Part 2 || You're Still the Same Person

197 35 8
                                    

Selama Ila bersekolah di Surabaya, Ila tak pernah merasakan duduk sebangku dengan teman. Karena di sekolah SMP nya dulu, semua murid duduk sendiri-sendiri. Ila yang memang jarang bersosialisasi semakin tidak bisa berbaur dengan yang lain. Bahkan ketika acara kelulusan SMP saja ia hanya berfoto dengan anak-anak kelas sebagai formalitas. Selebihnya, Ila menikmati acara kelulusan sendiri.

Tetapi sekarang, ketika Ila memasuki Ruang Mawar yang akan menjadi ruangan tempatnya melaksanakan MOS, ia sempat tertegun karena setiap murid duduk satu meja berdua, ia bingung harus duduk dengan siapa. Ila menggenggam erat tali tas nya sambil mencari bangku yang masih kosong.

"Heh, lo yang poninya pendek!"

Ila menatap ke arah perempuan yang menunjuknya. Dengan ragu Ila melangkah ke sana ketika perempuan tadi tersenyum.

"Aku?" tanya Ila memastikan. Ngomong-ngomong, poni Ila memang pendek, lebih tepatnya terlalu pendek.

Perempuan itu mengangguk. "Iya. Lo belum ada tempat duduk, 'kan? Duduk sama gue aja sini," ucapnya, menepuk-nepuk kursi kosong disebelahnya.

Awalnya Ila sempat ragu, tetapi karena tak tahu lagi harus duduk dimana karena hampir semua bangku penuh, jadilah Ila duduk disebelah perempuan tadi. Jika tak salah ingat, perempuan itu yang tadi menawarkan untuk membantu mencari nama Ila di Mading.

"Nama gue Clara Farisa, nama Clara nya pake C, bukan pake K," ucapnya sambil menjulurkan tangannya ke depan Ila.

Ila menatap juluran tangan Cindy selama beberapa detik, kemudian di detik ke-tiga, ia menerima uluran tangan itu. "Ila," ucapnya.

"Ila doang? Gak ada nama panjangnya?"

"Oh, Mikaila."

Didepannya, perempuan bernama Clara itu mengangguk sambil tersenyum. "Nama lo bagus, tapi kalo ada Kiky Saputri bisa-bisa diplesetin jadi Mikail," kekehnya diakhir kalimat.

Ila tersenyum tipis mendengar ucapan Clara. Sepertinya Clara ini orang yang extrovert, ila bisa melihat semangat yang berkobar di dalam matanya setiap perempuan itu berbicara.

"By the way, lo bukan dari Jakarta, ya? Soalnya logo seragam lo beda," tanya Clara.

"Oh." Ila tersadar dari lamunan beberapa detiknya, kemudian ia mengangguk. " ... iya," jawabnya.

"Semoga nanti kita satu kelas, ya! Lo ambil jurusan apa?"

"IPA."

"Sama, ya ampun! Fix kita harus sekelas! Temen gue beda ruangan sama gue, jadinya gue sendirian, deh. Mana temen gue juga beda jurusan nanti sama gue. Makin-makin deh gue gak ada temen. Pokoknya lo harus berdoa juga, ya, supaya kita satu kelas!"

Selama Clara berbicara, Ila hanya mendengarkan dengan satu pertanyaan yang paling menggema di kepalanya. Seberapa banyak energi yang Clara punya? Ila benar-benar tak habis pikir dengan Clara yang sepertinya mempunyai sifat extrovert.

"Temen kamu ambil jurusan apa?"

Biasanya Ila tak pernah suka berbasa-basi seperti ini, tapi entah mengapa kali ini, Ila ingin berbasa-basi agar bisa mendapatkan teman.

"Dia ambil jurusan IPS. Sumpah, sih, gue aneh banget sama dia. Jelas-jelas dari SMP dia sering tidur setiap pelajaran IPS, tapi dia malah pilih masuk jurusan IPS. Agak diluar nalar pemikiran dia, tuh."

"Kalian deket banget?" tanya Ila lagi.

"Beuh, bukan deket lagi, La. Dari gue masih orok aja udah temenan sama dia," jawab Clara sambi terkekeh. "Ngomong-ngomong lo asal mana? Eh, taro dulu, La, tas lo. Gak berat apa itu digendong mulu," titah Clara.

Epiphany [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang