Prolog

477 44 19
                                    

Jakarta, 7 tahun yang lalu.

Tangisan adiknya adalah salah satu hal yang Nizar benci selain pelajaran Matematika. Nizar paling malas mendengar suara Ila--adiknya--ketika sedang menangis.

Tetapi hari ini, tangisan Ila justru tidak membuat Nizar kesal. Dibalik pintu kamarnya, Nizar bisa mendengar suara yang lebih mengesalkan daripada suara tangisan Ila. Hampir satu jam Nizar berada di sana, mendengarkan kedua orang tuanya memutuskan siapa yang akan mereka bawa diantara Nizar dan Ila.

"Ya udah, terserah! Kamu selalu seperti itu, Mas. Kerjaan kamu selalu nomor satu. Dan sekarang kamu lebih memilih pekerjaan daripada aku."

"Bukannya itu kemauan kamu? Kamu sengaja cari-cari kesalahan ku supaya kamu bisa terbebas dari hubungan ini, kan? Aku tau semuanya. Termasuk hubungan kamu dengan lelaki itu sejak satu tahun yang lalu."

"Jangan asal bicara kamu, Mas! Kenapa kamu malah merembet ke yang lain?!"

"Ya memang itu kenyataanya, kan?"

Kedua tangan Nizar saling mengepal kuat. Anak berusia 10 tahun itu sudah muak mendengar teriakan yang berasal dari kedua orang tuanya. Nizar rindu keluarganya yang dulu. Tidak ada pertengkaran, tidak ada teriakan, dan tidak ada kemarahan. Semua yang terjadi sekarang benar-benar berbanding terbalik.

Usia Nizar sudah terbilang cukup mengerti tentang apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Anak itu sering melihat kedua orang tuanya saling menyalahkan dan mengeluarkan kemarahan masing-masing.

"Kakak .... "

Ujung baju Nizar ditarik oleh Ila. Adiknya itu berada dikamar Nizar semenjak mendengar kedua orang tuanya kembali bertengkar. Dengan malas, Nizar langsung berjalan ke dekat tempat tidur, diikuti Ila dibelakangnya.

"Apa?" tanya Nizar dengan ketus.

"Ila takut," cicit Ila.

Ini yang paling Nizar benci dari Ila. Adiknya itu lemah, penakut, dan cengeng. Nizar paling benci anak kecil seperti Ila.

"Ya, terus?" Tepat ketika Nizar menyelesaikan kalimatnya, pintu kamarnya di buka dari luar, menampilkan sosok Mama dengan riasan wajah yang sudah luntur akibat air mata.

"Ila, kamu ikut sama Mama. Kita pergi dari sini," ucap Mama, lalu menarik tangan Ila untuk ikut bersamanya.

Tetapi, Ila langsung melepaskan cekalan tangan Mama, lalu bersembunyi ke belakang tubuh Nizar. "Enggak mau! Ila mau sama Kakak!"

"Kamu jangan bikin Mama tambah marah, Ila!"

"Ila mau sama Kakak! Mau sama Kakak! Mau sama Kakak!"

Nizar langsung menarik Ila dari belakang tubuhnya. Anak itu menatap Ila datar. "Aku gak mau! Pergi sana!" ucap Nizar kesal, ia mendorong Ila menjauh darinya.

Ila menggelengkan kepalanya, sembari menahan tangis, ia kembali berujar, "Enggak! Ila nggak mau pergi! Ila mau sama Kakak!"

Saat itu, Mama langsung menarik paksa tangan Ila keluar dari kamar. Nizar bisa melihat dengan jelas bagaimana mata Ila seolah mengatakan untuk menahannya. Tapi Nizar tak peduli. Nizar tak suka punya adik. Bahkan selama 8 tahun, Nizar tak pernah menganggap Ila sebagai adiknya.

[*****]

Rumah yang dulunya penuh kehangatan, penuh dengan canda tawa, sekarang berubah menjadi lebih dingin dari udara malam diluar sana. Dulu Nizar selalu bertanya-tanya, kapan semua kembali seperti dulu? Mama yang selalu memasakkan makanan kesukaannya, Mama yang selalu memanjakannya, Mama yang selalu merawatnya dengan kasih sayang.

Semenjak satu tahun terakhir ini, Nizar tak pernah melihat Papa yang selalu duduk berdua dengan Mama di sofa ruang tamu, atau Papa yang dibuatkan kopi dengan Mama, atau cerita Papa yang selalu Mama dengarkan dengan tatapan penuh kasih sayang. Semua itu seakan-akan tak pernah terjadi. Mama dan Papa sudah seperti orang asing yang tinggal satu atap.

Bahkan hari ini, ketika Mama dan Papa resmi memutuskan untuk berpisah, Nizar hanya bisa diam. Nizar itu paling dekat dengan Mama. Dan pada saat Mama lebih memilih untuk membawa Ila daripada dirinya, Nizar merasa dunianya seakan runtuh hari itu juga. Bagaimana hidupnya tanpa Mama nanti?

"Ila gak mau ikut! Ila mau sama Kakak!"

Nizar memalingkan wajahnya, enggan menatap Ila. Ia sudah terlalu muak melihat gadis kecil itu. Dipikirannya, Nizar merasa Ila merebut segalanya. Termasuk kasih sayang Mama dan Papa.

"ILA!" Bentakan Mama mampu membuat Ila langsung bungkam seketika. Ila langsung menunduk, menahan isakannya.

Lalu disaat yang bersamaan, Papa datang, dan Nizar bisa melihat tatapan Mama langsung berbeda ketika Papa menghampirinya.

"Aku pastikan hak asuh anak-anak akan jatuh padaku." Papa berucap dengan nada tenang, tak ada penekanan dalam setiap ucapannya. Tapi Nizar tahu kalau ucapan Papa tak pernah main-main.

"Kamu pikir aku takut, Mas?" Mama terkekeh sinis. "Aku enggak bakal kalah gitu aja. Aku pastiin Ila bakal tetep sama aku."

Setelah Mama mengucapkan itu, Mama langsung membawa Ila keluar dari rumah tanpa berpamitan dengan Nizar yang jelas-jelas berada di sana. Nizar pikir Mama akan memeluknya atau ikut membawanya pergi. Tapi ternyata pemikirannya salah. Mama justru pergi begitu saja tanpa melihat ke arahnya.

"Aku benci sama kamu, Ila."

[*****]

Finally, I can publish this story. Berhubung karena tadi malam Brand Film I'llit rilis, aku juga mau rilis cerita ini. Karena kali ini, salah satu tokoh utamanya dari member I'llit, Iroha. Dan satunya lagi of course dari member Enhypen, Ni-Ki. Dua maknae Jepang nya Belift.

Tolong cintai juga kedua tokoh utama baru ku, Nizar dan Ila.

Thank you! 🎀🏹

Thank you! 🎀🏹

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

04 Maret 2024—cheesely

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

04 Maret 2024
cheesely

Epiphany [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang