sang Ibu🐡

60 7 0
                                    

⚠️WARNING! INI HANYA CERITA FIKTIF BELAKA. KALAU ADA KESAMAAN DALAM NAMA DAN TEMPAT KEJADIAN, MOHON DIMAAFKAN. SAYA SAMPAIKAN SEKALI LAGI, CERITA INI HANYA FIKTIF!⚠️

Guys, votenya dong! Jgn jadi silent readers anjay.

Kalo ada yg blm vote, vote dulu yaa sayang💕 🔪
___

Menyesal. Kata itu tertanam di otak Zale sekarang. Tatapan datarnya tidak sedikitpun tertarik dengan pemandangan hangat kedua manusia remeh di hadapannya ini. Mereka dinilai berlebihan, padahal sering bertemu sebelumnya.

Seharusnya tadi dia pergi ke tempat lain selain dermaga, di sini rasanya sangat sesak, mungkin?

Jemma memeluk tubuh Pamela sangat erat, tangisnya sampai sulit dibendung lagi tatkala Pamela menjelaskan kejadiannya. Mungkin sekarang belum ada bukti kata Pamela, namun dirinya berusaha akan mencarinya supaya Pamela dan Jemma benar-benar mempunyai hubungan biologis seperti ibu dan anak sesuai perkataan Myra tempo hari.

Jemma menambahkan kalau dirinya sempat mengajukan tes DNA untuk memastikan jika dirinya memang betul anak Pamela atau bukan. Pamela mendengarnya mengangguk mengerti dan memperbolehkan Jemma melakukan apa saja yang dirinya mau demi mengungkap jati diri.

'Begini kah rasanya dimengerti oleh seorang ibu? Sedari kapan aku mengharapkan ini, kenapa sangat hangat?' batin Jemma penuh haru.

Tepukan di bahu Zale membuatnya menoleh ke belakang, Kim memberi kode untuk mengikutinya ke halaman rumah Jemma. Di sana juga ada Tom yang baru mengusap bekas air mata di pipi.

"Wah, aku baru tahu kau bisa menangis Tuan," gurau Kim terkekeh kecil.

"Pemandangan tadi adalah momen jarang yang saya temui, apa lagi Nyonya Pamela, beliau selalu berada di dalam kesengsaraan," sahut Tom pelan.

"Apa semua orang akan seperti itu jika bertemu keluarganya?" sela Zale bertanya, membuat kedua orang itu melihat dirinya.

Tom mengedikan bahu. "Saya rasa tidak semuanya begitu, banyak keluarga tak harmonis di luar sana dan contohnya adalah keluarga Nyonya Pamela sendiri."

Kim menggiring Zale 'tuk duduk di sampingnya dan menimpali, "Jika kau tidak memiliki keluarga bahagia, maka kau harus menciptakannya sendiri. Kebahagiaan itu nyatanya dicari dan bukan ditunggu, bersama orang yang tepat pula, tentu membuat semuanya berjalan lancar kalau mau saling bahu-membahu."

Kalimat yang dilontarkan Kim membuatnya tertegun beberapa detik. Ia menengadahkan kepala melihat hamparan langit luas, seperti kebalikan dari lautan tempatnya sering berenang dan hampir saja menghabiskan sisa hidupnya di sana.

Jika dirinya bisa jadi seekor ikan, apa perumpamaan dirinya jadi seekor burung juga bisa? Bebas terbang sampai mengarungi langit khatulistiwa contohnya.

Namun, apa bisa dirinya memiliki keluarga di tengah keinginannya yang mau hidup bebas?

🐬

Dia bersimpuh selama dua jam lamanya di depan pintu ruangan kerja sang suami. Mirisnya Zacharias belum juga muncul dari sana, keluar sekedar memeriksa kondisinya saja tidak, apa lagi panggilan diabaikan dan pintunya terkunci.

Myra tersenyum getir meratapi nasib, seharusnya dia tak pantas diperlakukan tak adil begini. Di tambah dirinya dilarang keras menemui Jay. Dia sungguh takut jika kebusukannya ketahuan. Sampai kepalanya terangkat memandang tajam pintu itu.

Garrick Jayde San Delmare, alias Jay. Anaknya itu pasti mengadu yang tidak-tidak kepada Zacharias, sehingga suami tercintanya mengabaikan dirinya seperti ini. Tampaknya Jay didikannya lagi, sudah cukup Jay berleha-leha menikmati ketentraman.

Dengan gaya tenangnya Myra berjalan dan ke kamar Jay. Dua penjaga masih tidak membiarkan dirinya masuk menemui sang anak. Membuat kesabaran Myra terkikis.

"Jay, ini Ibu, Nak! Tolong buka pintunya!" teriak Myra bak orang sinting.

"Nyonya dimohon untuk tidak membuat keributan, Tuan muda sedang istirahat!" tegas salah satu penjaga.

Myra tetap tak tinggal diam, dia terus berontak sambil memanggil lantang nama Jay berkali-kali. Walau tangan serta badan sakit sekalipun akibat memberontak, Myra tidak mempedulikan larangan para penjaga.

Karena suara bising terus terdengar dan mengundang perhatian Zacharias, mau tak mau Zacharias memeriksanya. Dengan langkah tegas berwibawa dirinya menghampiri presensi sang istri, berteriak bak orang gila.

"Kurung dia, jangan biarkan siapapun membiarkannya kabur selagi aku menyelidiki lebih lanjut!" titah Zacharias tiba-tiba.

Tubuh Myra berputar memandang nanar sosok suaminya, kepalanya menggeleng lemah. "Zac, dengarkan penjelasanku dulu, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku benar-benar difitnah!" mohonnya.

Dengan dingin Zacharias berucap, "Kalau kau memang tak mau jujur, setidaknya aku masih bisa menunjukkan neraka dunia padamu."

"Tidak Zac, tolong lepaskan aku! Jauhkan tangan lancang kalian, sialan! Aku ini istri Tuan kalian!" amuk Myra dan diabaikan Zacharias, sebab dia telah masuk ke kamar sang anak.

"Sial! Bebal sekali orang ini!" rutuk salah satu penjaga dan Myra makin menjadi mendengarnya.

Suara Myra kian mengecil. Kini Zacharias menatap anak bungsunya yang tengah melihat ke arah luar jendela.

"Burung terbang bebas di langit yang terbentang luas, apakah Kakakku juga merasakan itu Ayah?" lirih Jay bertanya tanpa menoleh.

Tangan Zacharias menggiring kursi roda Jay menuju ke balkon kamar. Pemandangan asri di bawah sana cukup menyegarkan dengan pepohonan rindang. "Ayah harap begitu, kita harus menjemput Kakakmu secepatnya, Nak."

Mata Jay bergetar, lantas kepalanya otomatis menoleh. Lalu mendesak, "Ayah tidak bohong?"

"Ayah berkata demikian karena telah menemukan Jemma, mungkin ada hal yang seharusnya kau tahu. Tapi untuk sekarang jangan terlalu pikirkan, biarkan Ayah mengambil alih, kau cukup dengan tenang menantinya," tutur Zacharias lembut.

🐬

Vincent bertamu sambil membawa buah tangan, dirinya selalu mencuri pandang pada Jemma di saat gadis pujaannya tidak mau melirik dirinya sebentar saja, justru perhatian penuhnya jatuh kepada wanita setengah baya di samping Jemma, yang Vincent tahu dia adalah bibi Jemma sendiri.

Ketimbang didiamkan begini, Vincent pun mencari celah. Dia kembali ke teras menghampiri Zale berada.

Zale menatap lurus ke arah pantai. Mata biru terangnya terkena cahaya matahari menambah kesan keindahan di sana. Vincent berdeham pelan, hingga Zale menoleh sebentar dan mengacuhkannya.

"Mau jalan-jalan menyusuri pantai? Di sini ada tebing indah di ujung sana, pemandangan lautan terlihat jelas ketika kau menjumpainya sendiri," tunjuk Vincent ke arah kiri.

"Aku dan Jemma sudah menyusuri tempat ini, jadi lau tak perlu khawatir," balas Zale cepat.

"Sayang sekali, akhir-akhir ini sedang banyak cangkang kerang indah tak berpenghuni, kau bisa membuat suatu hiasan dengan itu. Kau tahu sendiri Jemma pantas mendapatkan hal yang indah," decak Vincent terdengar kecewa.

Zale terdiam beberapa saat. Cangkang kerang dibuat hiasan?

Jika di lihat dari hiasan rumah Jemma memang ada cangkang kerang dijadikan tirai dan lainnya. Membuat Zale dilema sekarang.

"Kapan mau ke sana?" Sebuah binar kesempatan menerangi hidupnya, Vincent mengulum senyumannya.

Vincent menjawab, "Nanti malam. Kalau sekarang aku masih ada kerjaan setelah ini, apa lagi Jemma juga tampak membutuhkan dirimu saat ini."

Akhirnya Zale pun setuju. Belum tahu saja jika dirinya telah di incar sejak akhir pekan kemarin sampai sekarang. Malam ini bertepatan dengan bulan purnama, di mana waktunya tak banyak guna membawa Zale ke tebing pinggir pantai.

Di dalam hatinya tengah bersorak ria karena Zale mudah sekali baginya, mau bagaimana lagi tampang sangarnya berbeda pada sifat yang bodoh. Asal dirinya bersikap layaknya orang baik, maka Zale mudah percaya.

Sekali lagi Vincent memberikan acungan jempol pada diri sendiri.

To be continued ....

Voices In The Ocean : Cursed Man, Zale Merville [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang