Part 12 || Robots Can Also Be Damaged If They Get Tired

162 36 31
                                    

"Puas kamu bebas dari les minggu kemarin?"

Baru saja Ila mendudukkan dirinya di tempat tidur, suara Mama sudah menyapa telinganya. Ila mendongak, melihat Mama yang berjalan ke arahnya dengan tangan yang bersedekap dada.

"Terus aja kamu turuti apa kata Papah kamu itu. Inget, Ila. Dia itu bukan Papah kandung kamu. Gak seharusnya kamu selalu nurut dan terlalu manja sama dia."

"Bukannya dulu Mama suruh aku harus hormat dan nurut sama Papah?" jawab Ila lugas. "Lagipula, aku gak manja sama Papah."

"Alasan terus." Mama duduk di sofa depan Ila. "Kamu kapan mau nurut sama Mama, sih? Mama kayak gini itu demi kebaikan kamu, Ila. Mama mau kamu bisa mengimbangi Kakak kamu. Kamu liat Sisy, dia bukan anak Mama, bukan keturunan Mama dan Papa Joni, tapi dia pintar seperti Mama. Seakan-akan memang Sisy yang anak kandung Mama."

"Ma!" Ila berdiri, tanpa sadar meninggikan suaranya. "Kenapa Mama bilang kayak gitu di depan anak kandung Mama sendiri?"

Mama menumpukan kaki kanan nya pada kaki kiri. "Kakak dan adik kamu gak pernah membentak Mama. Mereka selalu bertutur kata lembut sama Mama. Gak kayak kamu, baru aja dibilangin gitu langsung berdiri bentak-bentak Mama."

"Aku bukan Kak Nizar, dan aku bukan Sisy."

"Maka dari itu, Mama pingin kamu bisa seperti Kakak dan adik kamu, Ila. Coba kamu contoh adik kamu yang selama tujuh tahun terakhir ini hidup bareng-bareng sama kamu. Apa kamu pernah liat adik kamu ngeluh tiap Mama suruh belajar? Atau kamu pernah liat adik kamu bantah omongan Mama seperti kamu yang sering bantah Mama? Nggak, 'kan? Makanya, Mikaila, kamu harus bisa seperti mereka. Mama seperti ini juga demi kamu. Demi masa depan kamu biar nanti kamu nggak mempermalukan keluarga ini."

"Ma, aku capek. Aku mau istirahat. Aku gak mau kelepasan bentak Mama kayak tadi. Jadi mending Mama keluar dari kamar aku."

"Keras kepala," desis Mama, kemudian wanita itu berdiri, menatap Ila dengan dingin. "Mama sudah atur ulang jadwal les kamu. Minggu ini kamu les 4 kali seminggu. Inget apa yang harus kamu kejar di kelas 10 ini. Jangan sampai kamu kalah dari Hiro, anak Kak Novi."

Setelah mengatakan itu, Mama benar-benar keluar dari kamar Ila. Menyisakan Ila dengan amarah yang Mama buatkan untuknya. Padahal niat Ila setelah sampai rumah adalah tidur ditempat tidur yang empuk setelah tidur di tanah beralaskan tenda saat berkemah. Tapi sayangnya rencananya itu digagalkan dengan datangnya Mama ke dalam kamar Ila.

Ila berjalan ke arah pintu, menguncinya dari dalam, kemudian berjalan kembali ke arah meja belajar miliknya. Ada banyak buku-buku yang harus Ila pelajari. Dan semua itu membuat kepalanya ingin pecah setiap kali membacanya. Mama tahu, sangat tahu kalau kapasitas otak Ila tidak seperti Nizar, tapi Mama malah memaksanya dengan belajar seperti Nizar.

Dengan sekali hempasan, semua buku miliknya berserakan di lantai. Ila terduduk di sebelah kursi belajar, menelungkupkan wajahnya di kursi itu. Punggungnya naik turun diiringi isakan tangisnya.

"Kenapa .... " Ila menggigit bibir bawahnya, menegakkan wajahnya kembali sembari menghapus air matanya. "Kenapa harus aku? Aku——aku bukan Kak Nizar. Aku juga bukan——Sisy. Aku bukan robot yang bisa Mama ubah sedemikian rupa biar bisa kayak mereka.'

[•••••]

Suasana kafe sore ini sangat menenangkan. Ia berada di lantai dua, tempat VIP yang sengaja di pesannya untuk mengobrol secara private dengan seseorang. Sudah hampir 30 menit ia menunggu kedatangan orang yang sempat memberikannya sebuah janji temu hari ini di kafe yang ia tentukan. Tapi sampai sekarang, belum juga datang orang yang ia tunggu itu. Bahkan sudah berkali-kali ia menelpon nomornya. Tapi orang itu sama sekali tak mengangkatnya.

Epiphany [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang