Jeehan Pasha Wijaya saat itu masih berusia tujuh tahun, saat ia mampu melihat sebuah benang merah untuk pertama kali. Benang berwarna semerah darah itu terikat pita di jari kelingking. Begitu rapih dan juga kuat, namun tidak sakit sama sekali.
Sepasang mata Jeehan tidak berkedip sedikit pun, pandangi benang yang terlilit di jari juga tangannya. Anak itu tidak mengerti. Benar-benar tidak paham, siapa gerangan orang iseng yang tiba-tiba mengingkat benang merah di jarinya saat ia tidak melihat. Saat ia sedang membuat sebuah lubang di gundukan pasir untuk membuat terowongan.
Jeehan hanya mampu termenung dengan kepala yang sedikit miring. Bibirnya mengerucut lucu sementara mata terus fokus pada sang untai yang tidak diketahui asalnya.
Tiba-tiba saja, Jeehan menjentikkan jarinya dengan semangat. Seolah ada sebuah lampu imajiner menyala di kepala. Tiba-tiba ia bertiarap. Tempelkan tubuh pada tanah, dengan kepala yang mencoba mengintip pada lubang yang baru saja dibuatnya.
Kening Jeehan mengerut. Gelap. Tidak terlihat apapun.
Tidak menyerah, ia beranjak bangun lalu berlari dengan sedikit tertatih, lihat bagian belakang gundukan pasir yang dibuatnya itu dengan cepat. Bahunya jatuh lemas tidak lagi bertenaga. Kedua alis menukik. Sementara bibirnya kembali mencebik. Tunjukkan rasa kecewa.
Tidak ada apa-apa. Tidak ada siapa-siapa.
Lalu, dari mana?
Jeehan menepuk-nepuk seluruh tubuhnya, kemudian kedua tangannya. Membersihkan bulir-bulir pasir yang menempel pada kulit juga pakaian. Sepasang mata ia edarkan pada seluruh taman. Namun nihil. Selain dirinya dan seekor kucing liar yang tengah tertidur, tidak ada siapapun di sana.
Tidak ada orang. Tidak juga ada jejak-jejak seseorang selain dirinya yang hadir kunjungi taman. Hanya dirinya.
Lalu ... dari mana?
Tanpa aba-aba, Jeehan menoleh. Mendongak. Menatap langit di atas sana. Hela nafas lega keluar dari sela bibir, tatkala dapati sang mentari masih tersenyum begitu cerah di atas sana.
Setidaknya, Jeehan merasa tenang. Ini semua bukanlah ulah makhluk tidak kasat mata satu itu. Soalnya, Jayendra pernah bilang; setan itu hanya muncul di malam hari. Meski enggan mengakui, tapi Jeehan selalu percaya dengan apa yang Jayendra katakan.
Benang itu bergoyang saat Jeehan mengangkat tinggi-tinggi tangannya. Untaian merah darah itu terus bergerak ikuti gerakan tangan. Mata Jeehan mengedip, tidak percaya. Tanpa sadar, ia kembali memiringkan kepala. Menatap penuh ketertarikan pada benang penuh misteri yang terikat di kelingking.
Benang merah itu panjang. Sangat panjang. Bahkan sampai menghilang dari balik pagar taman.
Dengan tangannya yang lain, Jeehan mencoba raih benangnya. Ia mendadak melongo dengan mata berkedip lucu, saat sadar benang itu pun mampu dipegangnya. Benang merah itu bisa disentuh dan juga mempunyai tekstur.
Seperti benang asli―atau, memang asli?
Rasa penasaran benar-benar sudah memuncak, kalah rasa takut di dalam diri. Jeehan kecil memang selalu penasaran dengan segala hal. Dan tidak jarang sukses membuat orang-orang dewasa sedikit kewalahan dengan segala jenis pertanyaannya.
Kaki Jeehan yang beralaskan sandal selop berwarna dasar hitam dengan gambar Hero Laba-Laba itu dibawanya mengikuti sang benang. Kedua alis lantas terangkat tinggi. Sesampainya di pagar taman, benang itu masih terulur begitu panjang dengan ujung yang masih tidak terlihat.
Tidak menyerah, Jeehan terus ikuti sang untaian merah darah yang menggodanya. Cukup jauh. Bahkan tanpa sadar, ia nyaris keluar dari kompleks perumahan dan sampai di jalan raya, kalau saja benang itu tidak berbelok pada sebuah lapangan basket. Lapangan basket itu selalu dilewatinya setiap berangkat dan pulang sekolah, namun ini baru kali pertama untuknya melihat dari dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us [SungJake]
FanfictionBunda bilang, benang merah itu sebuah mitos mengenai ikatan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, di hari pertamanya ia melihat benang merah dan juga hari pertamanya ia bertemu Shankara, Jeehan memutuskan untuk menggunting benang merah...