Chapter 1

1.2K 41 1
                                    

Her name is Lolita. Loli Odetta Sarah S.

Gadis cantik blasteran Indonesia-Belanda yang menetap di Ibu Kota Amsterdam. Lolita mengambil program studi S1 Sastra Inggris di Leiden University dengan beasiswa yang ia dapatkan. Ceria, muda, dan penuh semangat, menggambarkan karakter fisiknya. Tidak hanya cerdas. Gadis dengan tinggi di bawah rata-rata ini memiliki tubuh bak jam pasir.

In Indonesia we call it 'montok'.

Boru Simorangkir satu ini menetap di student housing yang terletak hanya beberapa ratus meter jauh dari kampusnya. Sudah tiga tahun berjalan. Lolita hanya perlu bersabar satu tahun lagi untuk dapat meraih gelar bachelor of Literature-nya.

Meski memiliki bodi bak jam pasir. Namun, tidak dengan wajahnya yang seperti bayi. Lolita memiliki wajah babyface dengan pipi yang sangat chubby. Hidungnya mungil cenderung bangir. Giginya putih alami dengan barisan yang sangat rapi. She is perfect. Di mata teman-temannya Lolita memiliki perpaduan tubuh dan wajah yang sangat sempurna.

Ibunya merupakan seorang Dosen Fisip di salah satu perguruan tinggi negeri termashyur di Indonesia. Sedang Papanya, Maxime Eter, merupakan salah seorang Dosen pengganti di Leiden. Tempat ia kuliah. Papa dan Mamanya bertemu ketika Ibunya sedang melanjutkan studi S2-nya di Belanda. Dan menurut Lolita, Mama-Papanya memiliki kisah cinta yang sangat indah.

Lolita terbang ke Belanda di usia sembilan belas tahun. Kini usianya sudah dua puluh dua tahun mengingat ia sudah berada di kampung sang Papa selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Mengawali pagi, seperti biasa Lolita akan melakukan panggilan video. Terpampang wajah cantik wanita paruh baya yang masih tampak segar meski dengan keriput di area pipi dan matanya.

"Kamu sudah makan?" Lolita mengangguk pelan mengiyakan pertanyaan Mamanya.

"Udah, Mam."

"Kamu apa kabar? Kenapa wajahmu pucat sekali." Heran Sarah mengernyit heran.

"I'm fine. Cuma ngantuk aja."

"Kan. Sudah Mama bilang tidur itu yang cukup. Manajemen waktumu buruk. Gimana mau cepat-cepat lulus kalau kamu malas-malasan begini?" Tanya Sarah tak suka.

"Aku nggak malas, Ma. Cuma kurang tidur aja." Ujar Lolita menahan cemberut.

"Tidur yang bagaimana? Mama malas kalau lihat kamu seperti nggak ada semangatnya kuliah di sana. Berbeda dengan Mama dulu."

Lolita menghela napas pelan mengalihkan matanya ke sekeliling ruangan. Sekilas ia bisa mendengar suara desisan keluar dari bibir Mamanya. Ia yakin bukan hanya hatinya saja yang mendumel. Mamanya juga pasti jengkel memiliki anak yang pasif seperti dia. Lolita memang pintar. Tapi tidak sepintar Mamanya yang merupakan peraih beasiswa LPDP.

"Loli, bukan hanya kamu yang ngantuk. Bukan hanya kamu yang kurang tidur. Bukan hanya kamu yang butuh istirahat. Dan bukan hanya kamu yang sekarang sedang belajar."

"Orang-orang di luar sana juga sama seperti kamu. Tidak ada lagi yang leha-leha. Mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing. Sibuk melanjutkan S2. Menyelesaikan gelar Doktor. Mempersiapkan diri menjadi seorang Diplomat muda. Membangun bisnis. Dan,"

"I know, Mam. And I'm already know. Tapi bukan jawaban seperti itu yang aku inginkan. Aku cape, Ma. Aku jenuh. Mama ngerti perasaan aku nggak sih?" Keluh Lolita kesal merasakan sesak di dada. Tidak mampu menjadi orang-orang yang Ibunya sebutkan.

"Aku kangen, Mama. Aku mau pulang. Aku capek, Ma. Aku nggak mau di sini!" Ucap Lolita tersulut emosi. Air matanya mengalir deras. Takut dan kalut menjadi satu.

"Loli." Cicit Sarah hampir menangis. Wanita itu tatap miris sang anak. "Kamu tahu perjuangan Mama 'kan, Nak?" Tanya Sarah tersenyum kecut. Meski terkenal sebagai wanita berdarah Batak yang galak. Namun, dengan sang anak ia mana bisa begitu.

"Tapi aku jenuh, Ma." Detik selanjutnya kepala Lolita merunduk dalam. "Aku capek belajar. Aku nggak pintar. I'm not Sarah Simorangkir anymore. I'm not you." Isak tangis Lolita terdengar semakin kencang dengan getaran memilukan di punggungnya.

"So? Have I ever forced you to be like me? Apa Mama pernah memaksa kamu untuk lulus dengan gelar Cumlaude? Apa Mama pernah memaksa kamu untuk ikut kelas akselerasi? I have never, Loli. Mama selalu bertanya kepadamu apa yang kamu inginkan. Mama selalu menuruti maumu karena Mama percaya bahwa kamu mampu. Dan sekarang kamu menyudutkan Mama seolah-olah Mama tidak pernah memberikan kamu waktu untuk istirahat. Jadi sebenarnya apa yang kamu inginkan, Lolita?" Tekan Sarah tajam.

"Memasak."

"No."

Lolita merunduk semakin dalam. Ia merasa konyol. Semua yang dikatakan Mamanya adalah benar. Sudah setengah jalan-ia justru mau menyerah. Jika Lolita berada di posisi Ibunya mungkin ia tidak akan bisa sesabar Sarah. Mamanya selalu menurutinya. Meski tegas dan otoriter tapi Mamanya selalu memastikan bahwa ia menyukai pilihannya. Tidak terpaksa. Dan ikhlas menjalaninya.

Kecuali yang satu itu. Memasak. Menurut Mamanya memasak hanya cocok dijadikan sebuah hobi dan bukan profesi. Lagi-lagi Lolita menghela napas. Sebenarnya ialah yang sekarang sedang berperang dengan rasa ketidakpercayaan dirinya sendiri. Insecurity. Lolita hanya sedang merasa tidak mampu. Ia lelah karena tidak ingin mencoba. Dan ia marah karena malu terhadap dirinya sendiri yang banyak mengeluh dan tidak mau berusaha. Ingin hasilnya saja.

"I'm sorry, Mama. Aku terlalu banyak mengecewakan Mama."

"Nak, percaya sama Mama. Tiga tahun bukan waktu yang singkat-dan kamu berhasil melewatinya. IPK tiap semestermu juga bagus. Mama yakin kamu bisa lulus dengan nilai terbaik versi dirimu." Lembut Sarah.

"Boru, anak Mama paling cantik. Selama ini kamu kuat karena dirimu sendiri. Bukan karena Mama atau orang lain. Jangan jadikan Mama sebagai patokan kesuksesanmu. Mama tidak akan menuntut lebih darimu." Sarah menatap penuh cinta ke arah sang anak.

Lolita tidak dapat mengucap kata apa pun selain, "I love you, Mama."

"I love you too, Boru Hasianku..."

Dear, Mr. FNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang