Part 15 || Win-win Solution

184 36 14
                                    

Dilain tempat, tepatnya di Bandung, Satya memandangi perkebunan teh milik keluarga angkatnya. Ia baru saja sampai beberapa menit yang lalu. Villa milik Ayah angkatnya ini sudah menjadi miliknya sejak ia berusia 20 tahun.

"Aku baru tau Mas Bian sering berkunjung ke sini. Padahal aku juga tiap tahun rutin buat datang ke Bandung."

Satya mengalihkan pandangannya pada pria yang baru saja bergabung duduk dengannya. Tangan Satya terulur menggeserkan teh yang baru saja ia buat ke depan pria itu.

"Minum," ucapnya.

"Buatan Mas?" tanyanya seraya menyeruput teh itu.

"Hm, enak?"

"Enak tapi terlalu manis," komentar nya.

Satya terkekeh. "Namanya juga teh manis."

Pria yang menjadi lawannya bicara ikut terkekeh. "Mas tak pernah berubah. Bahkan setelah 18 tahun kita tak bertemu."

"Kau terlalu berlebihan, Ardi," jawabnya.

Pria yang bernama Ardi itu berdecak. Tidak ada yang berubah dalam diri Kakaknya selain keriput yang mulai terlihat. Sifat Kakaknya itu masih sama seperti dulu. Irit bicara dan selalu to the point. Sangat berbeda jauh dengannya yang lebih friendly dan juga Kakak sulungnya yang kelewat humoris.

"Kau ingat, Ardi? Saat kita masih kecil, Bapak selalu membawa kita untuk pulang kampung ke Bandung. Katanya, Nenek merindukan kita. Padahal memang Bapak saja yang rindu suasana Bandung," ucap Satya, memulai obrolan. Pandangannya lurus ke depan, menatap pesawahan.

Ardi mengangguk membenarkan ucapan Kakaknya. "Hm, Mas benar. Bapak terlalu mencintai Bandung sampai pesan terakhir Bapak sebelum meninggal pun ingin dimakamkan di Bandung."

"Ada banyak yang berubah setelah kita berpisah." Satya menoleh, menatap adik bungsunya. "Terima kasih sudah bertahan, Ardi. Kau hebat. Mas selalu bangga padamu."

"Aku tidak sekuat itu, Mas," jawab Ardi, menatap sekilas pada Satya sekilas.

Ardi tersenyum, membuat dimple yang berada di pipi kanannya itu ikut terlihat. "Ada kalanya aku ingin sekali menyerah. Apalagi, setelah kepergian Kak Firman tahun lalu. Rasanya dunia ku benar-benar hancur."

Dengan sengaja, Ardi menjeda ucapannya. Pria itu terlihat menerawang masa-masa sulitnya tanpa Satya yang berstatus sebagai Kakak keduanya itu.

"Semenjak Mas dan Ibu pergi, Bapak dan Kak Firman adalah rumah ku satu-satunya. Lalu ketika Bapak pergi ke tempat yang tak bisa aku jangkau, Kak Firman lah rumah terakhir yang aku miliki," ucap Ardi melanjutkan.

Ardi menatap Satya. "Aku berusaha mencari Mas dan Ibu, tapi ekonomi Bapak yang saat itu belum sepesat sekarang membuat aku sulit menemukan kalian. Puncak keterpurukan ku adalah ketika Kak Firman pergi tiba-tiba. Aku merasa dunia ku benar-benar hancur."

"Maaf karena Mas tidak ada di hari-hari terberat mu," ucap Satya setelah mendengarkan ucapan Ardi.

Ardi terkekeh. "Tapi aku kembali hidup sekarang. Berkat titipan dari Kak Firman yang sekarang menjadi tanggungjawab ku."

"Ya, setidaknya, rencana mengakhiri hidupmu itu tidak terjadi berkat titipan Kak Firman," ucap Satya.

"Tapi aku masih tidak menyangka," ucap Ardi, mengundang kerutan di dahi Satya. "Keputusan mu menikahi Sintia benar-benar membuat ku terkejut setengah mati," lanjutnya.

Ucapan Ardi hanya dibalas kekehan hambar oleh Satya. Pria itu mengambil teh nya, membiarkan asap yang mengepul dari dalam teh itu menerpa wajahnya.

"Aku hanya menyelamatkan keponakan ku," jawab Satya, setelah menyeruput teh miliknya.

Epiphany [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang