DUA

136 20 3
                                    

.

.

.

Terik matahari pagi membangunkan Robin dari tidurnya, yang selalu kurang nyenyak.

Pagi sudah datang begitu saja, terlalu cepat bagi Robin yang baru tidur beberapa jam setelah menyelesaikan laporannya.

Ia beranjak dari ranjang, berjalan dengan sempoyongan untuk segera pergi ke kamar mandi, ketika tubuhnya melewati cermin besar lemarinya, Robin berhenti sejenak. Mendapati kantung matanya semakin menebal, rambutnya yang acak-acakan memperburuk penampilannya.

Robin menghela napas.

Acuh tak acuh dengan penampilannya, lalu kembali melangkah untuk membersihkan diri.

Satu jam untuk persiapan, satu jam lagi dirinya telah sampai kantor media TV yang menjadi tempat kerjanya selama ini. Robin segera memberikan laporan hasil pekerjaannya ke meja sang atasan, melihat Bossnya itu menerima berkas yang di berikannya, memeriksanya dengan wajah berkerut dan di detik berikutnya, tumpukan berkas itu berhamburan di depan Robin.

"Kau ini benar-benar bercanda denganku?! Hah?!"

Robin memejamkan matanya, rasa kantuk masih bergelayutan di matanya dan ia mendapati kemarahan Bossnya yang selalu tak puas dengan hasil kerjanya.

"Kau itu jurnalis infotainment! Bukan bagian dari wartawan redaksi, Robin! Kau tidak sedang membuat berita penuh fakta, buatlah liputan yang lebih panas, sensasional!"

Robin menelan ludahnya.

"Tapi, Pak———"

"Aku tidak peduli dengan argumentmu! Tulislah sesuatu yang lebih segar, tidak peduli itu seorang aktris papan atas atau apapun yang  lebih menggugah selera! Kau dibayar untuk itu! Jangan mengujiku dengan berita-berita ilmiahmu!"

Robin menggigit bibirnya, melirik berkas yang berhamburan di bawah kakinya. Pekerjaan yang ia kerjakan hampir dua malam penuh tanpa tidur, sebuah berita yang lebih menjanjikan untuk menjadi konsumsi umum. Bukan hanya pemberitaan selebriti yang terkadang tak punya manfaat apapun.

Robin berjongkok, memungut hasil pekerjaannya yang sia-sia. Ia sadar dirinya memang salah tempat, bukan seharusnya ia bekerja di tempat seperti ini. Namun nyatanya ia terjebak, bayarannya bekerja di kantor ini begitu tinggi, jujur saja cukup untuk dirinya bertahan hidup ketika tak punya siapa-siapa lagi.

"Pergi dari ruangan ku. Jangan kembali sebelum kau membuat berita yang lebih menggugah seleraku."

Seleramu itu jelek! Idiot! Robin menghardik di dalam hati sebelum meninggalkan ruangan Bossnya.

Ia keluar dari sana dengan wajah lesuh, tak bersemangat dan tahu kalau tekanan dan idealisme di dalam kepalanya kian bertengkar. Robin tak suka membuat berita penuh sensasi dan nol fakta, tetapi nyatanya kantor tempatnya bekerja lebih membutuhkan itu.

"Di tolak lagi?"

Suara berat itu membuat Robin menoleh, seorang pria tengah menyandarkan punggungnya di dinding, menoleh kepadanya dengan senyum singkat. Matanya di balik topi terlihat tajam, tetapi sesungguhnya dia adalah pria yang ramah.

"Ya, sudah dapat kau tebak. Aku yang tidak memahami pekerjaanku." Robin terkekeh, menyugar rambut hitam gagaknya yang panjang sepunggung.

"Selera Pak Buggy benar-benar buruk."

"Dia tercipta untuk membuat kekacauan." Sahut Robin enteng.

Pria itu tersenyum, memerhatikan kedua pipi Robin yang terangkat karena terkekeh, membuat gigi rapih dan bibir ranumnya terlihat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Summer [ Zoro X Robin ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang