3. Blue Street

6 2 0
                                    


Rasanya aku pernah menghirup aroma itu di suatu tempat. Aku tidak ingat pastinya, tapi itu salah satu kamar di laboratorium Frost Company. Apa dia kedapatan produk itu dari sana?

Itu memungkinkan.

Aku menginjakkan kaki di jalan beraspal. Cuacanya terik, bisa dipastikan kalau kau bahkan bisa menggoreng telur hingga matang hanya dengan membiarkannya kepanasan di ruang terbuka.

Untunglah aku memakai sepatu boots yang cukup tebal. Kalau tidak, bisa kau bayangkan apa yang akan terjadi pada kakiku.

Aku mempercepat jalanku menuju halte.
Menurut penilaianku, rumah kakek adalah tempat yang paling aman. Meskipun rumor aneh menyebar tentang betapa menyeramkannya jalanan Blue Street, dari cuacanya yang ekstrem hingga kabut tebal yang mampu menelan orang, itu pasti hanyalah rumor.

Faktanya adalah karena Blue Street dulunya merupakan kota pusat pembangunan, tapi setelah adanya kejadian luar biasa- kebakaran besar yang melanda sepuluh tahun lalu- kawasan itu perlahan ditutup dengan berbagai rumor yang beredar hingga insiden yang terjadi di tahun itu tidak pernah di ungkit lagi. Peredaman isu yang bagus.

Sepertinya kebakaran itu bukan insiden biasa, bukan?

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku pergi ke sana, tapi pastinya sudah lama sekali. Mungkin sekitar saat aku berumur empat sampai lima tahun? Aku tidak pernah ke Blue Street lagi sejak saat itu. Bahkan, sejujurnya wajah kakekku pun aku tidak begitu ingat.

Oke, bukan masalah. Aku hanya perlu datang ke alamat yang tertulis untuk bisa kembali mengingatnya.

Duk- duk-

Aku memainkan koperku. Roda bulat itu berguncang ringan saat permukaannya menyentuh lantai.

Barang yang ku bawa tidak banyak, tapi entah kenapa benda ini terasa berat sekali.

Aku berjalan cukup lama sampai akhirnya tiba di halte terdekat. Bangunan ini cukup bagus meskipun cat nya luntur dan mulai mengelupas. Selain dari atap halte yang sedikit bocor sampai secercah cahaya matahari berhasil lolos, semuanya tampak baik-baik saja.

Omong-omong, di sini benar-benar sepi. Memang ini bukan pusat kota, tapi ini juga terlalu hening untuk ukuran sebuah pemukiman.

Rumah-rumah penduduk yang di dirikan  berjauhan satu sama lain. Rata-rata orang di area ini membangun rumah minimalis dengan halaman dan pekarangan yang luas untuk di tanami petak sayur dan kebun anggur. Dan diantara rumah-rumah itu, dalam jarak sekitar sepuluh rumah, terdapat masing-masing satu bangunan yang tingginya melebihi yang lain. Kios anggur, toko kue, dan satunya lagi pusat peralatan.

Rasanya mengagumkan mendapati mataku bekerja dengan baik bahkan dari jarak sejauh ini.

Melihat jauh ke atas, seseorang menyalakan cerobong asap.
Kepulan asap itu melambung, bergulung gulung tertiup angin dan menyebar ke segala arah. Aku terus menatapnya sampai rasanya asap itu mendekat dan memukul wajahku.

Aroma kue.

Rasanya seperti dibawa melayang saat paduan vanilla dan kayu manis berputar-putar di sekelilingku.



"Hei, bangun."

"Uh-"

Aku mengerjapkan mata.

Apa? Apakah aku tertidur?

Sulit di percaya aku tidur di tempat terbuka seperti ini. Biasanya aku tidak pernah melonggarkan tingkat kewaspadaanku barang sedikitpun walaupun di rumah, tapi lihatlah sekarang.

Tidur di halte yang baru pertama kali dikunjungi, bahkan aku sepertinya sudah tidak peduli dengan barang-barangku. Aku melihat ke kiri dan ke kanan; koper, ransel satu..
Oke. Untunglah masih ada.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 26 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dongeng MalamWhere stories live. Discover now