2. Telegram

21 2 0
                                    


Bagaimana nasib pengangguran sepertiku sekarang?

Aku bukannya tidak punya uang sepeser pun, tapi penggunaan kartu akan membuat keberadaan ku mudah dilacak. Bukan karena Hye Yora, tapi oleh kakekku yang sangat memantau apapun yang ku lakukan dengan cermat dan teliti.

Sekedar informasi, kepergian kakek ke luar negeri tidak di sampaikan ke sembarang orang. Aku juga baru saja mengetahuinya saat pagi-pagi buta Hye Yora datang dan mengetuk pintu kamarku.

"Kakek sialan mu itu sedang pergi ke luar negeri. Dia tidak akan kembali untuk waktu yang lama. Kau tahu apa yang harus di lakukan, kan?"

"..."

Aku tahu. Bagaimana mungkin aku tidak tau? Pria tua itu tahu segalanya. Dia bahkan tahu kalau ibu tiri ku itu sangat sedemikian rupa membenciku, dan mata-mata yang dikirimkannya juga akan melaporkan sesuatu apabila ibu tiriku melakukan sesuatu yang tidak berguna.

Dengan Hye Yora yang terang-terangan begini menginformasikan hal ini padaku, maka sudah jelas; dia ingin aku angkat kaki dari rumah ini.

Yah, aku tidak punya penyesalan tentang itu. Meskipun aku tidak pernah sekalipun kekurangan makanan, neraka itu bukanlah tempat yang layak untuk ditinggali manusia. Singkatnya, ini juga kesempatan satu-satunya bagiku untuk kabur dari sana.

Sore ini berkabut. Matahari bersinar seperti biasa, tapi kabut yang tebal membuatnya seperti terperangkap dalam kembang kapas kuning. Uh- mungkin penggambaranku kurang tepat, tapi rasanya kalau dilihat memang seperti itu.

Aku menenteng koper sementara ransel hitamku ku sampirkan begitu saja di pundak. Aku berjalan tanpa tujuan, membiarkan kakiku melangkah entah ke mana saja. Bagaimanapun, tempat tinggal sementara bukanlah sesuatu yang terlalu mendesak. Aku bisa saja tidur di warnet, game center, perpustakaan atau sesuatu sejenisnya. Hal yang mendesak sekarang adalah aku harus terlebih dulu menghindari kaki tangan dan mata hidung Hye Yora. Demi bertahan hidup, aku harus memastikan Bibi itu tidak berubah pikiran dan membiarkan aku pergi dengan tenang.

... Akan merepotkan kalau dia tiba-tiba memerintahkan kaki tangannya untuk membereskanku dengan bersih jika aku masih berada di sekitar kompleks rumah.

Memperhatikan sekitar, aku memutuskan untuk menghentikan langkahku di depan toko kelontong terdekat. Terbuat dari papan kayu, toko itu tidak tampak seperti toko yang sering dikunjungi pelanggan.

Setidaknya rumput di halaman nya terpotong dengan rapi.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Aku baru saja akan melangkah masuk saat seseorang yang cukup familiar berbicara di belakangku.

Amoria Senja. Top Girl yang paling di idolakan di sekolahku.

"Kau sendiri?"

Senja sedikit menyipitkan matanya, lalu tersenyum. "Aku tinggal di dekat sini"

Aku tidak pernah mengira dia akan tinggal di tempat yang begitu jauh dari sekolah. Ku kira orang sepertinya akan tinggal di pusat kota, tempat yang strategis dengan sekolah dan akses internet 5G yang sempurna. Kenapa dia bisa sampai di daerah pelosok begini?

Sebenarnya, Senja adalah satu diantara beberapa orang yang pernah bicara denganku di sekolah. /tidak ada yang mau dekat denganku karena itu artinya mereka akan bersinggungan dengan Esok- Tuan muda pertama calon penerus Frost Company.

"Jadi- apa urusanmu datang kemari, Tuan Muda?"

Nada suaranya sarkas, meskipun dia melantunkan nya dengan aksen yang lembut. "Sedikit berkeliling," aku terdiam sejenak, mencari alasan lain yang kiranya lebih masuk akal "Terkadang seseorang harus mencari suasana baru."

"Aku tidak percaya zona ini cocok dengan seleramu. Bukan kah apartemen mewahmu seribu kali lebih nyaman?"

Che. Kau bilang nyaman? Yang benar saja.
Omong-omong, aku tidak tahu sebelumnya kalau ada rumor yang bilang kalau aku tinggal di sebuah apartemen mewah. Mungkinkah itu Esok? Rasanya masuk akal mengingat dia selalu benci menerima segala jenis pertanyaan yang di lontarkan orang-orang yang penasaran tentang ku. Memang lebih nyaman baginya jika dia mengatakan kalau kami tidak serumah, mengingat sudah terlalu terlambat jika dia ingin kami pura-pura tidak kenal.

Aku berkeliling toko.
Menurut informasi dari sms yang ku dapatkan, toko ini adalah kantor telegram yang sempat popiler bertahun-tahun lalu.

Eh, apa aku belum bilang? Satu jam yang lalu kakek dari ibu ku mengirimi ku pesan untuk memintaku tinggal bersamanya saja di Blue Street, kota terpencil yang jauh dari orang-orang Frost Company.

Kakek bilang sudah mencoba mengirimkan pesan padaku berkali-kali, tapi hanya satu pesan yang masuk. Sepertinya koneksi internet di sana benar-benar seburuk itu.
Kalau di ingat lagi, Blue Street itu dekat dengan area terlarang, mungkin itu masalahnya.

"Sepertinya kau perlu ini?"

"Ah, iya."

Tidak seperti yang ku bayangkan, pemilik toko yang punya telegram di bagian belakang rak-rak dagangan bukanlah kakek tua, melainkan seorang paman berusia 40 an. Dilihat dari tubuh kekar dan bekas luka bakar di tangan nya... sepertinya dia pernah menjadi tenaga militer.

"Ada pesan yang ingin kau kirim?"

"Ya. Aku perlu mengirimkan pesan ke alamat ini."

Aku menyerahkan ponselku dan membiarkan paman itu mengetik salinan pesan yang gagal ku kirimkan ke kakek.

"Omong-omong, Paman-"

"Huh?"

"Apa ada telegram yang datang ke sini dari Blue Street?"

"Ah, Benar. Kemarin pesannya datang." Paman itu terdiam sejenak, memikirkan sesuatu. " Pengirim pesan itu bilang kalau akan ada orang yang mengambilnya sendiri hari ini. Jadi itu pasti punyamu."

"Pengirimnya bilang begitu?" Ini aneh.

"Ya. Tunggu sebentar-" paman membuka laci, mengeluarkan sebuah amplop putih kusam dari dalamnya. "Ini, ambil."

"Terimakasih."

Aku berjalan keluar dan memasukkan amplop itu ke dalam saku saat jariku merasakan sesuatu yang dingin sudah berada di dalam kantong.

... Sebuah plakat besi.
Sebelumnya Aku berbincang singkat dengan Senja sampai akhirnya dia pergi dengan membeli permen lolipop warna-warni. "Ah, ya. Tuan Muda- mungkin kau bisa mampir ke sini kalau perlu tempat tinggal."

Sepertinya dia memasukannya saat itu. Aku menduga dia menuliskan alamat, tapi Aku tidak buru-buru mengeceknya karena ada hal lain yang perlu ku lakukan.

Omong-omong, beberapa saat tadi kami benar-benar dekat. Ujung rambutnya yang bergelombang hampir saja menyentuh pucuk hidungku.
Saat itu, aroma tubuhnya secara jelas tertangkap ujung saraf ku.
Aroma bedak dingin ekstrak mawar dan sedikit bau rumah sakit. Ini bukanlah bau yang muncul dari parfum anak SMA.

Memikirkannya, perasaan yang tidak menyenangkan mulai menjalar ke punggung ku.

Dongeng MalamWhere stories live. Discover now